Sabtu, 14 Januari 2023

Sains Melampaui Politik dan Agama

https://jurnal-maarifinstitute.org/index.php/maarif/article/view/80/48

Jumat, 13 September 2013

Oleh-Oleh Sepulang Haji

Kala hendak bertamu ke rumah seseorang, dan orang tersebut adalah orang penting serta berpengaruh, pastilah kita akan melakukan persiapan yang terbaik sebelum bertamu. Andai punya beberapa baju, akan kita gunakan yang kelihatan paling bagus dan paling mahal. Andai tahu makanan apa yang paling disukai oleh ”sang tuan rumah”, sebisa mungkin kita akan membawakannya sebagai oleh-oleh. Semua itu di lakukan bukan dengan maksud pamer, tetapi sebagai bentuk penghormatan yang sangat tinggi. Bertamu ke rumah orang penting bukanlah hal yang mudah. Sebab, apa yang kita anggap paling baik dan yang hendak kita tunjukkan sebagai tanda penghormatan, bisa dipandang oleh yang punya rumah sebagai hal yang sebaliknya. Apa yang kita anggap sebagai bentuk penghormatan, bisa dipandang oleh yang punya rumah sebagai penghinaan atau penipuan. Karena itu, untuk menjadi tamu yang baik, haruslah tahu adab sopan santun dalam bertamu. Bukan seenaknya bertamu, tanpa peduli dengan kewajiban atau syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh tuan rumah. Sebaliknya, tamu harus menuruti semua keinginan tuan rumah, baik soal waktu bertamu, ruang yang boleh kita tempati untuk bercengkerama, atau kursi mana yang boleh kita duduki dan mana yang tidak boleh. Bahkan, andai tuan rumah tidak memberikan suguhan, walau seteguk air putih pun, kita tidak berhak untuk memprotesnya. * * * Bagaimana jika kita hendak bertamu ke Baitullah? Apa saja yang harus dipersiapkan agar kita disambut dengan tangan terbuka dan segala pintu rahmat-Nya? Pertama,pakaian yang kita kenakan dalam berhaji haruslah benar-benar sesuai dengan kehendak Allah. Pakaian dalam berhaji pada hakikatnya ada 2 (dua), yaitu pakaian jasmaniah dan pakaian rohaniah. Pakaian jasmaniah yang diwajibkan oleh Allah adalah pakaian ihram, sebuah pakaian yang berwarna putih dan tidak berjahit. Semua manusia yang melaksanakan ritual haji, harus menggunakan pakaian ini. Siapa pun orangnya, mulai dari raja sampai rakyat jelata, pejabat sampai dengan penjahit, jenderal sampai kopral, dan seterusnya, harus memakai pakaian yang sama dan telah ditentukan ini. Pakaian rohaniah adalah sifat kehambaan yang tinggi hanya kepada-Nya (Abdul Allah). Pakaian Abdul Allah itulah, pakaian yang terbaik bagi manusia yang sempurna (QS. 7:26). Tidak ada pakaian di muka bumi ini yang mampu menaikkan derajat manusia ke puncak tertingginya kecuali penghambaan yang totalitas hanya kepada Allah. Karena hanya pakaian inilah yang mampu menembus batas kefanaan dan kerelativitasan. Kedua,sebagaimana layaknya bertamu, salam dan ucapan yang merajuk serta merayu kepada tuan rumah agar sudi membukakan pintu rumahnya adalah keharusan. Berdiam diri di depan pintu dengan tidak berucap apapun pada hakikatnya bukan bertamu. Salam dalam ibadah haji adalah dengan kalimat talbiyyah.Adapun lafaz talbiyyahbersebut memiliki arti: “Aku di sini, wahai Alláh, aku di sini di hadapan-Mu; tidak ada sekutu bagi Engkau, aku di sini; sesungguhnya segala puji dan nikmat adalah kepunyaan Engkau, dan kerajaan adalah kepunyaan Engkau; tidak ada sekutu bagi Engkau. ” Apalah artinya sebuah talbiyyahjika hanya ada di bibir semata, sedangkan dalam sanubari masih bertumpuk lafaz persekutuan yang memuja kekuasaan, kekayaan, kesombongan, dan juga termasuk hal-hal yang bernuansa syirik. Apalah artinya pengakuan bahwa semua kerajaan adalah milik Allah, tapi dalam kehidupan sehari-hari kita membangun kerajaan yang absolut untuk diri kita sendiri dan membangunkan kerajaan untuk para iblis. Ketiga,mengunjungi Baitullahmerupakan keberuntungan tersendiri. Tidak semua manusia memiliki kesempatan. Merupakan kerugian besar bagi mereka, yang mengeluarkan biaya besar, dan meninggalkan keluarga, jika kembali tidak membawa perubahan moral yang signifikan, kecuali hanya cerita bualan yang tidak ada kaitan sama sekali dengan ritus-ritus yang dilakukannya, yang hanya menambah deretan daftar dosa. Ada yang lebih ironis lagi, berkali-kali mengunjungi Baitullahtetapi sama sekali tidak pernah mengalami perubahan moral menjadi lebih baik secara signifikan. Entahlah, apakah ke Baitullah hanya untuk mempertegas diri sebagai makhluk “mahapembohong”, yang melafaz talbiyyahdalam bibir namun hati sekedar menipu Allah. Sehingga ketika pulang, yang dijadikan oleh-oleh hanyalah cerita-cerita yang menjelekkan jemaah lain dengan mengarang peristiwa ini dan itu. Sedangkan untuk dirinya hanyalah kebaikankebaikan, seakan hanya hajinya yang paling diterima Allah. * * * Kalau kita amati, negeri ini merupakan penyumbang tamu terbanyak di Baitullah. Ratusan ribu orang berduyun-duyun ke tanah suci. Pergi haji sama seperti halnya ke Paris atau Hawai. Berangkat dengan penuh kebanggaan dan kemewahan. Setiap orang ditegur sapanya, dipamiti dengan senyum kebahagiaan. Kala pulang pun para tetangga diundang untuk mendengarkan cerita yang tidak pernah berubah sepanjang tahun. Kenikmatankenikmatan, yang disebutnya ibadah, di Masjidil Haram dieksploitasi dalam bentuk dongeng sehingga para orang yang tidak berharta cukup mengusap air liur. Padahal, sesungguhnya masyarakat sekitarnya lebih mengharapkan oleh-oleh berupa perubahan jati diri. Dari manusia yang sombong menjadi manusia yang santun dan dermawan. Manusia yang mampu memandang sesamanya sebagai makhluk yang sama.  ABDULLAH SIDIQ NOTONEGORO Pengajar di Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Gresik

Rabu, 10 Agustus 2011

Jangan Biarkan Pengemis Kontemporer



RadarSurabaya, 10-08-2011

Abd. Sidiq Notonegoro



Berita RadarSurabaya (5 Agustus 2011) tentang maraknya penipuan berkedok sumbangan untuk panti asuhan patut diapresiasi. Terlebih didalam bulan ramadhan seperti ini, para “pemburu sumbangan” kian massif bergentayangan dimana-mana dan bahkan terkadang tak mengenal waktu. Tidak jarang pula kehadiran mereka itu justru menciptakan keresahan di masyarakat. Bisa dimaklumi, dalam menjalankan aksinya mereka tidak melihat tempat dan waktu.

Banyak modus yang dilakukan para ‘Pak Ogah’ profesional ini. Selain membagi-bagikan amplop kosong di depan restoran, SPBU maupun ATM dengan harapan amplop tersebut diisi uang dan dikembalikan lagi, sampai dengan membawa proposal sambil berkeliling dari rumah ke rumah. Namun pada hakekatnya, mereka hanyalah orang-orang yang bermental pemalas, pengemis atau peminta-minta. Hanya saja, mereka tampak tidak mau susah dalam menjalankan aksinya, dan sekaligus mendapatkan penghasilan yang lebih berlimpah dibanding pengemis konvensional.

Bila pengemis-pengemis biasa memilih penampilan yang memancing rasa iba --- misalnya dengan baju yang lusuh dan ekspresi diri yang dekil penuh penderitaan ---, maka pengemis kontemporer ini justru berpenampilan perlente. Dalam menjalankan aksinya mereka bersepatu, berbaju bagus (bahkan ada yang memakai dasi) dan membawa tas kerja yang keren. Bila pengemis konvensional hanya mengandalkan tengadah tangan atau menggunakan kaleng, maka pengemis kontemporer memakai amplop dan atau proposal.

Karena yang di’jual’ adalah lembaga atau yayasan sosial, para donatur yang tertipu dengan ikhlas memberi uang dengan jumlah yang cukup besar. Bahkan dapat dibilang berkali lipat dibandingkan dengan pengemis yang berpenampilan dekil dan lusuh. Bila untuk pengemis biasa cukup dengan lima ratus perak, maka akan terasa tidak sampai hati atau bahkan malu sendiri bila mengisi amplop dengan uang recehan. Tampaknya para pencatut nama lembaga/yayasan sosial itu faham tentang jiwa kemanusiaan sebagian masyarakat kita.

Menyumbang dengan akal sehat

Menyikapi fenomena pengemis kontemporer itu, semua perlu dikembalikan kepada masyarakat. Masyarakat harus lebih mengedepankan akal sehatnya sebelum memberikan sumbangan atau bantuan, dan menomor-duakan perasaan. Tidak jarang donatur yang tertipu adalah orang-orang yang sangat mudah tersentuh hatinya, tetapi tidak teliti kepada siapa dia memberikan bantuan. Setiap peminta-peminta kemudian secara otomatis diberinya.

Sudah saatnya masyarakat yang biasa memberikan donasi kepada masyarakat miskin atau lembaga sosial untuk berfikir cerdas dan bersikap tegas. Katakan “tidak” untuk para penebar amplop yang biasa nongkrong di ATM, restoran, SPBU atau tempat-tempat tertentu lainnya. Katakan pula “tidak” untuk para pengembara dengan seperangkat proposal bantuan kemanusiaan yang bergerilya dari rumah ke rumah, dari kantor ke kantor.

Alangkah bermanfaatnya bila berbagai dana yang kita orientasikan untuk kemanusiaan disalurkan ke lembaga kemanusiaan yang jelas, mendapatkan ijin dari pemerintah dan dapat dipertanggungjawabkan, misalnya Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqoh (BAZIS) atau Lembaga Amil Zakat, Infak dan Shadaqoh (LAZIS). Selain lembaga atau badan diatas, bisa pula donasi kemanusiaan disalurkan ke lembaga sosial terdekat dengan tempat tinggal sehingga bisa sekaligus mengawasi pemanfaatannya.

Peran tegas pemerintah

Benar bahwa para pengemis kontemporer tersebut tidak memaksa dalam meminta sumbangan. Namun keresahan dan merasa tertipunya masyarakat patut direspon oleh pemerintah melalui aparat yang berwenang. Bila benar apa yang dilakukan para pengemis modern itu ada unsur penipuan, tidak semestinya aparat kepolisian baru bertindak setelah ada laporan dari masyarakat dan bahkan mungkin setelah ada korban. Aparat kepolisian harus lebih pro aktif mencegah agar praktek penipuan dengan kedok sosial ini tidak terus berlanjtu.

Mengapa aparat kepolisian harus pro-aktif? Karena dengan maraknya praktek penipuan semacam ini, maka bukan tidak mungkin lambat-laun syaraf kemanusiaan masyarakat bisa menjadi tumpul dengan menganggap setiap pencari sumbangan adalah penipu. Dan pada akhirnya, bila benar-benar dana kemanusiaan masyarakat dibutuhkan untuk kepentingan sosial, justru tidak mengucur sedikit pun.

Aparat pemerintah harus mempidanakan para pengemis yang berkedok lembaga sosial. Apalagi ada aturan bahwa meminta sumbangan ke masyarakat umum, lembaga atau yayasan sosial harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari dinas sosial.

Mudah-mudahan dengan kepedulian pemerintah untuk lebih bersikap tegas, semangat masyarakat untuk beramal dan berbagi dengan sesamanya dapat terjaga konsistensinya.

Abd. Sidiq Notonegoro

Pengajar di Univ. Muhammadiyah Gresik

Senin, 20 Juni 2011

Radikalisasi Pemberantasan Korupsi



Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Senin, 20 Juni 2011

Abd. Sidiq Notonegoro, Aktivis Muhammadiyah dan Dosen di Univ. Muhammadiyah Gresik

Tidak dapat dipungkiri lagi, bahaya korupsi telah benar-benar merajalela. Dapat dikatakan negara tidak memiliki daya dan cenderung gagal dalam menghadapi massifnya tindak korupsi yang selalu hadir dalam keseharian bangsa ini. Maka tidaklah berlebihan bila disebutkan bahwa korupsi telah mengalami metamorfosis dari sebuah tindak kejahatan ke sebuah perilaku yang dianggap lazim. Dan akhirnya, tidak ada yang mendebat tatkala dikatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari kebudayaan sebagian (pejabat) kita.

Tidak berlebihan bila Ikrar Nusa Bhakti dari LIPI menyatakan bahwa "kultur di Indonesia sudah kultur koruptor. Pelaku korupsi sudah bermuka badak. Mereka tidak malu atau takut melakukan korupsi." Hal ini terjadi karena korupsi pada umumnya merupakan hasil dari persekongkolan antara politikus, pengusaha, dan birokrat. Karena persekongkolan (konspirasi) tersebut, tidak berlebihan bila penanganan tindak kejahatan korupsi selalu menemui jalan buntu. Pemerintah dan lembaga penegakan hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tampak disandera oleh mereka sehingga tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan keadilan secara tegas.

Memang masih ada orang-orang yang berhati bersih, jujur, dan bermoral, yang memimpikan korupsi di negeri ini sirna. Namun, mengamati fakta dan realita yang ada, entah sampai kapan semua itu masih tetap sebagai mimpi. Hal itu semata-mata karena hingga detik ini belum ada tindakan yang nyata dari pemerintah dengan seluruh institusi penegakan hukumnya untuk menjadikan korupsi sebagai musuh yang benar-benar nyata.

Model Sanksi

Di tengah massif dan sistemiknya perilaku korupsi di negeri ini, diperlukan langkah-langkah ekstrem (radikal) untuk memenggal pelaku dan tindakan korupsi. Apalagi pasti semua sepakat bahwa di mata hukum, tindak korupsi perlu diposisikan sebagai perilaku yang sangat berbahaya karena dapat menghancurkan sumber daya kemanusiaan, sosial dan alam. Juga berpotensi merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara, melemahkan supremasi hukum, dan menggerogoti fondasi pembangunan yang berkelanjutan.

Perlu disadari bersama, bila perilaku korupsi dibiarkan berlarut-larut, akan semakin berpotensi menghancurkan sistem perekonomian bangsa. Dampak yang sangat pasti ditimbulkan sebagai akibat dari pembiaran itu ialah terjadinya penderitaan dan kesengsaraan yang superakut yang bakal dirasakan oleh sebagian besar rakyat dan anak bangsa ini.

Pertama, karena tindak korupsi secara nyata berdampak pada penderitaan dan kesengsaraan rakyat, perlu segera dirumuskan sanksi hukum yang berupa "pemiskinan" terhadap pelaku korupsi. Seluruh harta dan aset—baik yang diperoleh dari tindak korupsi ataupun tidak—di sita oleh negara. Pemiskinan terhadap pelaku korupsi merupakan tindakan yang memenuhi asas keadilan, dan dapat berfungsi sebagai shock therapy bagi individu lain agar tidak melakukan tindak kejahatan korupsi. Melalui mekanisme pemiskinan, pelaku korupsi yang sedang menjalani proses hukum tidak memiliki kemampuan untuk membeli hukum.

Selama ini yang tampak—manakala tidak dilakukan proses pemiskinan terhadap pelaku korupsi—justru sebaliknya. Mereka keluar dari penjara ibarat keluar dari sebuah restoran. Tidak terpersit sedikit pun rasa malu di raut muka mereka, sebaliknya justru menampakkan ekspresi rasa bangganya.

Kedua, korupsi merupakan kejahatan yang dapat diidentikkan dengan kejahatan terorisme dan makar, bahkan lebih berbahaya. Patutlah para penegak hukum—yang masih memiliki moral dan berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi—di negeri ini berguru ke negeri China yang berani menjatuhkan hukuman maksimal bagi pelaku korupsi, yaitu hukuman mati. Salah satu faktor penyebab tidak adanya efek jera untuk tidak melakukan korupsi di negeri ini, di antaranya karena belum ada satu pun pelaku korupsi yang dijatuhi hukuman mati.

Ketiga, sanksi moral yang berupa kerja sosial sesuai dengan bidang yang dikorupsinya. Misalnya, bila yang menjadi objek korupsi adalah proyek pembangunan jalan, sanksi moralnya bagi sang koruptor ialah kerja sosial dalam pembangunan proyek jalan itu. Bukan sebagai mandor atau pengawas, tetapi tenaga kasar.

Keempat, pemberantasan korupsi secara nyata tidak dapat hanya diatasi dengan pendekatan hukum semata. Pendekatan hukum belum secara nyata mampu memutus akar dan landasan dasar tindakan yang bersifat korup. Maka penghadiran nilai kultural dan agama (religi) patut menjadi pertimbangan tersendiri untuk menekan tindak kejahatan korupsi. Upaya ijtihad hukum yang dilakukan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dengan telaah fikihnya memutuskan seorang "koruptor itu kafir" pantas dielaborasi. Organisasi agama yang lain patut mengikuti langkah yang telah ditempuh oleh Muhammadiyah dan NU ini.

Selain memperlakukan koruptor sebagai orang yang tidak beragama, juga perlu dipandang sebagai sampah masyarakat yang layak untuk dijauhi seumur hidupnya. Keluarga koruptor—bila terduga turut andil dalam memotivasi pelaku melakukan korupsi—pun perlu mendapatkan penyikapan yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan yang tidak melakukan korupsi.

Perlu Tindakan Ekstrem

Dampak korupsi secara nyata sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara. Karena ulah para koruptor, masyarakat yang harus terdera kemiskinan tak berujung akhir. Jurang kesenjangan pun kian melebar, yang kaya makin kaya dan semena-mena sedang yang miskin kian tertindas dan menderita.

Karena itu, tidak ada cara lain untuk mencegah dan memberantas tindak korupsi, kecuali dengan berkomitmen untuk menegakkan hukum setegas-tegasnya dan menghukum para koruptor dengan hukuman yang seberat-beratnya. Perlu adanya sikap yang radikal untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.

Pendek kata, pemberantasan korupsi di negeri ini tampaknya hanya bisa dijalankan dengan kebijakan pemerintah yang tegas, berani dan tidak pandang bulu. Bukan pemberantasan yang tebang pilih, yang hanya garang mengadili koruptor yang jauh dari lingkar kekuasaan.

Jumat, 28 Januari 2011

Bahaya Laten Terorisme

http://www.blogger.com/img/blank.gif

Oleh: Abd. Sidiq Notonegoro

Jawa Pos, 28/01/2011

SAAT sebagian besar pandangan kita fokus pada masalah Gayus Tambunan, sembilan kebohongan SBY, keluhan SBY yang gajinya tidak naik, hingga crop circle yang misterius, tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menyuguhkan penangkapan tujuh orang yang diduga sebagai anggota jaringan teroris di Sukoharjo dan Klaten, Jawa Tengah. Yang lebih mengejutkan, tujuh tangkapan tersebut masih berusia sangat belia. Rata-rata masih remaja dengan umur 17–21 tahun. Jaringan itu diduga berada di balik teror selama Desember 2010. Di antaranya, memasang bom low explosive di Pasar Kliwon, Solo, dan sebuah gereja.
Lepas dari anggapan apakah itu merupakan upaya aparat kepolisian dalam mengalihkan isu sensitif yang beberapa pekan ini menghajar kredibilitas pemerintah di mata publik terkait dengan tidak kunjung tuntasnya penyelesaian masalah korupsi, yang jelas, penangkapan anggota teroris yang masih berusia belia tersebut patut kita cermati.
Munculnya anggota teroris baru yang masih berusia remaja patut menjadi keprihatinan bersama dan memberikan kesimpulan bahwa pendekatan represif semata tidaklah efektif. Perlu ada cara-cara sistematis untuk memutus mata rantai jaringan terorisme agar tidak terus berkembang dan mengancam sekaligus meresahkan masyarakat.
Alih-alih menyatakan jaringan teroris di negeri ini kian tidak punya harapan untuk berkembang, tertangkapnya anggota teroris yang masih berusia belasan tahun tersebut justru mengindikasikan perkembangan mereka yang semakin signifikan. Lebih dari itu, tujuh orang tersebut diduga juga memiliki kemampuan meracik serta merakit bom. Karena itu, tidak berlebihan bila Mabes Polri pun menduga tujuh tersangka tersebut memiliki benang merah dengan jaringan Dr Azhari, gembong teroris asal Malaysia yang binasa setelah disergap tim Densus 88 pada November 2005 di Malang.
Terbongkarnya kelompok teroris berusia remaja tersebut mengindikasikan telah terjadi pengembangan pola perekrutan anggota baru. Yaitu telah merambah kalangan pelajar dan remaja, kelompok usia yang notabene sedang menjadi jatidiri. Karena itu, perlu peningkatan kewaspadaan dari semua pihak agar ideologi-ideologi teror tidak terus berkembang dan mengkristal ditengah-tengah masyarakat. Terorisme patut dipandang sebagai “bahaya laten” yang terus bergentayangan sehingga perlu selalu diwaspadai. Mengapa demikian? Seperti halnya bahaya laten komunis, terorisme merupakan ancaman yang lebih berbahaya daripada ancaman dari luar yang relatif lebih mudah diidentifikasi.

Menghadang Terorism
Sebagai bahaya laten, terorisme bisa masuk lewat mana saja dan pergerakannya sulit untuk terdeteksi dengan cara biasa. Paling tidak ada 2 (dua) pintu yang relatif paling efektif sebagai pintu masuknya ajaran teror tersebut, yaitu agama dan pendidikan. Namun ada satu ciri yang cukup menonjol dalam doktrin kaum teroris, yaitu mengusung teologi kebencian dan penghancuran.
Mereka memanfaatkan agama sebagai kedok untuk menebar ancaman terhadap kehidupan yang damai. Karena itu, yang lebih fundamental ialah membentengi generasi muda bangsa agar tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi ekstrim radikal yang membahayakan keutuhan bangsa ini. Kristalisasi nilai-nilai kebangsaan perlu lebih ditekankan pada generasi muda dan menegaskan nasionalisme adalah bagian dari perwujudan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perlu ada pola yang sistematis dan komprehensif, utamanya dalam dunia pendidikan untuk menekankan bahwa tindakan teror merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang apapun, utamanya dari perspektif agama. Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan --- atau sekedar melegalitas --- tindakan teror dan kekerasan. Karena hanya orang-orang yang ‘sakit jiwa’ saja yang menganggap tindakan terornya memperoleh restu dari Tuhan.
Pengajaran dan interpretasi agama yang kurang tepat, selain dapat berdampak pada tercerabutnya akar-akar religiusitas dalam diri seseorang, juga dapat membentuk diri seseorang menjadi sangat ekstrim. Ironisnya, tidak sedikit pendidikan agama di sekolah hanya dijalankan dengan ala kadarnya dengan pengetahuan guru agama yang pas-pasan pula. Di sisi lain, tidak sedikit sekolah yang mengabaikan masuknya mentor keagamaan dari luar yang tidak jelas asal usulnya untuk melakukan ’pembinaan’ kepada siswa. Apalagi para mentor itu rela tidak dibayar, sehingga sekolah pun merasa untung. Guru agama pun merasa kian ringan tugasnya dalam mendidik. Inilah yang kemudian menjadi pintu masuk paham terorisme dikalangan pelajar.
Menyusupnya kelompok teroris ke lingkungan pelajar perlu makin diwaspadai. Menurut pandangan pengamat terorisme Al-Chaidar, remaja lebih mudah dibentuk dan mudah dipacu semangatnya untuk menjadi teroris. Teroris bahkan sengaja melakukan perekrutan kepada remaja atau pelajar di kalangan sekolah dan universitas negeri yang pendidikan agamanya rendah. Karena dengan pengetahuan agama yang tidak mendalam itu, membuat mereka menjadi mau menerima doktrin terorisme yang diberikan para perekrutnya (INILAH.COM, 27/01/2011).
Karena itu, untuk meneguhkan kembali tentang potensi ancaman terorisme yang bersumber dari gerakan-gerakan ekstrimisme yang mengagung-agungkan teologi kebencian dan dekonstruksi, kegiatan keagamaan yang mengusung nilai-nilai perdamaian dan humanisme perlu kian digiatkan. Tidak ada jalan terbaik untuk menghadang laju terorisme kecuali dengan pendidikan agama yang baik. Pendidikan agama yang baik ialah pendidikan agama yang mengedepankan pendekatan kritis, dialogis dan tidak merasa paling benar sendiri. Karenanya, harus ada format baru terkait pendidikan agama di sekolah agar lebih efektif dan fungsional.
Pendek kata, semua pihak harus semakin ekstra waspada setelah jaringan terorisme tampak mulai berhasil mempengaruhi kalangan remaja dan pelajar untuk menjadi penebar kematian baru ditengah-tengah masyarakat. (*)

*) Abd. Sidiq Notonegoro, pemerhati masalah sosial.

Rabu, 19 Januari 2011

18 Kebohongan Pemerintah

9 kebohongan lama adalah :
Pertama, pemerintah mengklaim bahwa pengurangan kemiskinan mencapai 31,02 juta jiwa. Padahal dari penerimaan beras rakyat miskin tahun 2010 mencapai 70 juta jiwa dan penerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) mencapai 76,4 juta jiwa.

Kedua, Presiden SBY pernah mencanangkan program 100 hari untuk swasembada pangan. Namun pada awal tahun 2011 kesulitan ekonomi justru terjadi secara masif.

Ketiga, SBY mendoronga terobosan ketahanan pangan dan energi berupa pengembangan varietas Supertoy HL-2 dan program Blue Energi. Program ini mengalami gagal total.

Keempat, Presiden SBY melakukan konferensi pers terkait tragedi pengeboman Hotel JW Mariot. Ia mengaku mendapatkan data intelijen bahwa fotonya menjadis asaran tembak teroris. Ternyata foto tersebut merupakan data lama yang pernah diperlihatkan dalam rapat dengan Komisi I DPR pada tahun 2004.

Kelima, Presiden SBY berjanji menuntaskan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir sebagai a test of our history. Kasus ini tidak pernah tuntas hingga kini.

Keenam, UU Sistem Pendidikan Nasional menuliskan anggaran pendidikan harus mencapai 20% dari alokasi APBN. Alokasi ini harus dari luar gaji guru dan dosen. Hingga kini anggaran gaji guru dan dosen masih termasuk dalam alokasi 20% APBN tersebut.

Ketujuh, Presiden SBY menjanjikan penyelesaian kasus lumpur Lapindo dalam Debat Calon Presiden Tahun 2009. Penuntasan kasus lumpur Lapindo tidak mengalami titik temu hingga saat ini.

Kedelapan, Presiden SBY meminta semua negara di dunia untuk melindungu dan menyelamatkan laut. Di sisi lain Presiden SBY melakukan pembiaran pembuangan limbah di Laut Senunu, NTB, sebanyak1.200 ton dari PT Newmont dan pembuangan 200.000 ton limbah PT Freeport ke sungai di Papua.

Kesembilan, tim audit pemerintah terhadap PT Freeport mengusulkan renegosiasi. Upaya renegosiasi ini tidak ditindaklanjuti pemerintah hingga kini.

Sedangkan 9 kebohongan baru adalah :

Pertama, dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 2010 Presiden SBY menyebutkan bahwa Indonesia harus mendukung kerukunan antarperadaban atau harmony among civilization. Faktanya, catatan The Wahid Institute menyebutkan sepanjang 2010 terdapat 33 penyerangan fisik dan properti atas nama agama dan Kapolri Bambang Hendarwso Danuri menyebutkan 49 kasus kekerasan ormas agama pada 2010.

Kedua, dalam pidato yang sama Presiden SBY menginstruksikan polisi untuk menindak kasus kekerasan yang menimpa pers. Instruksi ini bertolak belakang dengan catatan LBH Pers yang menunjukkan terdapat 66 kekerasan fisik dan nonfisik terhadap pers pada tahun 2010.

Ketiga, Presiden SBY menyatakan akan membekali Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan telepon genggam untuk mengantisipasi permasalahan kekerasan. Aksi ini tidak efektif karena di sepanjang 2010, Migrant Care mencatat kekerasan terhadap TKI mencapai 1.075 orang.

Keempat, Presiden SBY mengakui menerima surat dari Zoelick (Bank Dunia) pada pertengahan 2010 untuk meminta agar Sri Mulyani diizinkan bekerja di Bank Dunia. Tetapi faktanya, pengumuman tersebut terbuka di situs Bank Dunia. Presiden SBY diduga memaksa Sri Mulyani mundur sebagai Menteri Keuangan agar menjadi kambing hitam kasus Bank Century.

Kelima, SBY berkali-kali menjanjikan sebagai pemimpin pemberantasan korupsi terdepan. Faktanya, riset ICW menunjukkan bahwa dukungan pemberantasan korupsi oleh Presiden dalam kurun September 2009 hingga September 2010, hanya 24% yang mengalami keberhasilan.

Keenam, Presden SBY meminta penuntasan rekening gendut perwira tinggi kepolisian. Bahkan, ucapan ini terungkap sewaktu dirinya menjenguk aktivis ICW yang menjadi korban kekerasan, Tama S Langkun. Dua Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jenderal Timur Pradopo, menyatakan kasus ini telah ditutup.

Ketujuh, Presiden SBY selalu mencitrakan partai politiknya menjalankan politik bersih, santun, dan beretika. Faktanya Anggota KPU Andi Nurpati mengundurkan diri dari KPU, dan secara tidak beretika bergabung ke Partai Demokrat. Bahkan, Ketua Dewan Kehomatan KPU Jimly Asshiddiqie menilai Andi Nurpati melakukan pelanggaran kode etik dalam Pemilu Kada Toli-Toli.

Kedelapan, Kapolri Timur Pradopo berjanji akan menyelesaikan kasus pelesiran tahanan Gayus Tambunan ke Bali selama 10 hari. Namun hingga kini, kasus ini tidak mengalami kejelasan dalam penanganannya. Malah, Gayus diketahui telah sempat juga melakukan perjalanan ke luar negeri selama dalam tahanan.

Kesembilan, Presiden SBY akan menindaklanjuti kasus tiga anggota KKP yang mendapatkan perlakuan tidak baik oleh kepolisian Diraja Malaysia pada September 2010. Ketiganya memperingatkan nelayan Malaysia yang memasuki perairan Indonesia. Namun ketiganya malah ditangkap oleh polisi Diraja Malaysia. Sampai saat ini tidak terdapat aksi apapun dari pemerintah untuk nmenuntaskan kasus ini dan memperbaiki masalah perbatasan dengan Malaysia.