Minggu, 02 Januari 2011

Mungkinkah Proposal Jasmas "Awu-Awu"?


Selasa, 28 Desember 2010 | 08:31 WIBhttp://www.blogger.com/img/blank.gif

Pencairan dana program Jaring Aspirasi Masyarakat DPRD Surabaya selama reses akhir November akhirnya tidak bisa dipenuhi 100 persen oleh Pemkot Surabaya. Minggu (19/12) merupakan batas akhir penyerahan proposal Jasmas, dari 717 proposal yang masuk. Ironisnya, dari sekian proposal tersebut ternyata tak seluruhnya layak untuk direspons Pemkot Surabaya.

Berdasarkan hasil verifikasi 717 proposal tersebut, hanya 348 proposal yang dinyatakan layak ditindaklanjuti atau dicairkan dananya. Adapun 369 proposal lainnya tidak bisa diterima sehingga dana proposal itu pun dapat dipastikan sulit untuk dicairkan. Dengan demikian, alokasi dana yang semula disediakan sebesar Rp 52 miliar hanya mampu terserap Rp 9,7 miliar.

Menurut Asisten II Sekretariat Kota Surabaya Muhlas Udin, sebagian dari 369 proposal itu ada yang tidak jelas asal-usulnya. Salah satunya, tim verifikasi dari satuan kerja perangkat daerah tidak dapat menemukan alamat pengusul seperti tercantum di proposal. Selain itu, juga ada alamat proposal yang menempati lahan berpotensi sengketa serta proposal yang melebihi plafon yang sudah ditetapkan, yaitu sebesar Rp 1,1 miliar (Kompas Jatim, 21/12/2010).

Tujuan dari verifikasi proposal adalah agar jangan sampai ada proposal yang tidak diketahui pengusulnya dan melanggar undang-undang. Selain itu, juga untuk mendeteksi potensi terjadinya pelanggaran sehingga secara dini pengusul (pembuat proposal) dapat diberi tahu dan dapat memperbaiki proposalnya.

Pendek kata agar program Jasmas ini tidak terjerembap dalam kubangan hukum sebagaimana yang pernah terjadi pada Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) yang menyeret beberapa pejabat dan akademisi di Jatim masuk penjara.

Namun, tampaknya anggota DPRD Surabaya tak begitu saja menyerah dengan tidak lolosnya sebagian proposal yang mereka sodorkan kepada Pemkot. Dewan menggalang hak angket terkait masalah Jasmas ini. Intinya kalangan legislatif menekan pihak eksekutif agar dana Jasmas bisa cair semuanya sebelum tutup tahun anggaran.

Kita berharap Pemkot tidak menyerah dengan ”ancaman” hak angket tersebut. Kegigihan Pemkot melalui cara verifikasi proposal sudah berada dalam alur yang benar, yaitu mencegah terjadinya peluang penyalahgunaan uang rakyat untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu saja. Dan sebenarnya tidak cukup dengan itu, Pemkot seharusnya juga perlu memberikan pembekalan terhadap wakil rakyat yang proposalnya lolos agar benar-benar dapat mempertanggungjawabkan anggaran APBD yang diterimanya itu.

Di antaranya pembekalan tentang aspek hukum bila terjadi penyimpangan, aspek pembuatan laporan, dan sebagainya.

Dengan memberikannya langsung kepada masyarakat pengaju proposal— tanpa harus diwakili anggota DPRD— akan diketahui mana proposal awu-awu, proposal asal buat, proposal yang penting dapat proyek, atau proposal yang karena kebutuhan akan pembangunan.

Makelar proyek

Langkah yang ditempuh Pemkot Surabaya selaku eksekutif sangat tepat sehingga hasil dari pengajuan dana Jasmas oleh legislatif tersebut bisa benar-benar sampai ke masyarakat. Jasmas yang disuarakan oleh legislatif memang sangat tepat bila yang berhak mengambilnya adalah perwakilan masyarakat itu sendiri secara langsung sesuai dengan proposal yang telah diserahkan kepada eksekutif. Sebab, fungsi dari anggota DPRD adalah penyalur suara masyarakat.

Dengan memberikannya secara langsung kepada pengusul proposal, diharapkan tidak ada anggota DPRD yang berperan sebagai makelar proposal. Apalagi sesuai aturan dana Jasmas tersebut harus disalurkan langsung melalui rekening masing-masing perwakilan masyarakat yang mengajukan pembangunan.

Selanjutnya, juga diperlukan peringatan yang tegas agar dana Jasmas tidak mengalami pemotongan-pemotongan secara tidak bertanggung jawab. Cukuplah kasus P2SEM yang banyak menjerumuskan pejabat dan akademisi ke dalam kasus kriminal penyalahgunaan anggaran sebagai pelajaran yang berharga.

Berguru dari sebagian proposal pembangunan dengan sumber anggaran dari dana hibah yang ditolak oleh Pemkot Surabaya, seharusnya DPRD Surabaya bisa memetik hikmah. terutama terkait dengan proposal yang alamat pengusulnya tidak jelas.

Pertanyaannya, mungkinkah ada anggota DPRD Surabaya yang merekomendasi proposal fiktif atau awu-awu? Tentu hal yang aneh bila anggota DPRD asal merekomendasi proposal kepada eksekutif, padahal si pembuat proposal tidak jelas keberadaannya.

Urgensi dari reses Jasmas bagi anggota DPR/D sesungguhnya sebagai sarana komunikasi anggota legislatif kepada konstituennya dengan maksud musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Semua kebutuhan riil masyarakat kemudian diakomodasi untuk selanjutnya disuarakan kepada eksekutif. Dalam hal ini para wakil rakyat tersebut berperan sebagai penghubung antara masyarakat dan eksekutif.

Selanjutnya, biarlah eksekutif menjalankan peran dan fungsinya, dalam hal ini menyeleksi usulan proposal yang layak untuk langsung dicairkan dananya, perlu perbaikan sebelum dana bisa dicairkan dan proposal yang tidak layak untuk ditindaklanjui.

Akhirnya, apa yang dilakukan Pemkot Surabaya dibawa kepimpinan Tri Rismaharini patut menjadi contoh bagi kabupaten/kota lain di Jawa Timur. Wali kota dan atau bupati harus berani ”menentang” usulan anggota DPRD, bahkan ”melawan” ancaman, seperti ancaman interpelasi atau hak angket bila dirasakan sudah berada dalam jalur yang benar.

Abd Sidiq Notonegoro Aktivis PemudaMuhammadiyah Jawa Timur.

Tidak ada komentar: