http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=233944
Senin, 24 Agustus 2009
Secara substansial, ibadah puasa diorientasikan untuk menguji ketakwaan seorang mukmin dalam menghadapi godaan kemaksiatan (Q.S. Al-Baqarah: 185). Dengan kata lain, menguji ketangguhan bagaimana seorang yang mengklaim dirinya sebagai hamba yang bertakwa dalam menghadapi godaan kemaksiatan yang ada di depan matanya. Larutkah dia ke dalam kemaksiatan tersebut atau mampu bertahan sampai kemaksiatan itu hancur dengan sendirinya.
Namun, tampaknya tidak banyak individu yang memiliki kualitas ketakwaan yang memadai, termasuk dalam hal ini sangat mungkin juga penulis sendiri. Tidak banyak pribadi tangguh yang tidak goyah kala ada godaan kemaksiatan. Kenyataannya, banyak individu yang ingin menjalani puasa tanpa ada godaan sedikit pun. Dengan demikian, kita semaksimal mungkin mendesak dan menekan pemerintah untuk menciptakan kondisi agar puasa dijalani dengan tanpa ada "ujian" dan "godaan" sedikit pun. Bagi individu seperti ini, kesuksesan ibadah puasa dapat digapai manakala godaan dan ujian tidak hadir pada saat puasa "lapar" itu dijalankan. Bukan kesuksesan di dalam menjaga puasa jiwa dari terjangan godaan pandangan dan perasaan.
Terkait dengan ibadah Ramadhan, banyak pelajaran berharga yang bisa digali setiap pribadi Muslim. Pertama, puasa bukanlah semata-mata kemampuan menahan rasa lapar sehari penuh. Tetapi, dengan puasa, setiap pribadi dituntut sadar bahwa ada sekian orang di sekitar kita yang meski tidak berniat puasa, namun berada dalam kondisi amat lapar karena faktor kemiskinan. Bagi mereka ini tidak ada sedikit pun makanan yang dapat digunakan untuk mengurangi sejenak rasa lapar tersebut. Kesadaran ini diharapkan menumbuhkan kemauan kita untuk saling berbagi.
Kedua, dianjurkan untuk selalu melakukan kebaikan dan meminimalisasi perilaku buruk. Sedikit saja perilaku buruk dilakukan, dapat dipastikan mengurangi nilai-nilai puasa. Karena itu, Rasulullah menekankan, apabila dalam puasa tidak mampu mengendalikan perilaku buruk, maka lebih baik tidur. Seburuk-buruk individu ialah orang yang selalu membuat sakit hati orang lain.
Ketiga, dengan puasa ditekankan untuk mengendalikan nafsu amarah, termasuk dalam hal ini manakala menyaksikan kemungkaran. Seorang yang sedang berpuasa tidak diperkenankan menuruti nafsu amarah ini. Bahkan, diajarkan apabila sedang berpuasa dan ada orang yang mengajak bertengkar, dianjurkan untuk mengatakan, "Maaf, saya sedang berpuasa." Jadi, bukan sebaliknya, melakukan tindakan-tindakan anarkis. Keempat, selalu mengisi dan memanfaatkan waktu dengan ucapan-ucapan yang baik. Bukan hanya yang berkaitan dengan pemujaan terhadap Allah, melainkan juga ucapan-ucapan bijak yang menyejukkan bagi siapa saja.
Menata hati dalam mengisi puasa Ramadhan merupakan hal yang tidak bisa disepelekan. Sebab, puasa Ramadhan bukanlah ajang atau arena untuk melatih diri, melainkan ajang pembuktian diri. Puasa Ramadhan sebulan penuh merupakan cermin pribadi 11 bulan sebelumnya. Siapa yang biasa bermental juragan-yang selalu minta dilayani-akan tercermin dalam bulan Ramadhan, yang selalu menuntut pemerintah, orang lain atau dirinya sendiri untuk mengusir orang-orang yang tidak mau melayaninya. Siapa yang biasa menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan emosional, dalam Ramadhan pun cenderung marah-marah atau bahkan bertindak anarkis terhadap orang lain yang dianggap (subjektif) mengganggu ketenangan puasanya.
Bahkan, siapa yang biasa tidak mampu mengendalikan nafsu perutnya, pasti dia akan cenderung marah, memaki atau bahkan merusak warung-warung yang kebetulan buka untuk melayani orang yang tidak sedang berpuasa-entah karena non-Islam atau karena ada uzur (halangan). Pendek kata, semua yang tidak diinginkannya dipandangnya sebagai pengganggu yang harus diperangi. Lebih-lebih yang biasa gagal mengendalikan nafsu syahwatnya, boleh jadi dia akan memencak-mencak ketika ada hal yang dipandangnya pasti akan meruntuhkan nilai puasanya.
Akhirnya, perlu menjadi perhatian bersama, utamanya umat Islam, bahwa kemiskinan masih menjadi persoalan yang patut dipecahkan. Masih beroperasinya warung-warung makan di siang bolong dalam bulan Ramadhan, tampaknya itu terpaksa dilakukan karena memang mereka harus memenuhi tuntutan anak-anak mereka menyongsong Lebaran. Demikian pula dengan restoran, dituntut buka oleh karyawannya yang ingin melewati Lebaran dengan uang saku lebih. Bahkan, lebih tragis lagi adalah para pelaku prostitusi yang juga sedang memimpikan turut larut dalam kebahagiaan Idul Fitri.
Bagaimanakah cara menyelamatkan mereka apabila puasa masih hanya berada dalam kisaran fiqiyah? Selamat datang Ramadhan, semoga membawa berkah bagi semua umat manusia, apa pun keadaannya.***
Penulis adalah Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah,
dosen FAI Universitas Muhammadiyah Gresik
--------------------------------------------------------------------------------
Politik | Hukum | Ekonomi | Metropolitan | Nusantara | Internasional | Hiburan | Humor | Opini | About Us
--------------------------------------------------------------------------------
Copy Right ©2000 Suara Karya Online
Powered by Hanoman-i
Minggu, 23 Agustus 2009
Jumat, 14 Agustus 2009
Meluruskan Niat Naik Haji
http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009081401225777
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Gresik
Kabarnya Pemerintah Arab Saudi berencana mengeluarkan regulasi terhadap jemaah calon haji (calhaj). Yang cukup santer terdengar, yaitu masalah pembatasan usia. Calhaj yang belum berusia 12 tahun dan atau lebih dari 65 tahun dilarang untuk turut melaksanakan ibadah haji.
Bila benar rencana regulasi tersebut akan diterapkan, yang paling merasakan dampaknya adalah calhaj Indonesia. Sebab, pada calhaj Indonesia masih banyak yang berusia di atas 65 tahun, dan yang saat ini telah masuk daftar tunggu (waiting list) diperkirakan pada saat akan diberangkatkan, usianya telah melewati angka 65.
Memang terkesan unik bila kita menyaksikan para calhaj Indonesia. Pertama, haji bagi sebagian orang Islam di Indonesia tidak semata-mata sebagai kewajiban agama, tetapi juga untuk menaikkan status sosialnya di masyarakat. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sebagian orang Indonesia yang telah berpulang dari ibadah haji, bukanlah berkategori seorang muslim yang baik. Baik secara aqidah, ibadah maupun muamalah.
Kedua, rata-rata usia calhaj Indonesia telah berusia lanjut. Selain alasan ekonomi yang memaksa mereka baru bisa melaksanakan ibadah haji di usia senja, kurang besarnya hasrat untuk bisa meninggal dunia di Mekkah. Bagi mereka, mati di Tanah Suci Mekkah memiliki makna religius yang lebih sakral.
Terkait dengan persoalan di atas, seyogianya Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Departemen Agama) berupaya keras untuk meminta kompensasi kepada Pemerintah Arab Saudi. Paling tidak, pemerintah harus menghabiskan dahulu calhaj Indonesia yang kini telah masuk dalam daftar tunggu. Selain itu juga mengutamakan untuk memberikan kesempatan pada calhaj yang masuk dalam usia kritis (hampir mendekati 65 tahun). Bila hal tersebut telah berhasil dilakukan pemerintah, ke depan pemerintah perlu juga membuat regulasi baru untuk calhaj. Utamanya menyangkut pembatasan usia.
Namun demikian, yang perlu menjadi perhatian pemerintah ialah membenahi kembali tata pelaksanaan pemberangkatan ibadah haji. Bila mengacu pada pandangan ulama fiqh, syarat seseorang yang wajib melaksanakan ibadah haji ialah yang memiliki kemampuan finansial. Yaitu finansial untuk membayar ONH dan biaya hidup selama di Arab Saudi serta biaya yang harus ditinggalkan untuk keluarga yang menjadi tanggungannya.
Tetapi persyaratan tersebut tampaknya sangat layak untuk ditambah. Yaitu kewajiban untuk menjamin kebutuhan hidup primer tetangganya yang didera kemiskinan. Dengan demikian, tampak nyata ibadah muamalah seseorang yang berstatus haji. Bila perlu, salah satu persyaratan bagi seorang calhaj ialah berkewajiban untuk mengangkat anak asuh dengan menyekolahkannya minimal sampai lulus SMP.
Semestinya, pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak perlu berbangga hati hanya karena setiap tahun mampu mengirimkan jumlah calhaj terbanyak dibandingkan negara-negara lainnya, utamanya negara Islam. Lebih penting dari itu, pemerintah perlu menggerakkan para calhaj Indonesia untuk menunjukkan bahwa keberangkatan mereka ke Tanah Suci benar-benar dilaksanakan setelah kewajiban-kewajiban sosial-keagamaannya telah tercukupi.
Sesungguhnya tampak sangat aneh di negeri ini. Setiap tahun jemaah calon haji Indonesia berangkat dalam jumlah sangat besar. Bahkan yang masuk dalam daftar tunggu pun mencapai ribuan orang. Fakta ini seharusnya menyiratkan bahwa kondisi ekonomi umat Islam di Indonesia berada dalam taraf yang cukup baik. Dengan asumsi tersebut, sudah semestinya zakat, infak, dan sedekoh para calhaj ataupun yang sudah berstatus haji tidak terkirakan jumlahnya.
Tapi ironisnya, kemiskinan--termasuk mayoritas umat Islam--masih tampak bertebaran di mana-mana. Bahkan bukan pemandangan aneh lagi, adanya orang-orang yang didera kemiskinan yang akut, justru tempat tinggalnya di balik dinding tebal orang kaya yang berstatus haji.
Tanggung Jawab Sosial
Tampaknya pemerintah punya persyaratan yang mengikat bagi calhaj. Di antaranya seseorang baru bisa dicatat sebagai calhaj ketika telah melakukan memberikan jaminan pendidikan bagi anak orang miskin atau anak yatim yang miskin dalam bentuk deposito. Atau dengan membuat perjanjian di hadapan notaris. Dan bila perjanjian tersebut dilanggar, bisa dibawa ke ranah hukum pidana ataupun perdata.
Termasuk pula dengan orang-orang yang ingin melaksanakan ibadah haji lebih dari sekali. Sekali melaksanakan ibadah haji, perlu diikat dengan pertanggungjawaban sosial kepada masyarakat secara nyata. Dengan demikian, diharapkan ibadah haji tidak menjadi hobi yang hanya memuaskan aspek religiositas personal. Tetapi ibadah haji juga harus memberikan porsi pada pertanggungjawaban religiositas sosial.
Semakin sering seseorang melaksanakan ibadah haji, sudah semestinya semakin besar pula pertanggungjawaban sosialnya di hadapan umat. Jangan sampai berangkat haji dilandasi oleh kekuatan "nafsu". Bila perlu, salah satu syarat seseorang untuk berangkat haji ialah mendapatkan rekomendasi dari tetangga rumahnya.
Akhirnya, sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam dan sekaligus komunitas Islam terbesar di dunia, seyogianya tanggung jawab sosial antarumat Islam perlu dipertegas.
Tidak diharapkan adanya kesalehan personal yang tidak berdampak pada kesalehan sosial. Apalah arti dari ritus-ritus peribadatan menjadi warna dalam kehidupan, tetapi tidak memiliki dampak pada pemberdayaan dan perbaikan kondisi sosial umat. Bukankah itu ciri orang-orang yang suka mendustakan agama?
erita.php?id=2009081401225777
Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Gresik
Kabarnya Pemerintah Arab Saudi berencana mengeluarkan regulasi terhadap jemaah calon haji (calhaj). Yang cukup santer terdengar, yaitu masalah pembatasan usia. Calhaj yang belum berusia 12 tahun dan atau lebih dari 65 tahun dilarang untuk turut melaksanakan ibadah haji.
Bila benar rencana regulasi tersebut akan diterapkan, yang paling merasakan dampaknya adalah calhaj Indonesia. Sebab, pada calhaj Indonesia masih banyak yang berusia di atas 65 tahun, dan yang saat ini telah masuk daftar tunggu (waiting list) diperkirakan pada saat akan diberangkatkan, usianya telah melewati angka 65.
Memang terkesan unik bila kita menyaksikan para calhaj Indonesia. Pertama, haji bagi sebagian orang Islam di Indonesia tidak semata-mata sebagai kewajiban agama, tetapi juga untuk menaikkan status sosialnya di masyarakat. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sebagian orang Indonesia yang telah berpulang dari ibadah haji, bukanlah berkategori seorang muslim yang baik. Baik secara aqidah, ibadah maupun muamalah.
Kedua, rata-rata usia calhaj Indonesia telah berusia lanjut. Selain alasan ekonomi yang memaksa mereka baru bisa melaksanakan ibadah haji di usia senja, kurang besarnya hasrat untuk bisa meninggal dunia di Mekkah. Bagi mereka, mati di Tanah Suci Mekkah memiliki makna religius yang lebih sakral.
Terkait dengan persoalan di atas, seyogianya Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Departemen Agama) berupaya keras untuk meminta kompensasi kepada Pemerintah Arab Saudi. Paling tidak, pemerintah harus menghabiskan dahulu calhaj Indonesia yang kini telah masuk dalam daftar tunggu. Selain itu juga mengutamakan untuk memberikan kesempatan pada calhaj yang masuk dalam usia kritis (hampir mendekati 65 tahun). Bila hal tersebut telah berhasil dilakukan pemerintah, ke depan pemerintah perlu juga membuat regulasi baru untuk calhaj. Utamanya menyangkut pembatasan usia.
Namun demikian, yang perlu menjadi perhatian pemerintah ialah membenahi kembali tata pelaksanaan pemberangkatan ibadah haji. Bila mengacu pada pandangan ulama fiqh, syarat seseorang yang wajib melaksanakan ibadah haji ialah yang memiliki kemampuan finansial. Yaitu finansial untuk membayar ONH dan biaya hidup selama di Arab Saudi serta biaya yang harus ditinggalkan untuk keluarga yang menjadi tanggungannya.
Tetapi persyaratan tersebut tampaknya sangat layak untuk ditambah. Yaitu kewajiban untuk menjamin kebutuhan hidup primer tetangganya yang didera kemiskinan. Dengan demikian, tampak nyata ibadah muamalah seseorang yang berstatus haji. Bila perlu, salah satu persyaratan bagi seorang calhaj ialah berkewajiban untuk mengangkat anak asuh dengan menyekolahkannya minimal sampai lulus SMP.
Semestinya, pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak perlu berbangga hati hanya karena setiap tahun mampu mengirimkan jumlah calhaj terbanyak dibandingkan negara-negara lainnya, utamanya negara Islam. Lebih penting dari itu, pemerintah perlu menggerakkan para calhaj Indonesia untuk menunjukkan bahwa keberangkatan mereka ke Tanah Suci benar-benar dilaksanakan setelah kewajiban-kewajiban sosial-keagamaannya telah tercukupi.
Sesungguhnya tampak sangat aneh di negeri ini. Setiap tahun jemaah calon haji Indonesia berangkat dalam jumlah sangat besar. Bahkan yang masuk dalam daftar tunggu pun mencapai ribuan orang. Fakta ini seharusnya menyiratkan bahwa kondisi ekonomi umat Islam di Indonesia berada dalam taraf yang cukup baik. Dengan asumsi tersebut, sudah semestinya zakat, infak, dan sedekoh para calhaj ataupun yang sudah berstatus haji tidak terkirakan jumlahnya.
Tapi ironisnya, kemiskinan--termasuk mayoritas umat Islam--masih tampak bertebaran di mana-mana. Bahkan bukan pemandangan aneh lagi, adanya orang-orang yang didera kemiskinan yang akut, justru tempat tinggalnya di balik dinding tebal orang kaya yang berstatus haji.
Tanggung Jawab Sosial
Tampaknya pemerintah punya persyaratan yang mengikat bagi calhaj. Di antaranya seseorang baru bisa dicatat sebagai calhaj ketika telah melakukan memberikan jaminan pendidikan bagi anak orang miskin atau anak yatim yang miskin dalam bentuk deposito. Atau dengan membuat perjanjian di hadapan notaris. Dan bila perjanjian tersebut dilanggar, bisa dibawa ke ranah hukum pidana ataupun perdata.
Termasuk pula dengan orang-orang yang ingin melaksanakan ibadah haji lebih dari sekali. Sekali melaksanakan ibadah haji, perlu diikat dengan pertanggungjawaban sosial kepada masyarakat secara nyata. Dengan demikian, diharapkan ibadah haji tidak menjadi hobi yang hanya memuaskan aspek religiositas personal. Tetapi ibadah haji juga harus memberikan porsi pada pertanggungjawaban religiositas sosial.
Semakin sering seseorang melaksanakan ibadah haji, sudah semestinya semakin besar pula pertanggungjawaban sosialnya di hadapan umat. Jangan sampai berangkat haji dilandasi oleh kekuatan "nafsu". Bila perlu, salah satu syarat seseorang untuk berangkat haji ialah mendapatkan rekomendasi dari tetangga rumahnya.
Akhirnya, sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam dan sekaligus komunitas Islam terbesar di dunia, seyogianya tanggung jawab sosial antarumat Islam perlu dipertegas.
Tidak diharapkan adanya kesalehan personal yang tidak berdampak pada kesalehan sosial. Apalah arti dari ritus-ritus peribadatan menjadi warna dalam kehidupan, tetapi tidak memiliki dampak pada pemberdayaan dan perbaikan kondisi sosial umat. Bukankah itu ciri orang-orang yang suka mendustakan agama?
erita.php?id=2009081401225777
Langganan:
Postingan (Atom)