Sabtu, 28 November 2009
Jumat, 13 November 2009
Kepahlawanan Era Kontemporer
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=239667
Oleh Abd. Sidiq Notonegoro
Rabu, 11 Nopember 2009
Pertempuran tanggal 10 November 1945 di Surabaya yang menelan korban jiwa lebih dari 10.000 pemuda pejuang merupakan peristiwa heroik yang tidak pantas dilupakan. Pertempuran itu menjadi pertanda bahwa masyarakat Surabaya khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya telah tertekad bulat untuk menentang kembali hadirnya kekuatan imperialisme setelah republik ini diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Pada tanggal 10 November 1945 itu, segenap kaum muda yang pada saat itu ada di Surabaya bersatu padu dengan semangat membara mengangkat senjata demi mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa. Itu juga merupakan jawaban kaum muda di Surabaya pada saat itu atas ultimatum Inggris bahwa warga Surabaya tidak bisa diatur-atur oleh bangsa asing. Karena itu, pada saat itu semboyan kaum muda Surabaya adalah "merdeka atau mati".
Untuk mengenang kisah heroik tersebut, maka setiap tanggal 10 November dilakukan peringatan-peringatan seremonial yang bertajuk Hari Pahlawan. Karyawan-karyawan hotel, restoran, pegawai instansi pemerintahan, dan instansi lainnya tidak sedikit yang didandani dengan pakaian-pakaian pejuang 45. Mereka pun (sebagian) wajib mengikuti upacara Hari Pahlawan.
Pertanyaannya sekarang, masih relevankah peringatan seremonial semacam itu? Mungkin, kalau berkaitan dengan upacara, kita tidak terlalu mempersoalkan. Akan tetapi, bagaimana dengan seremoni-seremoni lainnya yang kerap kali justru mengorbankan kepentingan masyarakat banyak? Benarkah "seremonialisme" Hari Pahlawan merupakan bagian "terpenting" dari menghargai jasa para pejuang tempo dulu?
Diakui atau tidak, ada nuansa feodalisme golongan berkaitan dengan Hari Pahlawan. Seakan-akan mereka yang mampu memaksa Inggris "angkat kaki" dari Surabaya pada tahun 1945 tersebut adalah golongan yang paling berjasa terhadap Kota Surabaya. Sedangkan generasi berikutnya kerap kali dipandang sebagai generasi yang sekadar menerima "nikmat"-nya saja.
Perlu disadari bersama bahwa kemerdekaan negeri ini tidak cukup hanya direbut dan dipertahankan secara fisik. Lebih dari itu, untuk menjaga eksistensi kemerdekaan, maka dibutuhkan ahli-ahli waris yang berkualitas agar mampu mengeksplorasi (bukan mengeksploitasi) kemerdekaan ini dengan hal-hal yang lebih bermakna. Kita patut merenungkan pepatah "mencipta/membuat lebih mudah daripada menjaga". Dengan kata lain, merebut kemerdekaan tidak lebih penting dari mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Sejujurnya, saya sebagai kaum muda kadang-kadang kecewa dan bahkan "sakit hati" ketika ada yang mengatakan bahwa kaum muda sekarang hanya menerima enaknya buah kemerdekaan, dan tidak merasakan pahit-getirnya dalam perjuangan di medan pertempuran. Kerap kali saya terpaksa harus berbicara arogan karena banyak orangtua yang hanya bisa melahirkan, tetapi tidak mampu merawat dengan baik apa yang dilahirkan.
Sebagai golongan muda, saya katakan, adalah hal yang irasional apabila seremoni berkaitan dengan peringatan hal apa pun dari masa lalu (termasuk Hari Pahlawan) dilaksanakan dengan cara-cara yang berlebihan. Sebab, hal-hal seremonial tersebut tidak lebih dari hal yang simbolik, yang belum tentu bersumber pada hati yang bersih.
Ini tidak berarti bahwa kegiatan seremonial berkaitan dengan Hari Pahlawan tidak penting. Tetapi, mestinya kegiatan seremonial tersebut tidak dilakukan secara berlebihan sehingga seakan-akan menimbulkan kultus generasi bahwa generasi tua lebih penting daripada generasi muda. Cukuplah seremoni dilakukan secara sederhana, dan tidak menghambur-hamburkan uang sebagai bentuk ucapan "terima kasih" atas perjuangan mereka tempo dulu dan sekaligus sebagai simbol pengikraran diri untuk bertekad menjadi "pengisi" kemerdekaan yang sudah diraih.
Bagi kaum pejuang kemerdekaan, peringatan Hari Pahlawan semestinya dijadikan momentum penyerahan tanggung jawab secara penuh kepada kaum muda yang menjelma menjadi kaum "pengisi kemerdekaan". Jadi, bukan sekadar penyerahan "setengah hati". Apa pun alasannya, saat ini sudah semestinya menjadi era kaum muda sepenuhnya.
Mempertahankan dan mengisi kemerdekaan tidak cukup hanya bermodalkan semangat heroisme. Masa sekarang ini berbeda dengan masa 62 tahun yang lalu, masa yang cukup dengan semangat berkobar dan rela berkorban; masa yang hanya memberikan pilihan "merdeka atau mati", tidak ada yang lain.
Era pengisian kemerdekaan tidak cukup hanya dengan keberlimpahruahan semangat heroisme dan kerelaan mengorbankan harta dan nyawa. Lebih dari itu, mengisi kemerdekaan dibutuhkan generasi-generasi yang berkualitas, baik secara mental, moral maupun intelektual.
Pada era kontemporer seperti saat ini, kaum muda sudah saatnya merevisi semboyan tersebut menjadi "merdeka dan tetap hidup". Sebab, hanya dengan "tetap hidup" itulah kemerdekaan akan bisa dijaga dan dipertahankan. Kemerdekaan bukanlah wadah hampa yang hanya layak disimpan di dalam ruang museum. Kemerdekaan haruslah benar-benar mengejawantah dalam kehidupan di masyarakat secara riil.
Akhirnya, dengan peringatan 62 tahun Surabaya sebagai Kota Pahlawan, inilah momentum para elite politik dan penguasa untuk melepaskan diri dari belenggu budaya seremonial. Kini saatnya kelompok elite ini membuktikan diri di hadapan para mantan perebut kemerdekaan sebagai generasi yang benar-benar bertanggung jawab dalam mengisi kemerdekaan. Jadi, bukan justru membodohi para "kaum tua" dengan ragam seremoni yang tanpa makna.
Buktikan bahwa terusirnya imperalisme Inggris dari Surabaya merupakan titik terakhir imperialisme di bumi Surabaya. Artinya, bukan sekadar peralihan dari setelah dijajah bangsa asing beralih di jajah oleh bangsa (aristokrat) sendiri.***
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
--------------------------------------------------------------------------------
Politik | Hukum | Ekonomi | Metropolitan | Nusantara | Internasional | Hiburan | Humor | Opini | About Us
Oleh Abd. Sidiq Notonegoro
Rabu, 11 Nopember 2009
Pertempuran tanggal 10 November 1945 di Surabaya yang menelan korban jiwa lebih dari 10.000 pemuda pejuang merupakan peristiwa heroik yang tidak pantas dilupakan. Pertempuran itu menjadi pertanda bahwa masyarakat Surabaya khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya telah tertekad bulat untuk menentang kembali hadirnya kekuatan imperialisme setelah republik ini diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta.
Pada tanggal 10 November 1945 itu, segenap kaum muda yang pada saat itu ada di Surabaya bersatu padu dengan semangat membara mengangkat senjata demi mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa. Itu juga merupakan jawaban kaum muda di Surabaya pada saat itu atas ultimatum Inggris bahwa warga Surabaya tidak bisa diatur-atur oleh bangsa asing. Karena itu, pada saat itu semboyan kaum muda Surabaya adalah "merdeka atau mati".
Untuk mengenang kisah heroik tersebut, maka setiap tanggal 10 November dilakukan peringatan-peringatan seremonial yang bertajuk Hari Pahlawan. Karyawan-karyawan hotel, restoran, pegawai instansi pemerintahan, dan instansi lainnya tidak sedikit yang didandani dengan pakaian-pakaian pejuang 45. Mereka pun (sebagian) wajib mengikuti upacara Hari Pahlawan.
Pertanyaannya sekarang, masih relevankah peringatan seremonial semacam itu? Mungkin, kalau berkaitan dengan upacara, kita tidak terlalu mempersoalkan. Akan tetapi, bagaimana dengan seremoni-seremoni lainnya yang kerap kali justru mengorbankan kepentingan masyarakat banyak? Benarkah "seremonialisme" Hari Pahlawan merupakan bagian "terpenting" dari menghargai jasa para pejuang tempo dulu?
Diakui atau tidak, ada nuansa feodalisme golongan berkaitan dengan Hari Pahlawan. Seakan-akan mereka yang mampu memaksa Inggris "angkat kaki" dari Surabaya pada tahun 1945 tersebut adalah golongan yang paling berjasa terhadap Kota Surabaya. Sedangkan generasi berikutnya kerap kali dipandang sebagai generasi yang sekadar menerima "nikmat"-nya saja.
Perlu disadari bersama bahwa kemerdekaan negeri ini tidak cukup hanya direbut dan dipertahankan secara fisik. Lebih dari itu, untuk menjaga eksistensi kemerdekaan, maka dibutuhkan ahli-ahli waris yang berkualitas agar mampu mengeksplorasi (bukan mengeksploitasi) kemerdekaan ini dengan hal-hal yang lebih bermakna. Kita patut merenungkan pepatah "mencipta/membuat lebih mudah daripada menjaga". Dengan kata lain, merebut kemerdekaan tidak lebih penting dari mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.
Sejujurnya, saya sebagai kaum muda kadang-kadang kecewa dan bahkan "sakit hati" ketika ada yang mengatakan bahwa kaum muda sekarang hanya menerima enaknya buah kemerdekaan, dan tidak merasakan pahit-getirnya dalam perjuangan di medan pertempuran. Kerap kali saya terpaksa harus berbicara arogan karena banyak orangtua yang hanya bisa melahirkan, tetapi tidak mampu merawat dengan baik apa yang dilahirkan.
Sebagai golongan muda, saya katakan, adalah hal yang irasional apabila seremoni berkaitan dengan peringatan hal apa pun dari masa lalu (termasuk Hari Pahlawan) dilaksanakan dengan cara-cara yang berlebihan. Sebab, hal-hal seremonial tersebut tidak lebih dari hal yang simbolik, yang belum tentu bersumber pada hati yang bersih.
Ini tidak berarti bahwa kegiatan seremonial berkaitan dengan Hari Pahlawan tidak penting. Tetapi, mestinya kegiatan seremonial tersebut tidak dilakukan secara berlebihan sehingga seakan-akan menimbulkan kultus generasi bahwa generasi tua lebih penting daripada generasi muda. Cukuplah seremoni dilakukan secara sederhana, dan tidak menghambur-hamburkan uang sebagai bentuk ucapan "terima kasih" atas perjuangan mereka tempo dulu dan sekaligus sebagai simbol pengikraran diri untuk bertekad menjadi "pengisi" kemerdekaan yang sudah diraih.
Bagi kaum pejuang kemerdekaan, peringatan Hari Pahlawan semestinya dijadikan momentum penyerahan tanggung jawab secara penuh kepada kaum muda yang menjelma menjadi kaum "pengisi kemerdekaan". Jadi, bukan sekadar penyerahan "setengah hati". Apa pun alasannya, saat ini sudah semestinya menjadi era kaum muda sepenuhnya.
Mempertahankan dan mengisi kemerdekaan tidak cukup hanya bermodalkan semangat heroisme. Masa sekarang ini berbeda dengan masa 62 tahun yang lalu, masa yang cukup dengan semangat berkobar dan rela berkorban; masa yang hanya memberikan pilihan "merdeka atau mati", tidak ada yang lain.
Era pengisian kemerdekaan tidak cukup hanya dengan keberlimpahruahan semangat heroisme dan kerelaan mengorbankan harta dan nyawa. Lebih dari itu, mengisi kemerdekaan dibutuhkan generasi-generasi yang berkualitas, baik secara mental, moral maupun intelektual.
Pada era kontemporer seperti saat ini, kaum muda sudah saatnya merevisi semboyan tersebut menjadi "merdeka dan tetap hidup". Sebab, hanya dengan "tetap hidup" itulah kemerdekaan akan bisa dijaga dan dipertahankan. Kemerdekaan bukanlah wadah hampa yang hanya layak disimpan di dalam ruang museum. Kemerdekaan haruslah benar-benar mengejawantah dalam kehidupan di masyarakat secara riil.
Akhirnya, dengan peringatan 62 tahun Surabaya sebagai Kota Pahlawan, inilah momentum para elite politik dan penguasa untuk melepaskan diri dari belenggu budaya seremonial. Kini saatnya kelompok elite ini membuktikan diri di hadapan para mantan perebut kemerdekaan sebagai generasi yang benar-benar bertanggung jawab dalam mengisi kemerdekaan. Jadi, bukan justru membodohi para "kaum tua" dengan ragam seremoni yang tanpa makna.
Buktikan bahwa terusirnya imperalisme Inggris dari Surabaya merupakan titik terakhir imperialisme di bumi Surabaya. Artinya, bukan sekadar peralihan dari setelah dijajah bangsa asing beralih di jajah oleh bangsa (aristokrat) sendiri.***
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)
--------------------------------------------------------------------------------
Politik | Hukum | Ekonomi | Metropolitan | Nusantara | Internasional | Hiburan | Humor | Opini | About Us
Langganan:
Postingan (Atom)