http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009102906211762
Pemuda Indonesia pernah berperan besar dalam memberikan andil dalam pendirian dan pembangunan bangsa ini. Tidak berlebihan kalau 28 Oktober 1928 dijadikan tonggak untuk memberikan penghargaan terhadap kaum muda yang kini kita kenal dengan Sumpah Pemuda. Di dalam Sumpah Pemuda tersebut terukir kalimat-kalimat yang penuh dengan semangat idealisme, ideologisme, dan sekaligus nasionalisme.
Tanpa keberanian kaum muda untuk membongkar konstruksi fanatis-sektarianisme yang telah lama membelenggu mentalitas kaum tua bangsa ini pada saat itu, mungkin umur bangsa Indonesia dalam kangkangan kaum penjajah akan lebih lama lagi. Akan tetapi karena keberanian kaum muda untuk mendobrak "kebebalan tradisi" tersebut, akhirnya, impian, dan cita-cita dapat terumuskan dan akhirnya terwujud dalam bentuk praktisnya, yaitu kemerdekaan.
Memperhatikan kisah sejarah pemuda di tahun 1928 tersebut, tentu kita layak berkesimpulan bahwa sesungguhnya mereka bukanlah pemuda biasa-biasanya. Dengan kata lain, mereka adalah anak-anak muda yang sudah memahami akan arti harkat dan martabat hidup dalam bingkai kemerdekaan. Idealisme menjadi modal utama mereka untuk melakukan sebuah tindakan dan gerakan yang dipandang penting dan mampu menciptakan sejarah.
Jika kita tarik dalam perspektif kekinian, idealisme semacam itu tampak hanya sebagai fosil sejarah semata. Diakui atau tidak memang tidak banyak (bukan "tidak ada") kaum muda ini yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap nasib masyarakat bangsanya. Mereka kerap lebih mengutamakan kepentingan (yang sesungguhnya tidak penting) pribadinya sendiri. Kaum muda relatif tampak apatis terhadap persoalan publik, dan yang seakan-akan bukanlah menjadi persoalan pribadinya.
Sumber Masalah
Melunturnya etos nasionalisme dan humanisme kaum muda terhadap berbagai persoalan sosial-kebangsaan dan kemasyarakatan beberapa dekade terakhir ini tidaklah sportif kalau hanya "kaum muda" yang harus tertimpa tudingan sebagai pihak yang salah. Ada beberapa faktor yang turut memberikan konstribusi dalam menghancuran mental nasionalism-humanis kaum muda. Pertama, hilangnya alat pemersatu yang dapat menghimpun kaum muda dalam satu tujuan. Organisasi-organisasi kepemudaan--yang dulu dikenal sebagai media kaum muda mengasah dan menumbuhkan semangat nasionalisme dan kebangsaan--kini lebih banyak dikangkangi individu-individu yang ingin menjadikannya sebagai kendaraan politik.
Kedua, rendahnya kepercayaan masyarakat (baca: kaum tua) terhadap kaum muda. Hal ini terlihat dari masih dominannya kaum tua di dalam memegang dan mengendalikan berbagai kepentingan publik yang sebenarnya sudah saatnya "tongkat estafet"-nya diserahkan kepada kaum muda. Dan sebaliknya, justru kaum muda hanya dijadikan objek kepentingan kaum tua.
Ketiga, terjadinya pergeseran figur tokoh yang menjadi teladan sebagian besar kaum muda. Pada umumnya kaum muda lebih menjadikan selebritis dan atau kaum borjuis sebagai panutan daripada kepada intelektual ataupun cendekiawan. Akibatnya, mereka (kaum muda) pun lebih sedang bergaya seperti kaum selebritis--yang lebih dekat pada budaya pemujaan terhadap tubuh--atau seperti kaum borjuis--yang menjadikan "uang" sebagai simbol kekuatan (money of power).
Keempat, tidak dapat dimungkiri bahwa budaya kontemporer pun telah memberikan andil yang amat besar bagi rapuhnya kesadaran nasionalism-humanis kaum muda di kota ini (bahkan di negeri ini). Budaya kontemporer relatif lebih mampu mengantarkan kaum muda untuk memuaskan hasrat-hasrat libidonya dengan berbagai tawaran hiburan yang memabukkan. Hal ini karena budaya kontemporer telah mengkonstruksi segala kebutuhan kaum muda untuk menyalurkan hasratnya.
Perlu Keberpihakan
Mengapa "kaum muda" lebih condong pada pemenuhan hasrat hedonisme daripada merekonstruksi idealisme humanisnya kembali? Tidak lain karena pusat-pusat penyaluran "hedonisme" relatif menawarkan harga yang lebih murah daripada tempat-tempat untuk menempaan mental-mental idealisme. Cobalah kita perhatikan, berapa tempat-tempat hiburan malam yang saling bersaing untuk memberikan diskon besar-besaran bagi yang mendatanginya, juga mal dan supermarket yang memberikan diskon sampai di atas 50 persen.
Kemudian, kita tengok ke pusat-pusat yang (konon katanya) sebagai tempat persemaian idealisme dan moral. Di manakah ada lembaga pendidikan yang mau dan mampu menawarkan potongan harga minimal 25% dengan jaminan kualitas yang layak dibanggakan.
Memang untuk mengarah pada hal-hal idealisme dan sekaligus bermoral membutuhkan energi dan biaya yang amat besar. Sebab itu, langkah pertama dan utama yang harus ada adalah "keberpihakan" penguasa (baca: pemerintah) terhadap visi-visi pembangunan mental spiritual dan nasionalisme kaum muda. Dan keberpihakan tersebut dapat diwujudkan dengan lebih memperhatikan kepentingan pendidikan untuk semua, dan sebaliknya pemerintah pun harus memiliki sikap tegas di dalam mengadang laju pusat-pusat pemuas nafsu hedonisme yang berpotensi melunturkan jiwa nasionalis-humanis kaum muda.
Akhirnya, seburuk apa pun kondisi kaum muda, mereka masih harapan bagi bangsa dan negara ini. Sebab itu, apa pun alasannya, berilah ruang bagi kaum muda untuk berkiprah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar