Rabu, 10 Agustus 2011
Jangan Biarkan Pengemis Kontemporer
RadarSurabaya, 10-08-2011
Abd. Sidiq Notonegoro
Berita RadarSurabaya (5 Agustus 2011) tentang maraknya penipuan berkedok sumbangan untuk panti asuhan patut diapresiasi. Terlebih didalam bulan ramadhan seperti ini, para “pemburu sumbangan” kian massif bergentayangan dimana-mana dan bahkan terkadang tak mengenal waktu. Tidak jarang pula kehadiran mereka itu justru menciptakan keresahan di masyarakat. Bisa dimaklumi, dalam menjalankan aksinya mereka tidak melihat tempat dan waktu.
Banyak modus yang dilakukan para ‘Pak Ogah’ profesional ini. Selain membagi-bagikan amplop kosong di depan restoran, SPBU maupun ATM dengan harapan amplop tersebut diisi uang dan dikembalikan lagi, sampai dengan membawa proposal sambil berkeliling dari rumah ke rumah. Namun pada hakekatnya, mereka hanyalah orang-orang yang bermental pemalas, pengemis atau peminta-minta. Hanya saja, mereka tampak tidak mau susah dalam menjalankan aksinya, dan sekaligus mendapatkan penghasilan yang lebih berlimpah dibanding pengemis konvensional.
Bila pengemis-pengemis biasa memilih penampilan yang memancing rasa iba --- misalnya dengan baju yang lusuh dan ekspresi diri yang dekil penuh penderitaan ---, maka pengemis kontemporer ini justru berpenampilan perlente. Dalam menjalankan aksinya mereka bersepatu, berbaju bagus (bahkan ada yang memakai dasi) dan membawa tas kerja yang keren. Bila pengemis konvensional hanya mengandalkan tengadah tangan atau menggunakan kaleng, maka pengemis kontemporer memakai amplop dan atau proposal.
Karena yang di’jual’ adalah lembaga atau yayasan sosial, para donatur yang tertipu dengan ikhlas memberi uang dengan jumlah yang cukup besar. Bahkan dapat dibilang berkali lipat dibandingkan dengan pengemis yang berpenampilan dekil dan lusuh. Bila untuk pengemis biasa cukup dengan lima ratus perak, maka akan terasa tidak sampai hati atau bahkan malu sendiri bila mengisi amplop dengan uang recehan. Tampaknya para pencatut nama lembaga/yayasan sosial itu faham tentang jiwa kemanusiaan sebagian masyarakat kita.
Menyumbang dengan akal sehat
Menyikapi fenomena pengemis kontemporer itu, semua perlu dikembalikan kepada masyarakat. Masyarakat harus lebih mengedepankan akal sehatnya sebelum memberikan sumbangan atau bantuan, dan menomor-duakan perasaan. Tidak jarang donatur yang tertipu adalah orang-orang yang sangat mudah tersentuh hatinya, tetapi tidak teliti kepada siapa dia memberikan bantuan. Setiap peminta-peminta kemudian secara otomatis diberinya.
Sudah saatnya masyarakat yang biasa memberikan donasi kepada masyarakat miskin atau lembaga sosial untuk berfikir cerdas dan bersikap tegas. Katakan “tidak” untuk para penebar amplop yang biasa nongkrong di ATM, restoran, SPBU atau tempat-tempat tertentu lainnya. Katakan pula “tidak” untuk para pengembara dengan seperangkat proposal bantuan kemanusiaan yang bergerilya dari rumah ke rumah, dari kantor ke kantor.
Alangkah bermanfaatnya bila berbagai dana yang kita orientasikan untuk kemanusiaan disalurkan ke lembaga kemanusiaan yang jelas, mendapatkan ijin dari pemerintah dan dapat dipertanggungjawabkan, misalnya Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqoh (BAZIS) atau Lembaga Amil Zakat, Infak dan Shadaqoh (LAZIS). Selain lembaga atau badan diatas, bisa pula donasi kemanusiaan disalurkan ke lembaga sosial terdekat dengan tempat tinggal sehingga bisa sekaligus mengawasi pemanfaatannya.
Peran tegas pemerintah
Benar bahwa para pengemis kontemporer tersebut tidak memaksa dalam meminta sumbangan. Namun keresahan dan merasa tertipunya masyarakat patut direspon oleh pemerintah melalui aparat yang berwenang. Bila benar apa yang dilakukan para pengemis modern itu ada unsur penipuan, tidak semestinya aparat kepolisian baru bertindak setelah ada laporan dari masyarakat dan bahkan mungkin setelah ada korban. Aparat kepolisian harus lebih pro aktif mencegah agar praktek penipuan dengan kedok sosial ini tidak terus berlanjtu.
Mengapa aparat kepolisian harus pro-aktif? Karena dengan maraknya praktek penipuan semacam ini, maka bukan tidak mungkin lambat-laun syaraf kemanusiaan masyarakat bisa menjadi tumpul dengan menganggap setiap pencari sumbangan adalah penipu. Dan pada akhirnya, bila benar-benar dana kemanusiaan masyarakat dibutuhkan untuk kepentingan sosial, justru tidak mengucur sedikit pun.
Aparat pemerintah harus mempidanakan para pengemis yang berkedok lembaga sosial. Apalagi ada aturan bahwa meminta sumbangan ke masyarakat umum, lembaga atau yayasan sosial harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari dinas sosial.
Mudah-mudahan dengan kepedulian pemerintah untuk lebih bersikap tegas, semangat masyarakat untuk beramal dan berbagi dengan sesamanya dapat terjaga konsistensinya.
Abd. Sidiq Notonegoro
Pengajar di Univ. Muhammadiyah Gresik
Langganan:
Postingan (Atom)