http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=125848
[ Kamis, 01 April 2010 ]
Oleh: Abd. Sidiq Notonegoro, Pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik
Menyikapi maraknya aksi penggalangan dana yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat, baik yang dikaitkan dengan adanya peristiwa bencana alam ataupun kegiatan sosial, Pemprov Jatim mengajukan draf rancangan peraturan daerah (raperda) ke DPRD Jatim. Pemprov Jatim berinisiatif mengatur kegiatan penggalangan sumbangan yang kian marak di Jatim tersebut agar tidak disalahgunakan pihak-pihak yang sengaja mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi.
Dalam draf itu, masuk sejumlah pasal yang akan mengatur hal-hal mengenai penggalangan sumbangan. Misalnya, dalam pasal 4 disebutkan, pengumpulan sumbangan harus didasarkan atas asas sukarela, manfaat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan pasal 5 terkait dengan tujuan penggalangan dana tersebut, yaitu tidak lepas dari misi sosial, pendidikan, kejasmanian, agama atau kerohanian, dan kebudayaan.
Meski dua unsur di atas sudah dipenuhi, pihak penggalang dana tidak bisa langsung action. Sebab, pasal 8 dalam raperda tersebut menjelaskan bahwa pengumpulan sumbangan dilaksanakan setelah mendapat izin dari gubernur apabila mencakup minimal dua wilayah di Jatim dan masa berlaku dari izin gubernur yang diberikan tidak akan lebih dari tiga bulan serta bisa diperpanjang maksimal satu bulan. Bila ketentuan yang sudah digariskan tersebut tidak dapat dipenuhi, sesuai dengan pasal 19, gubernur akan mengajukan pasal tersendiri, yaitu pasal yang memuat ketentuan pidana.
Terkait dengan ketentuan pidana itu, disebutkan, mereka yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut dapat diancam dengan hukuman penjara maksimal enam bulan atau denda Rp 50 juta. Termasuk dalam hal ini para penarik sumbangan yang tidak berizin.
Merespons dengan Positif
Munculnya raperda yang mengatur masalah penggalangan sumbangan itu patut diapresiasi dengan positif. Utamanya bagi kelompok masyarakat yang memang selama ini benar-benar melakukan kegiatan penggalangan dana semata-mata untuk kepentingan sosial.
Mengapa demikian? Tidak jarang kegiatan penggalangan dana yang dibangun kelompok masyarakat tersebut dipersepsi negatif. Hal itu tidak lepas dari adanya pihak-pihak yang sengaja membelokkannya untuk memperkaya diri atau kelompok. Ibarat pepatah "mengail di air keruh", pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab itu memanfaatkan penderitaan orang-orang yang tertimpa bencana untuk mengais keuntungan pribadi.
Orang-orang yang penulis maksud menyalahgunakan kegiatan penggalangan dana sosial tersebut adalah para "pengemis" profesional (baca: bukan karena keadaan yang memaksanya untuk mengemis) yang cerdas dalam memodifikasi profesinya agar lebih tampak bermartabat dan sekaligus hasilnya berlipat-lipat -jika dibandingkan dengan mengemis secara konvensional. Juga ada rumor bahwa tidak sedikit dana sumbangan sosial itu yang dimanfaatkan untuk kepentingan dan kegiatan parpol tertentu.
Raperda tersebut tentu tidak memiliki orientasi untuk menghambat kegiatan penggalangan dana demi kepentingan sosial. Sebab, dengan adanya aksi penggalangan dana untuk kepentingan sosial itu, tugas pemerintah dalam bidang sosial cukup terbantu. Sebaliknya, raperda tersebut tampak memendam semangat untuk mengantisipasi -atau minimal mengurangi- penyalahgunaan agar asas manfaat aksi penggalangan dana sosial tepat sasaran. Dan, memang harus diakui, hingga saat ini tidak sulit menemukan praktik-praktik penggalangan dana yang patut dicurigai aspek pemanfaatannya.
Patut Dicurigai
Kalau kita sudi mencermati, berbagai aksi penggalangan dana dengan alasan untuk kegiatan sosial sangat marak selama ini. Utamanya yang lebih dikaitkan dengan kegiatan sosial maupun pendidikan, misalnya untuk panti asuhan dan pesantren. Hingga saat ini masih banyak pencari sumbangan yang berkeliaran dari rumah ke rumah sambil menenteng map yang berisi proposal lusuh. Begitu juga mereka yang dari pagi hingga sore, atau bahkan malam, terus-menerus bertengger di depan anjungan tunai mandiri (ATM). Setiap ada orang yang hendak masuk ATM, serta-merta mereka menyodorkan amplop. Harapan mereka, sekeluar orang itu dari ATM, amplop tersebut dikembalikan dan sekaligus diisi uang.
Belum lagi berkeliarannya sekelompok anak yang berjalan menyusuri trotoar sambil membawa kotak sumbangan bertulisan yayasan tertentu atau untuk pembangunan pesantren, musala, maupun masjid. Anak-anak yang seharusnya punya lebih banyak waktu belajar dan bermain itu justru dimobilisasi pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk berburu materi (uang). Dapat dipastikan, sebagian masa depan anak-anak tersebut sudah terenggut oleh keadaan yang diciptakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab itu. Begitu juga halnya tentang maraknya pencari sumbangan yang mengatasnamakan organisasi veteran, HUT Bhayangkara, dan sebagainya.
Karena itu, diperlukan dukungan yang bersifat proaktif dari berbagai pihak. Masyarakat tidak cukup hanya senang dengan adanya raperda tersebut, tetapi perlu mendukungnya secara aktif. Lebih dari itu, juga perlu mendesak DPRD Jatim untuk segera membahas raperda tersebut agar secepatnya dapat diaplikasikan. Aparat pemerintah sendiri, setelah raperda itu berubah menjadi perda, diharapkan tidak menjadi macan ompong.
Mudah-mudahan dengan adanya perda yang mengatur masalah penarikan sumbangan tersebut, kenyamanan masyarakat bisa lebih terjamin. Juga, secara tidak langsung, motivasi masyarakat untuk menyisihkan sebagian rezekinya untuk kepentingan sosial lebih bisa ditingkatkan. Sebab, alasan selama ini sebagian masyarakat tampak ogah-ogahan untuk menginfakkan sebagian kecil rezekinya untuk kemaslahatan bersama adalah adanya ketidakpercayaan terhadap para penghimpun sumbangan sosial tersebut. Akhirnya, raperda itu benar-benar akan memberikan efek jera (shock therapy) bagi para penyalah guna sumbangan untuk sosial. (*/c9/mik)
* HOME
* BERITA UTAMA
* INTERNASIONAL
* POLITIKA
* OPINI
* EKONOMI BISNIS
* SPORTIVO
* METROPOLIS
* EVERGREEN
Tidak ada komentar:
Posting Komentar