Selasa, 16 November 2010

RSBI, Jangan Cari Muka



Abd Sidiq Notonegoro
Pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Surabaya kembali dievaluasi. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengeluarkan keputusan, tidak akan mengucurkan alokasi anggaran untuk RSBI karena beberapa pertimbangan.

Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya menghapus item biaya operasional pendidikan (BOP) untuk RSBI. Penghentian tersebut diakui oleh Rismaharini, sebagai kesengajaan pemerintah kota (pemkot) Surabaya setelah melihat kualitas seluruh RSBI di Surabaya ada di bawah standar.

Salah satu poin yang disorot Risma terkait dengan RSBI adalah rendahnya kualitas guru dalam berbahasa Inggris yang di bawah rata-rata. Padahal standar RSBI, nilai TOEFL guru minimal di atas 300. Kenyataannya masih banyak guru yang belum lancar berbahasa Inggris. Karena itu, Risma mengingatkan, jangan silau dengan nama besar RSBI, yang penting kualitasnya bagus.

Keputusan cukup tegas Risma tersebut memang bisa diterima. Anggaran operasional RSBI di Surabaya yang selama ini digelontorkan cukup besar. Untuk membiayai 10 sekolah berstatus RSBI pemkot mengucurkan Rp 78 miliar. Sungguh mubazir bila anggaran sebesar itu tak sebanding dengan hasil yang didapatkan. Karena itu, siapapun yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan yang berkualitas patut memberi dukungan pada Wali Kota Surabaya ini. Penghentian anggaran RSBI bukan sebagai cermin ketidak-berpihakan pemkot terhadap kualitas pendidikan yang unggul. Sebaliknya, sebagai upaya menyadarkan pengelola RSBI, bahwa anggaran besar itu merupakan investasi pendidikan yang harus dijawab dengan kualitas sepadan. Lebih baik bila biaya itu untuk memperbaiki kelas reguler yang selama ini kurang diperhatikan.

Taraf Internasional

Mencermati kebijakan pemkot Surabaya menghentikan anggaran RSBI tersebut patut menjadi contoh bagi kepala daerah kabupaten/kota yang lain untuk melakukan kebijakan serupa. Yaitu mengevaluasi keberadaan RSBI yang rata-rata belum mampu memenuhi target yang semestinya. RSBI selama ini tak lebih dari proyek aji mumpung pelaksana pendidikan untuk mendapat gelontoran dana dari pemerintah, sekaligus membuat standar biaya mahal yang harus ditanggung orangtua siswa yang selama ini terbuai dengan bertaraf internasional.

Semua itu tak lepas dari keawaman orangtua siswa, utamanya yang ada di daerah. Padahal saat ini kelas RSBI sudah merambah ke sekolah-sekolah di pelosok kecamatan. Hanya karena rasa bangga serta rengekan sang anak agar bisa diterima di kelas RSBI, mereka rela membayar di atas rata-rata sekolah reguler. Semua itu tak lepas dari hipnotis sarana kelas RSBI yang terkesan mewah dibanding kelas reguler.

Orangtua mungkin sekadar membayangkan anak-anak mereka akan menerima layanan pendidikan bertaraf internasional dan dalam waktu singkat anak-anak minimal bakal mahir berbahasa Inggris. Nyatanya? Realitas menunjukkan, tak ada bedanya antara kelas RSBI dengan kelas reguler biasa. Sang guru pun kembali pada habitatnya masing-masing, sesuai bidang studi yang menjadi keahliannya. Bahasa pengantar mereka dalam proses belajar-mengajar (kecuali pelajaran bahasa Inggris) tetap menggunakan bahasa Indonesia, yang kadang masih bercampur dengan bahasa Jawa.

Satu hal yang sangat mencolok pembedaannya ialah beban orangtua siswa yang anaknya ada di kelas RSBI terasa lebih berat. Anak-anak mereka tak mungkin mendapat subsidi atau bantuan pendidikan. Seakan telah menjadi dogma, bahwa siap masuk kelas RSBI, harus siap mengeluarkan biaya sendiri sepenuhnya. Kecerdasan anak belum menjadi jaminan mereka harus berada di kelas yang digembar-gemborkan berlevel internasional, bila tak diimbangi dengan kecerdasan finansial orangtua.

Inilah kenyataan yang tak dimungkiri berkaitan dengan RSBI. Terjadi diskriminasi hak untuk pendidikan yang layak benar-benar terpapar nyata. Di tengah harapan masyarakat agar anaknya mendapat pendidikan bertaraf internasional, justru beban biaya disejajarkan dengan standar internasional. Lagi-lagi bukan pendidikan berharga lokal, kualitas internasional. Sebaliknya, harga internasional, kualitas lokal.

Karena itu, kebijakan cerdas Wali Kota Surabaya ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi kabupaten/kota lainnya untuk melakukan evaluasi serupa. Daerah tak semestinya hanya mengejar penghargaan dari pemerintah pusat untuk disebut sebagai daerah yang sukses dalam meningkatkan kualitas pendidikannya. Pujian semestinya selaras dengan kenyataan yang ada secara riil. Bila dicermati, beberapa daerah yang pernah mendapat penghargaan presiden terkait dengan masalah pendidikan, dalam kenyataannya abu-abu belaka.

Sekolah harus berani menolak menjadi RSBI bila kemampuan yang dimiliki ternyata jauh dari prasyarat ideal RSBI. Jangan silau dengan kucuran anggaran pusat yang Rp 400 juta per tahun, kemudian memaksa diri dan wali siswa untuk menyetor jutaan rupiah agar anaknya bisa duduk di kelas RSBI.

Dibaca: 477

Minggu, 14 November 2010

Bijak dalam Menyikapi Perbedaan Waktu Idul Adha

(Jawa Pos, 15 Nopember 2010)


Abd. Sidiq Notonegoro

Pengajar di Fakultas Agama Islam

Univ. Muhammadiyah Gresik



Kemungkinan tidak serempaknya pelaksanaan perayaan Idul Adha di Indonesia cukup besar. Dan tentu ini bukan hal yang pertamakalinya --- namun ini sudah yang kesekian kalinya ---, termasuk tahun 2010 ini. Sebagaimana diberitakan Jawa Pos (12/11/2010) bahwa pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) telah menetapkan Idul Adha jatuh pada tanggal 17 Nopember 2010, sedangkan Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memutuskan merayakan Idul Adha sehari sebelumnya (16/11). Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun tidak berbeda dengan pemerintah.

Apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut? Tidak lain karena adanya perbedaan kaidah atau prinsip dalam penentuan tanggal. Dan selama ini minimal ada 2 (dua) metode yang dominan digunakan oleh ormas keagamaan (utamanya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) untuk menentukan tanggal di Indonesia, yaitu metode hisab dan metode rukyat.

Hisab adalah melakukan perhitungan untuk mengetahui posisi bulan secara matematis dan astronomis dalam menentukan dimulainya awal bulan pada sistem penanggalan islam (kalender hijriyah). Selain itu, hisab sesungguhnya alat bantu yang validitasnya tidak diragukan lagi untuk mengetahui ”kapan” dan ”dimana” hilal (bulan sabit pertama setelah bulan baru) dapat dilihat. Sedangkan rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni pemunculan bulan sabit yang terlihat pertamakali setelah terjadinya ijtima’ atau bulan baru. Rukyat ini dilakukan setelah matahari terbenam di ufuk barat, dan hilal hanya bisa dilihat setelah matahari tenggelam atau waktu maghrib. Itu pun dengan catatan, yaitu ketika langit berada dalam kondisi cerah (tidak mendung).

Muhammadiyah lebih mengunggulkan metode hisab menggunakan kaidah hisab wujudul hilal diatas ufuk 0 derajat. Dalam kaidah ini, ketinggilan hilal sangat menentukan karena hilal merupakan bulan sabit pertama setelah bulan baru. Berdasarkan kaidah hisab yang digunakan Muhammadiyah, saat bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam. Berdasar posisi hilal saat matahari terbenam di beberapa bagian wilayah Indonesia maka syarat wujudul hilal sudah terpenuhi untuk seluruh Indonesia.

Berkaitan dengan penetapan Idul Adha, hasil hisab Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyebutkan bahwa ijtima’ menjelang Zulhijjah 1431 H terjadi pada hari sabtu (6/11) pukul 11.53.04. Dengan demikian 1 Zulhijjah 1431 H jatuh pada hari minggu (7/11) dan hari raya Arafah tanggal 9 Zulhijjah sama dengan hari senin (15/11). Maka Idul Adha 10 Zulhijjah 1431 H jatuh pada selasa (16/11).

Sebaliknya Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan metode rukyat berpedoman pada kaidah adanya imkanur rukyat dua derajat. Dalam kaidah ini, hilal ’dianggap’ terlihat dan keesokan harinya ditetapkan sebagai awal bulan hijriyah. Yaitu bila matahari terbenam, ketinggilan bulan diatas horison minimal 2 derajat dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat. Atau ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 (delapan) jam selepas konjungsi/ijtima’ berlaku.

Tim Lajnah Falakiyah PBNU yang menghelat rukyat pada tanggal 6-7 Nopember lalu juga menyatakan tidak berhasil melihat bulan dengan mata telanjang (rukyatul hilal fi’li) di beberapa lokasi yang sudah ditetapkan. Dengan demikian bulan Dzulqoidah 1431 H pun digenapkan menjadi 30 hari. Karenanya, tanggal 1 Zulhijjah 1431 H pun menjadi bertepatan dengan tanggal 8 Nopember 2010. Sehingga Idul Adha 10 Zulhijjah jatuh pada hari Rabu (17/11).

Tak Penting Diperdebatkan

Penetapan awal Zulhijjah memang sangatlah penting, karena hal ini terkait dengan ditetapkannya tanggal 9 Zulhijjah sebagai Hari Arafah dan 10 Zulhijjah sebagai hari Raya Idul Adha. Tetapi perlukah dipertanyakan bilamana terjadi pelaksanaan Idul Adha yang tidak bersamaan? Tentunya perbedaan ini tidak perlu dibesar-besarkan dan tidak perlu ada klaim ini yang ”benar” dan itu yang ”salah”. Semuanya harus dikembalikan kepada keyakinan masing-masing kelompok. Terlebih lagi ketetapan tanggal tersebut merupakan hasil ijtihadiyah orang-orang yang memiliki ’kompetensi’ dalam masalah ilmu dan agama.

Marilah kita kembalikan pada Sabda Rasulullah bahwa ”perbedaan adalah rahmat” dan masalah ijtihadiyah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, apabila hasil ijtihad benar, maka baginya 2 (dua) pahala, yaitu pahala karena telah berijtihad dan pahala karena kebenarannya. Dan apabila hasil ijtihad tersebut kurang tepat maka baginya masih ada satu pahala, yaitu pahala dari kesungguhan (ijtihad) dari yang telah dilakukannya.

Sangat diharapkan perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan yang terus-menerus diperdebatkan agar pelaksanaan Idul Adha tetap berjalan secara khusu’ dan sakral. Perbedaan ini harus menjadi momentum bagi umat Islam di Indonesia untuk membuktikan kerukunannya dan menumbuhkan kecerdasannya.

Jadikan Motivasi Berkurban

Idul Adha juga cukup dikenal dengan istilah Idul Qur’an atau hari raya kurban. Hal ini tidak lain karena pada hari itu dilakukannya ritual penyembelihan hewan kurban yang kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada orang-orang yang tidak mampu (orang miskin).

Ada 2 (dua) hal yang bisa digali dari pelaksanaan kurban ini. Pertama, meneladani keikhlasan Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih putra tercintanya, Nabi Ismail. Dan dari keikhlasan tersebut akhirnya diganti oleh Allah dengan seekor domba yang gemuk. Inilah pelajaran keikhlasan yang sejati. Dan kedua, refleksi untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menyembelih nafsu hewani dalam diri. Yaitu sifat rakus, biadab, otoriter, arogan dan sebagainya. Karena nafsu hewani dapat menghancurkan harkat dan martabat seseorang, baik dihadapan sesama manusia dan lebih-lebih dihadapan Allah.

Akhirnya, mudah-mudahan dengan tidak bersamanya hari raya kurban ini semakin melipat-gandakan hewan kurban yang hendak disembelih. Semakin banyaknya hewan kurban yang disembelih, kita harapkan semakin banyak yang ikhlas untuk menyembelih sifat dan nafsu hewaniyah yang bersemayam dalam dirinya.