Manusia Fitrah, Manusia Cerdas
Oleh Abd. Sidiq Notonegoro
Rabu, 16 September 2009
Satu bulan penuh di bulan Ramadhan ini, kaum muslimin kembali melaksanakan ritus puasa. Mereka mengekang diri terhadap sebagian aktivitas yang di luar Ramadhan mereka lakukan pada siang hari. Misalnya, makan, minum, dan tidak berhubungan seks suami-istri. Lebih dari itu, mereka juga tidak semata-mata menghindar dari semua perbuatan yang berbau maksiat. Tetapi, juga memanfaatkannya sebagai momentum untuk selalu berbuat baik dan beraktivitas yang membawa keberkahan. Ucapan-ucapan yang tidak positif-dan terlebih lagi bisa mencederai hati orang lain-semaksimal mungkin dihindari.
Pada malam hari kaum muslimin berduyun-duyun untuk melaksanakan shalat Isya dan Tarawih secara berjemaah. Karena itu, apabila di luar Ramadhan kondisi masjid tampak tidak berpenghuni kecuali hanya satu-dua orang yang usianya sudah sangat uzur, maka pada bulan Ramadhan ini tampak berlipat ganda jumlahnya. Usai Tarawih, sebagian mereka menyempatkan tinggal sejenak di dalam masjid untuk bertafakkur kepada Allah. Beragam aktivitas mereka lakukan, namun umumnya mereka aktualisasikan dengan bertadarus melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an setelah shalat Tarawih merupakan tradisi yang dilakukan hampir semua masjid yang ada. Terutama bagi mereka yang tempat tinggalnya dekat dengan masjid, maka tidak ikut tadarus seakan merupakan "kerugian" tersendiri. Karena itu, apabila benar-benar tidak ada uzur (halangan) yang memaksa mereka meninggalkan tadarus, maka tadarus berjemaah di masjid menjadi sebuah keharusan.
Tentu tidak berlebihan apabila bulan Ramadhan disebut sebagai bulan baca kaum muslimin. Sebab, dalam waktu sebulan penuh inilah, kaum muslimin benar-benar berada dalam jarak yang sangat dekat dengan kitab suci (Al-Qur'an) dibandingkan dengan di luar bulan Ramadhan. Ini merupakan awal yang sangat positif untuk menumbuhkan kecintaan terhadap kitab, terlebih kitab suci yang sarat dengan pengetahuan dan pengajaran.
Sayangnya, apa yang disebut tradisi tadarus masih dominan berkutat pada kegiatan melantunkan-daripada membaca-ayat Al-Qur'an. Sebagian besar kaum Muslim yang bertadarus menghabiskan sebagian malamnya untuk melafazkan (mengucap) ayat-ayat Al-Qur'an yang terhimpun dalam 30 juz itu. Sambil duduk melingkar di dalam masjid, mereka bergantian untuk melantunkan dan atau menyimak ayat-ayat suci Al-Qur'an.
Tentu bukan hal yang buruk apabila bulan yang penuh rahmat ini dimanfaatkan untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Namun, tidak adakah yang lebih fungsional dari sekadar kegiatan tersebut? Tentunya ada cara memperlakukan Al-Qur'an dengan lebih bermakna dan tidak sekadar menambah kecintaan kaum Muslim terhadap kitab sucinya, tetapi juga berpotensi mencerdaskan kaum muslimin dari keterpurukan peradaban ini.
Jika boleh dikatakan, tradisi tadarus merupakan awal yang sudah sangat bagus. Hanya saja, tradisi ini perlu dikembangkan dengan kegiatan-kegiatan yang mampu menggelitik nalar intelektual umat Islam agar sudi membedah rahasia Ilahi yang telah tersuratkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Dengan demikian, Al-Qur'an tidak lagi dilantunkan seperti kaum primitif membacakan mantra-mantra, tetapi benar-benar mengambil pelajaran yang dipesankan ayat-ayat suci itu.
Apalagi secara historis, yang tidak bisa diabaikan begitu saja ialah di bulan Ramadhan ini pula Al-Qur'an diturunkan Ilahi dari lauhil mahfudz ke langit dunia, dan kemudian secara bertahap diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Peristiwa inilah yang dalam tarikh Islam dikenal dengan istilah nuzul Al-Qur'an, sebuah peristiwa penting yang terjadi di dalam bulan Ramadhan.
Sudah saatnya tradisi tadarus ditingkatkan kualitasnya. Misalnya, tidak sekadar melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan target semata-mata dalam Ramadhan ini bisa mengkhatamkan 30 juz. Lebih dari itu, juga mengkaji pesan-pesan dari setiap ayat yang dibacanya.
Dengan kemauan yang tinggi untuk meningkatkan tradisi melantunkan ke membaca ini, diharapkan moralitas kaum muslimin dalam menjalani kehidupan di alam semesta ini bisa lebih berkualitas. Sebab, sejatinya yang dimaksud dari istilah tholibul 'ilmi ialah mengkaji atau mempelajari ilmu, yaitu dengan jalan membacanya secara cerdas. Dan, tidak ada kecerdasan yang bisa diwujudkan kecuali dengan jalan membaca, bukan melafazkan.
Membaca memang tidak semata-mata terfokus pada teks-teks normatif. Membaca juga memiliki kaitan dengan ayat-ayat kauniyah-yang tidak tertuliskan secara gamblang dalam kitab suci. Akan tetapi, isyarat-isyarat itu terpapar dengan jelas melalui kitab suci. Hanya orang-orang yang punya kemauan tinggi menggunakan nalar intelektualnya untuk membedah kandungan Al-Qur'an yang akan mampu menyibak rahasia ayat-ayat kauniyah.
Jika tujuan akhir dari puasa Ramadhan-selain semata-mata untuk menunjukkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah-yaitu merekonstruksi diri menjadi manusia sempurna, maka tidak ada jalan lain kecuali menggabungkan ayat yang tersampaikan (kauliyah) dengan ayat-ayat yang terhampar di alam (kauniyah). Jika ayat kauliyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah yang mengejawantah dalam bentuk kitab suci Al-Qur'an, maka ayat kauniyah ialah beragam fenomena alam dan sosial yang terhampar dalam dimensi kehidupan riil.
Karena itu, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa yang disebut manusia fitrah ialah manusia yang memiliki kemauan keras untuk membaca ayat kauniyah dan kauliyah dalam dimensi kesadaran kemanusiaannya.***
Penulis adalah Ketua LPAM PW Pemuda Muhammadiyah Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar