Rabu, 23 September 2009

http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009092305484054

(Bukan) Momentum Menyakiti Duafa

Lebaran Bersama Orang Miskin



Rabu, 23 September 2009

Ramadhan telah berakhir. Puasa Ramadhan dalam perspektif fiqh secara otomatis juga diakhiri. Ritual menahan lapar dan haus dalam rentang waktu mulai terbit fajar sampai matahari tenggelam pun ditinggalkan. Boleh jadi di sebagian umat Islam, rasa lapar di siang hari yang terik sebulan penuh ini akan dengan mudah dilupakan.

Pasca-Ramadhan, tentu kita menjelang Idul Fitri. Dalam segi makna Idul Fitri ini berarti kembali kepada substansi asal. Kita asalnya memang diciptakan oleh Allah SWT sebagai manusia, Karena itu dengan Idul Fitri ini kita ingin mengembalikan diri kita kepada hakikat dasar tersebut. Yaitu, menjadi manusia kembali. Manusia yang dipenuhi oleh potensi-potensi kemanusiaannya, dan bukan manusia yang hanya tampak dari wujud fisiknya belaka.

Siapakah manusia yang hanya tampak dari wujud fisiknya saja? Menurut Ali Syariati, yaitu manusia yang tidak bisa menaklukkan dirinya sendiri. Mereka ini tidak lebih dari sekadar menjadi al-basyar, makhluk berkaki dua yang berjalan tegak, yang tidak berbeda sedikit pun dengan makhluk Tuhan lainnya semisal binatang. Bahkan dengan bekal akal serta peralatan canggih yang dimilikinya, potensi destruktifnya cenderung lebih parah daripada perilaku binatang buas (Nashir, 1997).

Sebagian ulama menyatakan bahwa bulan Ramadhan-di dalamnya harus dilalui dengan puasa sebulan penuh-adalah bulan pembebasan (liberalisasi). Meski istilah puasa (as-shawm) sendiri berarti "mengendalikan", namun pengendalian tersebut tidak lain adalah sebuah jalan untuk menuju pembebasan itu sendiri. Ini bila dikaitkan dengan fakta sosial, memang sungguh tidak terhitung jumlah manusia yang tidak mampu melakukan proses pengendalian diri. Dengan demikian, pada akhirnya diri mereka tidak lagi "bebas" karena terlanjur ditindas oleh hawa nafsunya sendiri.

Karena itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa Idul Fitri dipandang sebagai hari kemenangan. Bila bulan Ramadhan merupakan bulan perjuangan untuk melawan penindasan hawa nafsu, maka Idul Fitri adalah hari kemenangan dalam perang melawan hawa nafsu. Kehadiran Idul Fitri pun memang layak untuk disambut dengan gegap gempita, karena keberhasilan melawan hawa nafsu sesungguhnya merupakan keberhasilan puncak bagi manusia.

Namun ironisnya, tidak sedikit kita saksikan bagaimana seorang yang mengaku muslim setelah bersusah payah menahan hawa nafsunya selama bulan ramadhan, justru pasca-Ramadhan mereka menghancurkan kembali benteng pertahanan yang sudah dibuatnya tersebut. Tidak sedikit di antara mereka yang justru larut dalam budaya hedonis dan materialistik dalam menyambut Idul Fitri.

Tidak semestinya mereka menjadikan Idul Fitri dengan mengeksploitasi sifat ria (sombong), namun dalam realitas sosialnya berbicara lain. Idul Fitri justru benar-benar dimanfaatkan sebagai panggung mode duniawi. Idul Fitri harus disimbolkan dengan baju baru, ruang tamu yang penuh dengan makanan. Para orang kaya dengan angkuh mengharapkan kehadiran orang-orang jelata untuk "menyembah" kakinya, dan sebagainya.

Padahal bila direnungkan lebih mendalam, puasa Ramadhan yang dijalani sebulan penuh harus berfungsi sebagai, pertama, sarana dekonstruksi segala belenggu nurani kemanusiaan. Puasa Ramadhan merupakan media untuk membangun kesadaran diri sebagai makhluk yang lemah dan serba dalam kerelatifan. Kedua, sebagai wahana untuk membangun solidaritas sosial kemanusiaan secara harmonis dan damai.

Bukan sebaliknya, Idul Fitri dijadikan sebagai pembeda mana yang kaya dan mana yang miskin. Idul Fitri bukan menjadi hari "konsumsi" untuk menjadikan manusia kembali memunguti sifat-sifat rakusnya yang telah dibuang berceceran di saat bulan Ramadhan. Namun, sangat disayangkan banyak manusia yang tidak siap untuk kembali ke fitrah-Nya. Sebaliknya, mereka justru takut merasa tersingkir bila tidak menjadi bagian dari the consumer society.

Secara simbolik sebelum kita melaksanakan shalat Idul Fitri, kita-yang tergolong mampu secara ekonomi-diwajibkan membayar zakat fitrah terlebih dahulu. Zakat fitrah tersebut diperuntukkan bagi kaum duafa. Ritus ini menyimpan pesan agar dalam menyambut hari kemenangan Idul Fitri ini, baik orang-orang yang kaya maupun yang miskin, dapat larut dalam kebahagiaan yang sama. Dengan demikian, posisi sosial antara yang miskin dan yang kaya adalah sejajar (equilibrium).

Bila kesadaran bahwa kesejajaran manusia tidak dapat dibatasi oleh jumlah kekayaan yang dimiliki, maka tatanan kehidupan yang rahmatan lil alamin dapat dipastikan akan terwujud. Karena dengan adanya kesejajaran kemanusiaan tersebut, manusia tidak lagi terjebak pada watak rakus, angkuh, egois, ataupun sombong. Lebih dari itu, di antara yang kaya dan miskin tidak ada yang merasa paling penting dan paling tidak penting di pentas kehidupan.

Namun sayangnya, kesadaran kemanusiaan tersebut kerapkali hilang tatkala seseorang larut secara berlebihan di dalam menyambut Idul Fitri. Kita kadang-kadang lupa dengan mereka yang sedang berdiam diri "merenungi nasib" di kolong-kolong jembatan. Banyak di antara mereka yang hanya menyusuri jalan demi sekadar untuk mendapatkan belas kasihan. Penyambutan kita terhadap Idul Fitri yang secara berlebihan-dengan pakaian baru, ragam makanan yang mahal tapi tidak mengenyangkan-turut menambah penderitaan kaum lemah.

Karena itu, tidak mungkinkah kita mengubah tradisi Idul Fitri dari menghambur-hamburkan uang untuk membeli kemewahan, menjadi tradisi untuk hidup sederhana? Tidak bisakah kita mendatangi bilik-bilik orang miskin dan kita makan bersama di tempat itu? Jadi, bukan sebaliknya mengundang mereka untuk makan di rumah kita sambil melihat kekayaan kita? Akhirnya, memang sudah saatnya kita membalik logika bahwa sesungguhnya kitalah yang butuh orang miskin, bukan mereka yang butuh kita untuk bisa bersama-sama merayakan Idul Fitri.***

Penulis adalah dosen FAI Universitas Muhammadiyah Gresik.

Selasa, 15 September 2009

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=235868

Manusia Fitrah, Manusia Cerdas
Oleh Abd. Sidiq Notonegoro

Rabu, 16 September 2009

Satu bulan penuh di bulan Ramadhan ini, kaum muslimin kembali melaksanakan ritus puasa. Mereka mengekang diri terhadap sebagian aktivitas yang di luar Ramadhan mereka lakukan pada siang hari. Misalnya, makan, minum, dan tidak berhubungan seks suami-istri. Lebih dari itu, mereka juga tidak semata-mata menghindar dari semua perbuatan yang berbau maksiat. Tetapi, juga memanfaatkannya sebagai momentum untuk selalu berbuat baik dan beraktivitas yang membawa keberkahan. Ucapan-ucapan yang tidak positif-dan terlebih lagi bisa mencederai hati orang lain-semaksimal mungkin dihindari.

Pada malam hari kaum muslimin berduyun-duyun untuk melaksanakan shalat Isya dan Tarawih secara berjemaah. Karena itu, apabila di luar Ramadhan kondisi masjid tampak tidak berpenghuni kecuali hanya satu-dua orang yang usianya sudah sangat uzur, maka pada bulan Ramadhan ini tampak berlipat ganda jumlahnya. Usai Tarawih, sebagian mereka menyempatkan tinggal sejenak di dalam masjid untuk bertafakkur kepada Allah. Beragam aktivitas mereka lakukan, namun umumnya mereka aktualisasikan dengan bertadarus melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an setelah shalat Tarawih merupakan tradisi yang dilakukan hampir semua masjid yang ada. Terutama bagi mereka yang tempat tinggalnya dekat dengan masjid, maka tidak ikut tadarus seakan merupakan "kerugian" tersendiri. Karena itu, apabila benar-benar tidak ada uzur (halangan) yang memaksa mereka meninggalkan tadarus, maka tadarus berjemaah di masjid menjadi sebuah keharusan.

Tentu tidak berlebihan apabila bulan Ramadhan disebut sebagai bulan baca kaum muslimin. Sebab, dalam waktu sebulan penuh inilah, kaum muslimin benar-benar berada dalam jarak yang sangat dekat dengan kitab suci (Al-Qur'an) dibandingkan dengan di luar bulan Ramadhan. Ini merupakan awal yang sangat positif untuk menumbuhkan kecintaan terhadap kitab, terlebih kitab suci yang sarat dengan pengetahuan dan pengajaran.

Sayangnya, apa yang disebut tradisi tadarus masih dominan berkutat pada kegiatan melantunkan-daripada membaca-ayat Al-Qur'an. Sebagian besar kaum Muslim yang bertadarus menghabiskan sebagian malamnya untuk melafazkan (mengucap) ayat-ayat Al-Qur'an yang terhimpun dalam 30 juz itu. Sambil duduk melingkar di dalam masjid, mereka bergantian untuk melantunkan dan atau menyimak ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Tentu bukan hal yang buruk apabila bulan yang penuh rahmat ini dimanfaatkan untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Namun, tidak adakah yang lebih fungsional dari sekadar kegiatan tersebut? Tentunya ada cara memperlakukan Al-Qur'an dengan lebih bermakna dan tidak sekadar menambah kecintaan kaum Muslim terhadap kitab sucinya, tetapi juga berpotensi mencerdaskan kaum muslimin dari keterpurukan peradaban ini.

Jika boleh dikatakan, tradisi tadarus merupakan awal yang sudah sangat bagus. Hanya saja, tradisi ini perlu dikembangkan dengan kegiatan-kegiatan yang mampu menggelitik nalar intelektual umat Islam agar sudi membedah rahasia Ilahi yang telah tersuratkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Dengan demikian, Al-Qur'an tidak lagi dilantunkan seperti kaum primitif membacakan mantra-mantra, tetapi benar-benar mengambil pelajaran yang dipesankan ayat-ayat suci itu.

Apalagi secara historis, yang tidak bisa diabaikan begitu saja ialah di bulan Ramadhan ini pula Al-Qur'an diturunkan Ilahi dari lauhil mahfudz ke langit dunia, dan kemudian secara bertahap diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Peristiwa inilah yang dalam tarikh Islam dikenal dengan istilah nuzul Al-Qur'an, sebuah peristiwa penting yang terjadi di dalam bulan Ramadhan.

Sudah saatnya tradisi tadarus ditingkatkan kualitasnya. Misalnya, tidak sekadar melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan target semata-mata dalam Ramadhan ini bisa mengkhatamkan 30 juz. Lebih dari itu, juga mengkaji pesan-pesan dari setiap ayat yang dibacanya.

Dengan kemauan yang tinggi untuk meningkatkan tradisi melantunkan ke membaca ini, diharapkan moralitas kaum muslimin dalam menjalani kehidupan di alam semesta ini bisa lebih berkualitas. Sebab, sejatinya yang dimaksud dari istilah tholibul 'ilmi ialah mengkaji atau mempelajari ilmu, yaitu dengan jalan membacanya secara cerdas. Dan, tidak ada kecerdasan yang bisa diwujudkan kecuali dengan jalan membaca, bukan melafazkan.

Membaca memang tidak semata-mata terfokus pada teks-teks normatif. Membaca juga memiliki kaitan dengan ayat-ayat kauniyah-yang tidak tertuliskan secara gamblang dalam kitab suci. Akan tetapi, isyarat-isyarat itu terpapar dengan jelas melalui kitab suci. Hanya orang-orang yang punya kemauan tinggi menggunakan nalar intelektualnya untuk membedah kandungan Al-Qur'an yang akan mampu menyibak rahasia ayat-ayat kauniyah.

Jika tujuan akhir dari puasa Ramadhan-selain semata-mata untuk menunjukkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah-yaitu merekonstruksi diri menjadi manusia sempurna, maka tidak ada jalan lain kecuali menggabungkan ayat yang tersampaikan (kauliyah) dengan ayat-ayat yang terhampar di alam (kauniyah). Jika ayat kauliyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah yang mengejawantah dalam bentuk kitab suci Al-Qur'an, maka ayat kauniyah ialah beragam fenomena alam dan sosial yang terhampar dalam dimensi kehidupan riil.

Karena itu, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa yang disebut manusia fitrah ialah manusia yang memiliki kemauan keras untuk membaca ayat kauniyah dan kauliyah dalam dimensi kesadaran kemanusiaannya.***

Penulis adalah Ketua LPAM PW Pemuda Muhammadiyah Jatim