http://www.surya.co.id/web/Opini/Buku-Sak-Dos-Duit-Sak-Sen.html
Friday, 17 October 2008
Mengapa dosen lebih senang menghabiskan waktunya hanya untuk mengajar di dalam kelas? Ya, karena hanya kegiatan itulah yang tidak banyak memakan biaya. Penghargaan pemerintah terhadap hasil riset dosen pun dapat dikatakan sangatlah rendah.SEORANG dosen harus mampu menulis buku dan artikel di media massa, kata Ardhie Raditya dalam artikelnya yang berjudul “Ironi Rekrutmen Dosen PTN” (Surya, 8/10/2008). Tapi oleh Pudjo Sugito --- yang almuni Charles Sturt University-Riverina, Australia --- pendapat Ardhie dipandang belum cukup. Karenanya, dalam tulisannya yang berjudul “Dicari : The Real Lecturer !!!” (Surya, 09/10/2008), dijelaskan bahwa standar ideal seorang dosen harus selaras dengan tugas pokoknya, yang lazim dikenal dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.Seorang dosen yang tugasnya mengajar, hanya layak disebut sebagai “guru”. Dosen juga harus melakukan penelitian yang linier dengan bidang ilmu yang ditekuninya, papar Pudjo. Hasilnya dapat dijadikan referensi yang up to date dalam mengajar mahasiswa, sekaligus kian meningkatkan kompetensi keilmuannya.Tulisan Ardhie Raditya dan Pudjo Sugito tampak sangat ideal. Tapi untuk standar Indonesia, mungkin masih utopis. Apakah semua dosen yang tidak menulis buku atau artikel, tidak melakukan penelitian dan atau melakukan pengabdian kepada masyarakat tergolong sebagai dosen yang tidak berkualitas? Jawabannya adalah “tunggu dulu”.Tidak sedikit dosen yang terpaksa enggan untuk menulis buku, melakukan riset dan lebih-lebih melakukan pengabdian terhadap masyarakat, semata-mata karena rendahnya dukungan dari pihak-pihak terkait. Utamanya dukungan finansial, karena pada umumnya kondisi ekonomi dosen masih lebih parah daripada seorang cleaning service di hotel atau swalayan. Maka, tidak berlebihan kalau istilah DOSEN kerapkali dipelesetkan “bukune sak dos, duitnya sak sen (bukunya 1 kotak, uangnya hanya 1 rupiah). Saat ini saja, tatkala pemerintah menggelindingkan aturan bahwa dosen harus berpendidikan minimal S2, dosen-dosen lama yang masih S1 kelabakan mencari pinjaman uang untuk melanjutkan studi. Mengapa harus utang? Karena honor dari mengajar hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang paling sederhana. Sesekali memang ada tambahan dari sisa dana riset, itupun hanya cukup untuk membeli buku beberapa judul saja. Tidak sedikit pula dosen yang rumahnya masih kontrak dan motornya kredit.Semestinya, seorang dosen sudah harus hidup layak dengan menjalani 3 profesi tadi (pendidik, peneliti dan pengabdi bagi masyarakat). Tetapi realitasnya bagaimana? Beberapa rekan yang mengajar di kampus negeri pernah mengeluh karena dana riset yang diperoleh dari pendidikan tinggi (Dikti) harus disetor sekian persen ke kampus. Alasannya, karena riset yang dilakukan mengatas-namakan kampus. Mungkin cukup lumrah bagi PTS yang juga harus bersusah payah menggaji dosen dan karyawan dari kantongnya sendiri. Penghargaan pemerintah terhadap hasil riset dosen pun dapat dikatakan sangatlah rendah. Tidak banyak hasil riset dosen, yang sejatinya sangat bermanfaat bagi masyarakat luas, yang diaplikasikan secara massif oleh pemerintah. Akhirnya, harapan untuk sedikit meneguk untung finansial dari hasil temuannya kala dimanfaatkan masyarakat pun hanya mimpi di siang bolong. Akibatnya, dosen kembali melempem melakukan penelitian. Karena antara tenaga dan pikiran yang dikeluarkan tidak sebanding dengan penghargaan finansial dan moral yang diperolehnya.Mengapa dosen lebih senang menghabiskan waktunya hanya untuk mengajar di dalam kelas? Ya, karena hanya kegiatan itulah yang tidak banyak memakan biaya. Satu hal lagi yang menarik dari tulisan Pudjo ialah masalah “dosen outsourcing” atau yang lazim disebut “dosen kontrak”. Pudjo menunjukkan bahwa ”dosen kontrak” bukanlah hal baru di Eropa dan Amerika. Bahkan di negara-negara maju tersebut, semua dosen berstatus sebagai dosen kontrak. Dalam klausul kontrak kerjanya, setiap tahunnya dosen harus mau melakukan penelitian yang linier dengan bidang keilmuannya dan kemudian mempublikasikannya pada sebuah jurnal internasional. Bila tidak, dapat dipastikan dosen itu akan diputus kontraknya.Sayangnya, Pudjo tidak memaparkan hak-hak dosen setelah memenuhi seluruh klausul yang ada dalam kontrak. Juga terkait dengan jaminan ekonomi bagi sang dosen agar cukup tersedia dana untuk melakukan riset. Kemudian, bila hasil riset tersebut benar-benar bisa dimanfaatkan untuk/oleh masyarakat luas, kompensasi apa yang bisa dinikmati oleh sang periset (dosen)?Harus diakui, ada perlakuan-perlakuan yang berbeda, yang diberikan perguruan tinggi antara dosen tetap dan dosen kontrak. Tidak saja terkait dengan penghasilan atau tunjangan kesejahteraan lainnya. Meski secara kualitas dosen kontrak tidak selalu lebih rendah dari dosen tetap. Bahkan, dalam banyak hal, dosen kontrak tampak lebih unggul. Tetapi juga hak berkompetisi dalam melakukan penelitian dengan memanfaatkan dana-dana bantuan, baik dari pemerintah ataupun dari kampus itu sendiri.Demikianlah realitas yang njomplang tentang dosen di negeri ini dengan di luar negeri. Maka, tidaklah bijaksana bila harus menuntut kesetaraan kewajiban antara dosen di sini dengan di sana. Pertanyaannya, kapan dosen di negeri ini yang sudah memiliki “buku sak dos, duit sak dos”.
Jumat, 17 Oktober 2008
Kamis, 16 Oktober 2008
Pengemis Konvensional Diburu, Pengemis Kontemporer Menyerbu
JAWA POS [ Jum'at, 17 Oktober 2008 ]
Era pengemis konvensional, tampaknya, segera berakhir. Mereka bakal menjadi objek buruan petugas Satpol PP yang seakan tidak kenal lelah menjebloskan mereka ke "penjara" Liposos. Lebih dari itu, mereka juga bakal kalah bersaing dengan pengemis "kontemporer" dalam berebut rezeki cuma-cuma dari kaum dermawan. Bahkan, kaum dermawan pun seakan terjebak rasa tidak berdaya manakala berhadapan dengan pengemis modern itu.
Selama ini, pengemis konvensional dipandang sebagai "sampah" yang dapat mengotori pemandangan kota. Penampilan mereka yang kumuh, dekil, dan bau tubuh yang tidak sedap dinikmati hidung kerap dipandang sebagai hal yang menjijikkan. Belum lagi wilayah operasi mereka tidak pandang bulu. Umumnya, mereka tersebar di terminal, pasar, atau door to door dari rumah ke rumah.
Pendek kata, pengemis "konvensional" itu lebih mengedepankan kepapaan dan ketidakberdayaan mereka untuk mengekspresikan diri sebagai orang miskin. Mereka tidak pernah lelah menyusuri jalan. Pengemis ini tidak terlalu berharap pemberian lebih dari dermawan. Selaras dengan kesederhanaan alat yang mereka gunakan, yakni kaleng dan batok kelapa, uang receh pun mereka terima dengan ekspresi syukur melalui ucapan terima kasih kepada pemberinya.Seiring dengan kian berkurangnya pengemis konvensional, sekarang marak kemunculan pengemis kontemporer. Penampilan mereka benar-benar berbalik 180 derajat jika dibandingkan dengan penampilan pengemis konvensional. Mereka tidak lagi bersenjata kaleng atau tempurung kelapa. Mereka membawa amplop berlabel nama yayasan pendidikan, panti asuhan, atau panitia pembangunan masjid, lengkap dengan alamat dan nomor telepon. Pengemis model baru ini juga melengkapi diri dengan penampilan yang modis, berdasi, berbaju rapi, dan bersepatu. Yang perempuan umumnya memakai busana muslim (berjilbab). Pengemis kontemporer seakan memberikan pesan kepada calon dermawan bahwa mereka bukan "pengemis", melainkan pekerja sosial yang sedang menjalankan tugas mulia. Karena itu, memberikan bantuan kepada mereka sama artinya dengan menyalurkan bantuan yang tepat sasaran.Pengemis gaya baru ini juga relatif lebih cerdas dalam membidik sasaran. Mereka umumnya nongkrong di tempat anjungan tunai mandiri (ATM), SPBU, kantor pos, dan fasilitas pelayanan publik lain. Mereka tidak perlu berkeringat dan ber-capek-capek menyusuri jalan. Mereka juga tidak perlu mengetuk-ngetuk kaca pintu mobil sekadar untuk meminta sedekah ala kadarnya. Sebagian di antara mereka memang ada yang bergerilya ke kompleks perumahan atau ke kampung/desa. Namun, mereka melengkapi diri dengan proposal, kuitansi, dan daftar penyumbang.
Penampilan mereka cukup menarik calon donatur untuk memberikan bantuan relatif banyak dibandingkan yang biasa diberikan kepada pengemis konvensional. Umumnya, para donatur menyumbang minimal seribu. Tidak sedikit pula yang memberikan lima atau sepuluh ribu rupiah. Itu, sepertinya, sebanding dengan beban psikologis yang memancar dari amplop kosong yang mereka terima sebelum masuk ATM untuk diisi uang sekeluar dari ATM. Sang donatur seakan tersandera oleh "kekuatan" amplop tersebut dan menganggap tidak pantas bila harus memasukkan uang receh ke dalam amplop. Meski ada pula yang akhirnya mengembalikan amplop itu dalam kondisi tetap kosong.Kemunculan pengemis kontemporer itu dapat dijadikan indikasi kian kompleksnya penyakit sosial di masyarakat. Tidak saja kemiskinan masih menggurita di kehidupan masyarakat, mentalitas miskin juga kian mengkristal pada sebagian individu yang masih berada dalam usia produktif. Dengan begitu, menjadi pengemis "gaya baru" itu menjadi pilihan untuk mendapatkan dana segar dalam waktu singkat. Dengan sedikit memermak penampilan diri dan menyamar sebagai pekerja sosial (dari yayasan, panti asuhan, atau masjid), mereka bisa dengan enjoy mengemis tanpa merasa kehilangan harga diri. Menghilangkan penyakit sosial memang tidak mudah. Dibutuhkan langkah-langkah sistematis dengan melibatkan seluruh aspek kehidupan. Pertama, pemerintah harus berani bertindak tegas terhadap para pekerja sosial "gadungan" atau tidak jelas identitasnya. Penegakan aturan harus dijalankan dengan konsisten. Bila mereka terbukti berbohong (mencatut nama lembaga sosial tertentu atau bahkan membuat identitas palsu), sudah sepantasnya mereka dijerat pasal penipuan.
Kedua, masyarakat umum seyogianya tidak mudah tergerak hati untuk memberikan bantuan kepada mereka yang tidak jelas latar belakangnya, baik pribadi maupun lembaga yang dibawanya. Sebab, memberikan amal sejatinya tidak semata-mata berlandasan aspek keikhlasan semata. Asas manfaat bagi peruntukannya juga perlu dipertimbangkan. Niat baik saja tidak cukup, bahkan bisa menjadi mudarat kalau salah sasaran. Misalnya, mengakibatkan seseorang menjadi kian tergantung pada profesi pengemis.
Lebih bijaksana dan bermanfaat bila masyarakat yang berniat beramal menyalurkan hartanya ke lembaga-lembaga yang diketahui identitasnya dengan jelas dan memang sedang membutuhkan bantuan keuangan. Atau, bantuan bisa juga diarahkan ke badan-badan amil zakat, infak, dan sodaqoh yang sudah mengantongi izin dari pemerintah dan punya reputasi positif.Ketiga, lembaga-lembaga sosial, baik yayasan pendidikan, panti asuhan, maupun masjid, tidak selayaknya menggerakkan jamaahnya untuk menjalani profesi sebagai pengemis. Meski (andai kata) hasil dari mengemis itu seluruhnya untuk kepentingan lembaga. Apalah artinya membangun lembaga sosial kalau ujung-ujungnya hanya memproduksi pengemis-pengemis profesional. (soe)
Era pengemis konvensional, tampaknya, segera berakhir. Mereka bakal menjadi objek buruan petugas Satpol PP yang seakan tidak kenal lelah menjebloskan mereka ke "penjara" Liposos. Lebih dari itu, mereka juga bakal kalah bersaing dengan pengemis "kontemporer" dalam berebut rezeki cuma-cuma dari kaum dermawan. Bahkan, kaum dermawan pun seakan terjebak rasa tidak berdaya manakala berhadapan dengan pengemis modern itu.
Selama ini, pengemis konvensional dipandang sebagai "sampah" yang dapat mengotori pemandangan kota. Penampilan mereka yang kumuh, dekil, dan bau tubuh yang tidak sedap dinikmati hidung kerap dipandang sebagai hal yang menjijikkan. Belum lagi wilayah operasi mereka tidak pandang bulu. Umumnya, mereka tersebar di terminal, pasar, atau door to door dari rumah ke rumah.
Pendek kata, pengemis "konvensional" itu lebih mengedepankan kepapaan dan ketidakberdayaan mereka untuk mengekspresikan diri sebagai orang miskin. Mereka tidak pernah lelah menyusuri jalan. Pengemis ini tidak terlalu berharap pemberian lebih dari dermawan. Selaras dengan kesederhanaan alat yang mereka gunakan, yakni kaleng dan batok kelapa, uang receh pun mereka terima dengan ekspresi syukur melalui ucapan terima kasih kepada pemberinya.Seiring dengan kian berkurangnya pengemis konvensional, sekarang marak kemunculan pengemis kontemporer. Penampilan mereka benar-benar berbalik 180 derajat jika dibandingkan dengan penampilan pengemis konvensional. Mereka tidak lagi bersenjata kaleng atau tempurung kelapa. Mereka membawa amplop berlabel nama yayasan pendidikan, panti asuhan, atau panitia pembangunan masjid, lengkap dengan alamat dan nomor telepon. Pengemis model baru ini juga melengkapi diri dengan penampilan yang modis, berdasi, berbaju rapi, dan bersepatu. Yang perempuan umumnya memakai busana muslim (berjilbab). Pengemis kontemporer seakan memberikan pesan kepada calon dermawan bahwa mereka bukan "pengemis", melainkan pekerja sosial yang sedang menjalankan tugas mulia. Karena itu, memberikan bantuan kepada mereka sama artinya dengan menyalurkan bantuan yang tepat sasaran.Pengemis gaya baru ini juga relatif lebih cerdas dalam membidik sasaran. Mereka umumnya nongkrong di tempat anjungan tunai mandiri (ATM), SPBU, kantor pos, dan fasilitas pelayanan publik lain. Mereka tidak perlu berkeringat dan ber-capek-capek menyusuri jalan. Mereka juga tidak perlu mengetuk-ngetuk kaca pintu mobil sekadar untuk meminta sedekah ala kadarnya. Sebagian di antara mereka memang ada yang bergerilya ke kompleks perumahan atau ke kampung/desa. Namun, mereka melengkapi diri dengan proposal, kuitansi, dan daftar penyumbang.
Penampilan mereka cukup menarik calon donatur untuk memberikan bantuan relatif banyak dibandingkan yang biasa diberikan kepada pengemis konvensional. Umumnya, para donatur menyumbang minimal seribu. Tidak sedikit pula yang memberikan lima atau sepuluh ribu rupiah. Itu, sepertinya, sebanding dengan beban psikologis yang memancar dari amplop kosong yang mereka terima sebelum masuk ATM untuk diisi uang sekeluar dari ATM. Sang donatur seakan tersandera oleh "kekuatan" amplop tersebut dan menganggap tidak pantas bila harus memasukkan uang receh ke dalam amplop. Meski ada pula yang akhirnya mengembalikan amplop itu dalam kondisi tetap kosong.Kemunculan pengemis kontemporer itu dapat dijadikan indikasi kian kompleksnya penyakit sosial di masyarakat. Tidak saja kemiskinan masih menggurita di kehidupan masyarakat, mentalitas miskin juga kian mengkristal pada sebagian individu yang masih berada dalam usia produktif. Dengan begitu, menjadi pengemis "gaya baru" itu menjadi pilihan untuk mendapatkan dana segar dalam waktu singkat. Dengan sedikit memermak penampilan diri dan menyamar sebagai pekerja sosial (dari yayasan, panti asuhan, atau masjid), mereka bisa dengan enjoy mengemis tanpa merasa kehilangan harga diri. Menghilangkan penyakit sosial memang tidak mudah. Dibutuhkan langkah-langkah sistematis dengan melibatkan seluruh aspek kehidupan. Pertama, pemerintah harus berani bertindak tegas terhadap para pekerja sosial "gadungan" atau tidak jelas identitasnya. Penegakan aturan harus dijalankan dengan konsisten. Bila mereka terbukti berbohong (mencatut nama lembaga sosial tertentu atau bahkan membuat identitas palsu), sudah sepantasnya mereka dijerat pasal penipuan.
Kedua, masyarakat umum seyogianya tidak mudah tergerak hati untuk memberikan bantuan kepada mereka yang tidak jelas latar belakangnya, baik pribadi maupun lembaga yang dibawanya. Sebab, memberikan amal sejatinya tidak semata-mata berlandasan aspek keikhlasan semata. Asas manfaat bagi peruntukannya juga perlu dipertimbangkan. Niat baik saja tidak cukup, bahkan bisa menjadi mudarat kalau salah sasaran. Misalnya, mengakibatkan seseorang menjadi kian tergantung pada profesi pengemis.
Lebih bijaksana dan bermanfaat bila masyarakat yang berniat beramal menyalurkan hartanya ke lembaga-lembaga yang diketahui identitasnya dengan jelas dan memang sedang membutuhkan bantuan keuangan. Atau, bantuan bisa juga diarahkan ke badan-badan amil zakat, infak, dan sodaqoh yang sudah mengantongi izin dari pemerintah dan punya reputasi positif.Ketiga, lembaga-lembaga sosial, baik yayasan pendidikan, panti asuhan, maupun masjid, tidak selayaknya menggerakkan jamaahnya untuk menjalani profesi sebagai pengemis. Meski (andai kata) hasil dari mengemis itu seluruhnya untuk kepentingan lembaga. Apalah artinya membangun lembaga sosial kalau ujung-ujungnya hanya memproduksi pengemis-pengemis profesional. (soe)
Label:
17 Oktober 2008 ],
JAWA POS [ Jum'at
Langganan:
Postingan (Atom)