http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=71480
Rabu, 29 Desember 2010
Tim Nasional (Timnas) Indonesia mencapai antiklimaks. Setelah tidak terkalahkan lima kali berturut-turut dikandang sendiri, pada pertandingan babak final leg pertama melawan Malaysia di Stadion Bukit Jalil (Malaysia) justru menyerah dengan skor 3-0. Peluang memang tidak 100 persen tertutup, Timnas Indonesia masih berpeluang untuk merebut Piala AFF 2010 pada pertandingan leg kedua yang bakal digelar di Gelora Bung Karno pada 29 Desember malam nanti.
Piala AFF 2010 akan menjadi milik Timnas Indonesia, dengan catatan Timnas Indonesia pada pertandingan leg kedua mampu menekuk lutut Malaysia dengan selisih gol minimal 4-0. Adakah kemampuan bagi Indonesia untuk membalas kekalahan dari Malaysia tersebut? Pelatih Indonesia Alfred Riedl menyatakan bahwa Timnas Indonesia masih memiliki peluang 10 persen untuk memenangkan pertandingan.
Entah apa maksudnya dengan peluang Timnas yang tinggal 10 persen tersebut. Apakah semata-mata melecut Timnas Indonesia untuk memiliki mental juara sehingga dapat memenangkan sebuah pertandingan meski waktu yang ada sangat kecil, atau merupakan pernyataan jujur bahwa untuk mengalahkan Malaysia pada pertandingan kedua ini merupakan hal yang sangat berat dan peluang Indonesia benar-benar hanya 10 persen.
Faktor Nonteknis Lepas dari itu, sangat penting untuk dicermati dari pernyataan Alfred Riedl bahwa salah satu faktor penyebab kegagalan Timnas Indonesia untuk memetik kemenangan pada laga pertama pada babak final ini karena hal nonteknis menjelang pertandingan. Faktor nonteknis sebagaimana yang disampaikan oleh Riedl merupakan hal yang sangat logis. Kegiatan doa bersama untuk kemenangan Indonesia merupakan hal yang positif.
Akan tetapi apabila momentum dan cara yang digunakan tidak tepat, bukan tidak mungkin bisa menjadi bumerang. Apakah tidak dapat dilakukan doa dengan tanpa harus kehadiran “Pasukan Garuda” ini? Benarkah dihadirkannya Timnas ke tengah-tengah ritual doa secara otomatis bisa menambah kepercayaan pemain? Sangat tidak masuk akal apa yang dinyatakan oleh orang-orang yang mengaku guru spiritualis salah satu skuad Timnas Indonesia ini.
Misalnya, kekalahan Timnas karena faktor angin dan laut, ahli spiritual yang lain menyebutnya karena faktor alam. Pendek kata, semua itu tidak logis untuk dikaitkan dengan kekalahan Timnas Indonesia ini. Satu hal lagi yang sangat mungkin berpotensi merusak performa permainan Timnas ialah euforia bangsa ini yang sangat berlebihan. Dengan masuknya Timnas Indonesia ke fi nal, seakan-akan predikat juara sudah digenggam.
Terlebih lagi hanya melawan Malaysia yang pada babak penyisihan sempat ditaklukkan oleh Timnas dengan skor telak 5-1. Tidak disadari bahwa euforia tersebut secara psikologis dapat menjadi beban bagi punggawa Garuda tersebut. Timnas menjadi terbebani psikologisnya karena merasa akan dipersalahkan bila kemudian justru menderita kekalahan. Pelatih asal Austria tersebut sebenarnya sudah bertindak tegas, yaitu melarang pasukannya untuk bertemu dengan siapapun menjelang laga. Namun apa dikata, Rield juga manusia yang punya hati.
Kekokohan prinsipnya pun terkadang goyah kala mendapat tekanan-tekanan yang berlebihan dari publik, yang tentu saja dari para pendukung Timnas sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, yang lalu biarlah berlalu. Masih ada 90 menit lagi untuk menjungkir-balikkan keadaan. Meski membutuhkan perjuangan yang lebih berat, Timnas Merah-Putih masih memiliki peluang untuk mengubah takdir.
Mudah-mudahan skuad Timnas tidak terpengaruh dengan cerita-cerita klenik yang dianggap sebagai penyebab kekalahan. Pernyataan Riedl, “inilah sepak bola” perlu diambil hikmah. Kalah menang dalam pertandingan merupakan hal biasa, dan yang utama adalah sportifitas dalam pertandingan. Masih ada 90 Menit Seyogianya skuad Timnas cukup hanya mendengarkan ucapan Riedl saja, bukan yang lain.
Termasuk ucapan yang mengaku guru spiritual atau presiden sekalipun. Meski untuk memetik poin 4-0 pada laga final kedua bukanlah perkara mudah dan membutuhkan kerja keras, yang penting bagaimana pemain dapat berkonsentrasi selama 90 menit dalam pertandingan. Bagi masyarakat, cukuplah kekalahan Timnas pada laga pertama di babak final itu sebagai pelajaran berharga. Bahwa euforia bukanlah hal yang positif, dan sebaliknya bisa menjadi bumerang.
Sehingga bisa diharapkan pada laga yang kedua, mentalitas Timnas bisa kembali bangkit untuk kemudian memenangkan pertandingan. Berdoa untuk kemenangan Timnas merupakan hal yang sangat positif. Namun demikian tidak perlu dipolitisasi dan dipublikasi sedemikian rupa yang menyiratkan kesan seakan-akan hanya kelompok tertentu yang peduli dengan nasib Timnas. Bangsa Indonesia bisa berdoa kapan dan di mana saja, termasuk ketika menyendiri di rumah.
Bahkan ketika sedang menyaksikan pertandingan kedua nanti bisa pula menonton sambil berdoa. Akhirnya, mudah-mudahan dengan kesiapan mental, optimisme yang disuntikkan oleh Riedl kepada pemain, doa dari masyarakat Indonesia, dan janji-janji bonus dari beberapa pejabat, dapat menjadi energi tambahan bagi Pasukan Garuda untuk mempecundangi negeri Malaysia tersebut. Hidup Indonesia. Hidup Timnas.
Penulis adalah Dosen di Univ. Muhammadiyah Gresik & Penikmat Sepakbola, Abdul Sidiq Notonegoro
Tidak ada komentar:
Posting Komentar