Senin, 20 Juni 2011

Radikalisasi Pemberantasan Korupsi



Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Senin, 20 Juni 2011

Abd. Sidiq Notonegoro, Aktivis Muhammadiyah dan Dosen di Univ. Muhammadiyah Gresik

Tidak dapat dipungkiri lagi, bahaya korupsi telah benar-benar merajalela. Dapat dikatakan negara tidak memiliki daya dan cenderung gagal dalam menghadapi massifnya tindak korupsi yang selalu hadir dalam keseharian bangsa ini. Maka tidaklah berlebihan bila disebutkan bahwa korupsi telah mengalami metamorfosis dari sebuah tindak kejahatan ke sebuah perilaku yang dianggap lazim. Dan akhirnya, tidak ada yang mendebat tatkala dikatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari kebudayaan sebagian (pejabat) kita.

Tidak berlebihan bila Ikrar Nusa Bhakti dari LIPI menyatakan bahwa "kultur di Indonesia sudah kultur koruptor. Pelaku korupsi sudah bermuka badak. Mereka tidak malu atau takut melakukan korupsi." Hal ini terjadi karena korupsi pada umumnya merupakan hasil dari persekongkolan antara politikus, pengusaha, dan birokrat. Karena persekongkolan (konspirasi) tersebut, tidak berlebihan bila penanganan tindak kejahatan korupsi selalu menemui jalan buntu. Pemerintah dan lembaga penegakan hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tampak disandera oleh mereka sehingga tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan keadilan secara tegas.

Memang masih ada orang-orang yang berhati bersih, jujur, dan bermoral, yang memimpikan korupsi di negeri ini sirna. Namun, mengamati fakta dan realita yang ada, entah sampai kapan semua itu masih tetap sebagai mimpi. Hal itu semata-mata karena hingga detik ini belum ada tindakan yang nyata dari pemerintah dengan seluruh institusi penegakan hukumnya untuk menjadikan korupsi sebagai musuh yang benar-benar nyata.

Model Sanksi

Di tengah massif dan sistemiknya perilaku korupsi di negeri ini, diperlukan langkah-langkah ekstrem (radikal) untuk memenggal pelaku dan tindakan korupsi. Apalagi pasti semua sepakat bahwa di mata hukum, tindak korupsi perlu diposisikan sebagai perilaku yang sangat berbahaya karena dapat menghancurkan sumber daya kemanusiaan, sosial dan alam. Juga berpotensi merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara, melemahkan supremasi hukum, dan menggerogoti fondasi pembangunan yang berkelanjutan.

Perlu disadari bersama, bila perilaku korupsi dibiarkan berlarut-larut, akan semakin berpotensi menghancurkan sistem perekonomian bangsa. Dampak yang sangat pasti ditimbulkan sebagai akibat dari pembiaran itu ialah terjadinya penderitaan dan kesengsaraan yang superakut yang bakal dirasakan oleh sebagian besar rakyat dan anak bangsa ini.

Pertama, karena tindak korupsi secara nyata berdampak pada penderitaan dan kesengsaraan rakyat, perlu segera dirumuskan sanksi hukum yang berupa "pemiskinan" terhadap pelaku korupsi. Seluruh harta dan aset—baik yang diperoleh dari tindak korupsi ataupun tidak—di sita oleh negara. Pemiskinan terhadap pelaku korupsi merupakan tindakan yang memenuhi asas keadilan, dan dapat berfungsi sebagai shock therapy bagi individu lain agar tidak melakukan tindak kejahatan korupsi. Melalui mekanisme pemiskinan, pelaku korupsi yang sedang menjalani proses hukum tidak memiliki kemampuan untuk membeli hukum.

Selama ini yang tampak—manakala tidak dilakukan proses pemiskinan terhadap pelaku korupsi—justru sebaliknya. Mereka keluar dari penjara ibarat keluar dari sebuah restoran. Tidak terpersit sedikit pun rasa malu di raut muka mereka, sebaliknya justru menampakkan ekspresi rasa bangganya.

Kedua, korupsi merupakan kejahatan yang dapat diidentikkan dengan kejahatan terorisme dan makar, bahkan lebih berbahaya. Patutlah para penegak hukum—yang masih memiliki moral dan berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi—di negeri ini berguru ke negeri China yang berani menjatuhkan hukuman maksimal bagi pelaku korupsi, yaitu hukuman mati. Salah satu faktor penyebab tidak adanya efek jera untuk tidak melakukan korupsi di negeri ini, di antaranya karena belum ada satu pun pelaku korupsi yang dijatuhi hukuman mati.

Ketiga, sanksi moral yang berupa kerja sosial sesuai dengan bidang yang dikorupsinya. Misalnya, bila yang menjadi objek korupsi adalah proyek pembangunan jalan, sanksi moralnya bagi sang koruptor ialah kerja sosial dalam pembangunan proyek jalan itu. Bukan sebagai mandor atau pengawas, tetapi tenaga kasar.

Keempat, pemberantasan korupsi secara nyata tidak dapat hanya diatasi dengan pendekatan hukum semata. Pendekatan hukum belum secara nyata mampu memutus akar dan landasan dasar tindakan yang bersifat korup. Maka penghadiran nilai kultural dan agama (religi) patut menjadi pertimbangan tersendiri untuk menekan tindak kejahatan korupsi. Upaya ijtihad hukum yang dilakukan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dengan telaah fikihnya memutuskan seorang "koruptor itu kafir" pantas dielaborasi. Organisasi agama yang lain patut mengikuti langkah yang telah ditempuh oleh Muhammadiyah dan NU ini.

Selain memperlakukan koruptor sebagai orang yang tidak beragama, juga perlu dipandang sebagai sampah masyarakat yang layak untuk dijauhi seumur hidupnya. Keluarga koruptor—bila terduga turut andil dalam memotivasi pelaku melakukan korupsi—pun perlu mendapatkan penyikapan yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan yang tidak melakukan korupsi.

Perlu Tindakan Ekstrem

Dampak korupsi secara nyata sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara. Karena ulah para koruptor, masyarakat yang harus terdera kemiskinan tak berujung akhir. Jurang kesenjangan pun kian melebar, yang kaya makin kaya dan semena-mena sedang yang miskin kian tertindas dan menderita.

Karena itu, tidak ada cara lain untuk mencegah dan memberantas tindak korupsi, kecuali dengan berkomitmen untuk menegakkan hukum setegas-tegasnya dan menghukum para koruptor dengan hukuman yang seberat-beratnya. Perlu adanya sikap yang radikal untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.

Pendek kata, pemberantasan korupsi di negeri ini tampaknya hanya bisa dijalankan dengan kebijakan pemerintah yang tegas, berani dan tidak pandang bulu. Bukan pemberantasan yang tebang pilih, yang hanya garang mengadili koruptor yang jauh dari lingkar kekuasaan.