http://www.blogger.com/img/blank.gif
Oleh: Abd. Sidiq Notonegoro
Jawa Pos, 28/01/2011
SAAT sebagian besar pandangan kita fokus pada masalah Gayus Tambunan, sembilan kebohongan SBY, keluhan SBY yang gajinya tidak naik, hingga crop circle yang misterius, tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menyuguhkan penangkapan tujuh orang yang diduga sebagai anggota jaringan teroris di Sukoharjo dan Klaten, Jawa Tengah. Yang lebih mengejutkan, tujuh tangkapan tersebut masih berusia sangat belia. Rata-rata masih remaja dengan umur 17–21 tahun. Jaringan itu diduga berada di balik teror selama Desember 2010. Di antaranya, memasang bom low explosive di Pasar Kliwon, Solo, dan sebuah gereja.
Lepas dari anggapan apakah itu merupakan upaya aparat kepolisian dalam mengalihkan isu sensitif yang beberapa pekan ini menghajar kredibilitas pemerintah di mata publik terkait dengan tidak kunjung tuntasnya penyelesaian masalah korupsi, yang jelas, penangkapan anggota teroris yang masih berusia belia tersebut patut kita cermati.
Munculnya anggota teroris baru yang masih berusia remaja patut menjadi keprihatinan bersama dan memberikan kesimpulan bahwa pendekatan represif semata tidaklah efektif. Perlu ada cara-cara sistematis untuk memutus mata rantai jaringan terorisme agar tidak terus berkembang dan mengancam sekaligus meresahkan masyarakat.
Alih-alih menyatakan jaringan teroris di negeri ini kian tidak punya harapan untuk berkembang, tertangkapnya anggota teroris yang masih berusia belasan tahun tersebut justru mengindikasikan perkembangan mereka yang semakin signifikan. Lebih dari itu, tujuh orang tersebut diduga juga memiliki kemampuan meracik serta merakit bom. Karena itu, tidak berlebihan bila Mabes Polri pun menduga tujuh tersangka tersebut memiliki benang merah dengan jaringan Dr Azhari, gembong teroris asal Malaysia yang binasa setelah disergap tim Densus 88 pada November 2005 di Malang.
Terbongkarnya kelompok teroris berusia remaja tersebut mengindikasikan telah terjadi pengembangan pola perekrutan anggota baru. Yaitu telah merambah kalangan pelajar dan remaja, kelompok usia yang notabene sedang menjadi jatidiri. Karena itu, perlu peningkatan kewaspadaan dari semua pihak agar ideologi-ideologi teror tidak terus berkembang dan mengkristal ditengah-tengah masyarakat. Terorisme patut dipandang sebagai “bahaya laten” yang terus bergentayangan sehingga perlu selalu diwaspadai. Mengapa demikian? Seperti halnya bahaya laten komunis, terorisme merupakan ancaman yang lebih berbahaya daripada ancaman dari luar yang relatif lebih mudah diidentifikasi.
Menghadang Terorism
Sebagai bahaya laten, terorisme bisa masuk lewat mana saja dan pergerakannya sulit untuk terdeteksi dengan cara biasa. Paling tidak ada 2 (dua) pintu yang relatif paling efektif sebagai pintu masuknya ajaran teror tersebut, yaitu agama dan pendidikan. Namun ada satu ciri yang cukup menonjol dalam doktrin kaum teroris, yaitu mengusung teologi kebencian dan penghancuran.
Mereka memanfaatkan agama sebagai kedok untuk menebar ancaman terhadap kehidupan yang damai. Karena itu, yang lebih fundamental ialah membentengi generasi muda bangsa agar tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi ekstrim radikal yang membahayakan keutuhan bangsa ini. Kristalisasi nilai-nilai kebangsaan perlu lebih ditekankan pada generasi muda dan menegaskan nasionalisme adalah bagian dari perwujudan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perlu ada pola yang sistematis dan komprehensif, utamanya dalam dunia pendidikan untuk menekankan bahwa tindakan teror merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang apapun, utamanya dari perspektif agama. Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan --- atau sekedar melegalitas --- tindakan teror dan kekerasan. Karena hanya orang-orang yang ‘sakit jiwa’ saja yang menganggap tindakan terornya memperoleh restu dari Tuhan.
Pengajaran dan interpretasi agama yang kurang tepat, selain dapat berdampak pada tercerabutnya akar-akar religiusitas dalam diri seseorang, juga dapat membentuk diri seseorang menjadi sangat ekstrim. Ironisnya, tidak sedikit pendidikan agama di sekolah hanya dijalankan dengan ala kadarnya dengan pengetahuan guru agama yang pas-pasan pula. Di sisi lain, tidak sedikit sekolah yang mengabaikan masuknya mentor keagamaan dari luar yang tidak jelas asal usulnya untuk melakukan ’pembinaan’ kepada siswa. Apalagi para mentor itu rela tidak dibayar, sehingga sekolah pun merasa untung. Guru agama pun merasa kian ringan tugasnya dalam mendidik. Inilah yang kemudian menjadi pintu masuk paham terorisme dikalangan pelajar.
Menyusupnya kelompok teroris ke lingkungan pelajar perlu makin diwaspadai. Menurut pandangan pengamat terorisme Al-Chaidar, remaja lebih mudah dibentuk dan mudah dipacu semangatnya untuk menjadi teroris. Teroris bahkan sengaja melakukan perekrutan kepada remaja atau pelajar di kalangan sekolah dan universitas negeri yang pendidikan agamanya rendah. Karena dengan pengetahuan agama yang tidak mendalam itu, membuat mereka menjadi mau menerima doktrin terorisme yang diberikan para perekrutnya (INILAH.COM, 27/01/2011).
Karena itu, untuk meneguhkan kembali tentang potensi ancaman terorisme yang bersumber dari gerakan-gerakan ekstrimisme yang mengagung-agungkan teologi kebencian dan dekonstruksi, kegiatan keagamaan yang mengusung nilai-nilai perdamaian dan humanisme perlu kian digiatkan. Tidak ada jalan terbaik untuk menghadang laju terorisme kecuali dengan pendidikan agama yang baik. Pendidikan agama yang baik ialah pendidikan agama yang mengedepankan pendekatan kritis, dialogis dan tidak merasa paling benar sendiri. Karenanya, harus ada format baru terkait pendidikan agama di sekolah agar lebih efektif dan fungsional.
Pendek kata, semua pihak harus semakin ekstra waspada setelah jaringan terorisme tampak mulai berhasil mempengaruhi kalangan remaja dan pelajar untuk menjadi penebar kematian baru ditengah-tengah masyarakat. (*)
*) Abd. Sidiq Notonegoro, pemerhati masalah sosial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar