Jumat, 17 Oktober 2008

Buku Sak Dos, Duit Sak Sen

http://www.surya.co.id/web/Opini/Buku-Sak-Dos-Duit-Sak-Sen.html

Friday, 17 October 2008
Mengapa dosen lebih senang menghabiskan waktunya hanya untuk mengajar di dalam kelas? Ya, karena hanya kegiatan itulah yang tidak banyak memakan biaya. Penghargaan pemerintah terhadap hasil riset dosen pun dapat dikatakan sangatlah rendah.SEORANG dosen harus mampu menulis buku dan artikel di media massa, kata Ardhie Raditya dalam artikelnya yang berjudul “Ironi Rekrutmen Dosen PTN” (Surya, 8/10/2008). Tapi oleh Pudjo Sugito --- yang almuni Charles Sturt University-Riverina, Australia --- pendapat Ardhie dipandang belum cukup. Karenanya, dalam tulisannya yang berjudul “Dicari : The Real Lecturer !!!” (Surya, 09/10/2008), dijelaskan bahwa standar ideal seorang dosen harus selaras dengan tugas pokoknya, yang lazim dikenal dengan istilah Tri Dharma Perguruan Tinggi, yang meliputi pendidikan, penelitian, dan pengabdian kepada masyarakat.Seorang dosen yang tugasnya mengajar, hanya layak disebut sebagai “guru”. Dosen juga harus melakukan penelitian yang linier dengan bidang ilmu yang ditekuninya, papar Pudjo. Hasilnya dapat dijadikan referensi yang up to date dalam mengajar mahasiswa, sekaligus kian meningkatkan kompetensi keilmuannya.Tulisan Ardhie Raditya dan Pudjo Sugito tampak sangat ideal. Tapi untuk standar Indonesia, mungkin masih utopis. Apakah semua dosen yang tidak menulis buku atau artikel, tidak melakukan penelitian dan atau melakukan pengabdian kepada masyarakat tergolong sebagai dosen yang tidak berkualitas? Jawabannya adalah “tunggu dulu”.Tidak sedikit dosen yang terpaksa enggan untuk menulis buku, melakukan riset dan lebih-lebih melakukan pengabdian terhadap masyarakat, semata-mata karena rendahnya dukungan dari pihak-pihak terkait. Utamanya dukungan finansial, karena pada umumnya kondisi ekonomi dosen masih lebih parah daripada seorang cleaning service di hotel atau swalayan. Maka, tidak berlebihan kalau istilah DOSEN kerapkali dipelesetkan “bukune sak dos, duitnya sak sen (bukunya 1 kotak, uangnya hanya 1 rupiah). Saat ini saja, tatkala pemerintah menggelindingkan aturan bahwa dosen harus berpendidikan minimal S2, dosen-dosen lama yang masih S1 kelabakan mencari pinjaman uang untuk melanjutkan studi. Mengapa harus utang? Karena honor dari mengajar hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok keluarga yang paling sederhana. Sesekali memang ada tambahan dari sisa dana riset, itupun hanya cukup untuk membeli buku beberapa judul saja. Tidak sedikit pula dosen yang rumahnya masih kontrak dan motornya kredit.Semestinya, seorang dosen sudah harus hidup layak dengan menjalani 3 profesi tadi (pendidik, peneliti dan pengabdi bagi masyarakat). Tetapi realitasnya bagaimana? Beberapa rekan yang mengajar di kampus negeri pernah mengeluh karena dana riset yang diperoleh dari pendidikan tinggi (Dikti) harus disetor sekian persen ke kampus. Alasannya, karena riset yang dilakukan mengatas-namakan kampus. Mungkin cukup lumrah bagi PTS yang juga harus bersusah payah menggaji dosen dan karyawan dari kantongnya sendiri. Penghargaan pemerintah terhadap hasil riset dosen pun dapat dikatakan sangatlah rendah. Tidak banyak hasil riset dosen, yang sejatinya sangat bermanfaat bagi masyarakat luas, yang diaplikasikan secara massif oleh pemerintah. Akhirnya, harapan untuk sedikit meneguk untung finansial dari hasil temuannya kala dimanfaatkan masyarakat pun hanya mimpi di siang bolong. Akibatnya, dosen kembali melempem melakukan penelitian. Karena antara tenaga dan pikiran yang dikeluarkan tidak sebanding dengan penghargaan finansial dan moral yang diperolehnya.Mengapa dosen lebih senang menghabiskan waktunya hanya untuk mengajar di dalam kelas? Ya, karena hanya kegiatan itulah yang tidak banyak memakan biaya. Satu hal lagi yang menarik dari tulisan Pudjo ialah masalah “dosen outsourcing” atau yang lazim disebut “dosen kontrak”. Pudjo menunjukkan bahwa ”dosen kontrak” bukanlah hal baru di Eropa dan Amerika. Bahkan di negara-negara maju tersebut, semua dosen berstatus sebagai dosen kontrak. Dalam klausul kontrak kerjanya, setiap tahunnya dosen harus mau melakukan penelitian yang linier dengan bidang keilmuannya dan kemudian mempublikasikannya pada sebuah jurnal internasional. Bila tidak, dapat dipastikan dosen itu akan diputus kontraknya.Sayangnya, Pudjo tidak memaparkan hak-hak dosen setelah memenuhi seluruh klausul yang ada dalam kontrak. Juga terkait dengan jaminan ekonomi bagi sang dosen agar cukup tersedia dana untuk melakukan riset. Kemudian, bila hasil riset tersebut benar-benar bisa dimanfaatkan untuk/oleh masyarakat luas, kompensasi apa yang bisa dinikmati oleh sang periset (dosen)?Harus diakui, ada perlakuan-perlakuan yang berbeda, yang diberikan perguruan tinggi antara dosen tetap dan dosen kontrak. Tidak saja terkait dengan penghasilan atau tunjangan kesejahteraan lainnya. Meski secara kualitas dosen kontrak tidak selalu lebih rendah dari dosen tetap. Bahkan, dalam banyak hal, dosen kontrak tampak lebih unggul. Tetapi juga hak berkompetisi dalam melakukan penelitian dengan memanfaatkan dana-dana bantuan, baik dari pemerintah ataupun dari kampus itu sendiri.Demikianlah realitas yang njomplang tentang dosen di negeri ini dengan di luar negeri. Maka, tidaklah bijaksana bila harus menuntut kesetaraan kewajiban antara dosen di sini dengan di sana. Pertanyaannya, kapan dosen di negeri ini yang sudah memiliki “buku sak dos, duit sak dos”.

Kamis, 16 Oktober 2008

Pengemis Konvensional Diburu, Pengemis Kontemporer Menyerbu

JAWA POS [ Jum'at, 17 Oktober 2008 ]

Era pengemis konvensional, tampaknya, segera berakhir. Mereka bakal menjadi objek buruan petugas Satpol PP yang seakan tidak kenal lelah menjebloskan mereka ke "penjara" Liposos. Lebih dari itu, mereka juga bakal kalah bersaing dengan pengemis "kontemporer" dalam berebut rezeki cuma-cuma dari kaum dermawan. Bahkan, kaum dermawan pun seakan terjebak rasa tidak berdaya manakala berhadapan dengan pengemis modern itu.
Selama ini, pengemis konvensional dipandang sebagai "sampah" yang dapat mengotori pemandangan kota. Penampilan mereka yang kumuh, dekil, dan bau tubuh yang tidak sedap dinikmati hidung kerap dipandang sebagai hal yang menjijikkan. Belum lagi wilayah operasi mereka tidak pandang bulu. Umumnya, mereka tersebar di terminal, pasar, atau door to door dari rumah ke rumah.
Pendek kata, pengemis "konvensional" itu lebih mengedepankan kepapaan dan ketidakberdayaan mereka untuk mengekspresikan diri sebagai orang miskin. Mereka tidak pernah lelah menyusuri jalan. Pengemis ini tidak terlalu berharap pemberian lebih dari dermawan. Selaras dengan kesederhanaan alat yang mereka gunakan, yakni kaleng dan batok kelapa, uang receh pun mereka terima dengan ekspresi syukur melalui ucapan terima kasih kepada pemberinya.Seiring dengan kian berkurangnya pengemis konvensional, sekarang marak kemunculan pengemis kontemporer. Penampilan mereka benar-benar berbalik 180 derajat jika dibandingkan dengan penampilan pengemis konvensional. Mereka tidak lagi bersenjata kaleng atau tempurung kelapa. Mereka membawa amplop berlabel nama yayasan pendidikan, panti asuhan, atau panitia pembangunan masjid, lengkap dengan alamat dan nomor telepon. Pengemis model baru ini juga melengkapi diri dengan penampilan yang modis, berdasi, berbaju rapi, dan bersepatu. Yang perempuan umumnya memakai busana muslim (berjilbab). Pengemis kontemporer seakan memberikan pesan kepada calon dermawan bahwa mereka bukan "pengemis", melainkan pekerja sosial yang sedang menjalankan tugas mulia. Karena itu, memberikan bantuan kepada mereka sama artinya dengan menyalurkan bantuan yang tepat sasaran.Pengemis gaya baru ini juga relatif lebih cerdas dalam membidik sasaran. Mereka umumnya nongkrong di tempat anjungan tunai mandiri (ATM), SPBU, kantor pos, dan fasilitas pelayanan publik lain. Mereka tidak perlu berkeringat dan ber-capek-capek menyusuri jalan. Mereka juga tidak perlu mengetuk-ngetuk kaca pintu mobil sekadar untuk meminta sedekah ala kadarnya. Sebagian di antara mereka memang ada yang bergerilya ke kompleks perumahan atau ke kampung/desa. Namun, mereka melengkapi diri dengan proposal, kuitansi, dan daftar penyumbang.
Penampilan mereka cukup menarik calon donatur untuk memberikan bantuan relatif banyak dibandingkan yang biasa diberikan kepada pengemis konvensional. Umumnya, para donatur menyumbang minimal seribu. Tidak sedikit pula yang memberikan lima atau sepuluh ribu rupiah. Itu, sepertinya, sebanding dengan beban psikologis yang memancar dari amplop kosong yang mereka terima sebelum masuk ATM untuk diisi uang sekeluar dari ATM. Sang donatur seakan tersandera oleh "kekuatan" amplop tersebut dan menganggap tidak pantas bila harus memasukkan uang receh ke dalam amplop. Meski ada pula yang akhirnya mengembalikan amplop itu dalam kondisi tetap kosong.Kemunculan pengemis kontemporer itu dapat dijadikan indikasi kian kompleksnya penyakit sosial di masyarakat. Tidak saja kemiskinan masih menggurita di kehidupan masyarakat, mentalitas miskin juga kian mengkristal pada sebagian individu yang masih berada dalam usia produktif. Dengan begitu, menjadi pengemis "gaya baru" itu menjadi pilihan untuk mendapatkan dana segar dalam waktu singkat. Dengan sedikit memermak penampilan diri dan menyamar sebagai pekerja sosial (dari yayasan, panti asuhan, atau masjid), mereka bisa dengan enjoy mengemis tanpa merasa kehilangan harga diri. Menghilangkan penyakit sosial memang tidak mudah. Dibutuhkan langkah-langkah sistematis dengan melibatkan seluruh aspek kehidupan. Pertama, pemerintah harus berani bertindak tegas terhadap para pekerja sosial "gadungan" atau tidak jelas identitasnya. Penegakan aturan harus dijalankan dengan konsisten. Bila mereka terbukti berbohong (mencatut nama lembaga sosial tertentu atau bahkan membuat identitas palsu), sudah sepantasnya mereka dijerat pasal penipuan.
Kedua, masyarakat umum seyogianya tidak mudah tergerak hati untuk memberikan bantuan kepada mereka yang tidak jelas latar belakangnya, baik pribadi maupun lembaga yang dibawanya. Sebab, memberikan amal sejatinya tidak semata-mata berlandasan aspek keikhlasan semata. Asas manfaat bagi peruntukannya juga perlu dipertimbangkan. Niat baik saja tidak cukup, bahkan bisa menjadi mudarat kalau salah sasaran. Misalnya, mengakibatkan seseorang menjadi kian tergantung pada profesi pengemis.
Lebih bijaksana dan bermanfaat bila masyarakat yang berniat beramal menyalurkan hartanya ke lembaga-lembaga yang diketahui identitasnya dengan jelas dan memang sedang membutuhkan bantuan keuangan. Atau, bantuan bisa juga diarahkan ke badan-badan amil zakat, infak, dan sodaqoh yang sudah mengantongi izin dari pemerintah dan punya reputasi positif.Ketiga, lembaga-lembaga sosial, baik yayasan pendidikan, panti asuhan, maupun masjid, tidak selayaknya menggerakkan jamaahnya untuk menjalani profesi sebagai pengemis. Meski (andai kata) hasil dari mengemis itu seluruhnya untuk kepentingan lembaga. Apalah artinya membangun lembaga sosial kalau ujung-ujungnya hanya memproduksi pengemis-pengemis profesional. (soe)

Selasa, 19 Agustus 2008

Keroposnya Kemauan "Mendengarkan"

Oleh:Sidiq Notonegoro
aktivis Pemuda Muhammadiyah Jatim
Kabar kurang sedap kembali berembus dari gedung wakil rakyat di DPRD Provinsi Jawa Timur. Untuk kali kesekian, hal tak patut ditorehkan lagi oleh anggota legislatif. Banyak anggota dewan mangkir dari sidang paripurna istimewa pada 15 Agustus 2008.
Padahal, menghadiri sidang paripurna istimewa merupakan salah satu kewajiban anggota dewan yang tidak boleh ditinggalkan. Kecuali, alasan mereka bisa dibenarkan. Yang ironis, sebagian besar di antara mereka tidak hadir tanpa memberikan alasan jelas.
Tujuan formal kehadiran dalam sidang paripurna istimewa tersebut ialah mendengarkan pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Lebih dari itu, dengan mengikuti sidang paripurna istimewa seperti itu, ke depan sesungguhnya diharapkan terwujud sinkronisasi pembangunan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Inti sidang paripurna istimewa ialah pidato kenegaraan berkaitan dengan langkah, kebijakan, dan solusi pemerintah (baca: presiden) soal pembangunan bangsa. Dengan mengikuti sidang paripurna istimewa, diharapkan anggota legislatif di daerah dapat mencermati isi pidato presiden. Sebab, langkah, kebijakan, dan solusi yang diucapkan oleh presiden dalam sidang tersebut harus ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah.
Dengarkan Suara (untuk) Rakyat
Bukankah tugas utama anggota legislatif adalah "mendengarkan", kemudian "sidang"? Artinya, bukan semata-mata mendengarkan suara rakyat, tapi juga suara yang menyangkut nasib masyarakat. Termasuk, pidato presiden yang berkaitan dengan masalah masyarakat. Misalnya, anggaran pendidikan. Sebab, apa yang disampaikan presiden dalam sidang paripurna istimewa tersebut harus ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. Bila anggota legislatif "tuli" dari suara yang diperdengarkan di pusat, bagaimana mungkin mampu menjadi alat kontrol bagi kinerja pemerintah di daerah.
Menyaksikan begitu atraktifnya anggota dewan yang tidak mengikuti dan mendengarkan pidato kenegaraan, ada beberapa hal yang patut cermati. Pertama, terkait dengan persoalan kebangsaan dan nasionalisme. Mentalitas nasionalisme anggota legislatif tersebut layak diragukan. Sebab, mendengarkan pidato kenegaraan, apalagi mengenai peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, secara simbolis merupakan cermin etos nasionalisme. Apalagi, mereka berkedudukan sebagai elemen negara yang dibayar dari uang negara.
Kedua, sangat patut diragukan keberpihakan dan komitmen mereka (anggota legislatif) untuk menjadi wakil rakyat. Sungguh ironis bila paparan pidato kepala negara yang sarat kebijakan pemerintah pusat berkaitan dengan program untuk masyarakat justru diabaikan atau dipandang sebelah mata oleh anggota legislatif di tingkat daerah, yakni DPRD. Itu dapat dijadikan indikasi, pada dasarnya banyak anggota legislatif di daerah kurang perhatian berhadap berbagai hal menyangkut nasib rakyat daerah yang berada dalam wilayah kerja dan tanggung jawabnya.
Ketiga, secara etika anggota DPRD itu telah menunjukkan perilaku tidak patut dicontoh oleh masyarakat pada umumnya bila pidato seorang presiden sebagai kepala negara sekaligus pemerintahan dalam sistem presidensial, yang notabene berkedudukan lebih tinggi daripada anggota DPRD, saja bisa diabaikan. Bukan tidak mungkin mereka akan lebih tidak peduli lagi pada suara masyarakat bawah. Di sisi lain, keengganan anggota legislatif (daerah) dalam menghargai pidato presiden dapat pula dimaknai sebagai bentuk pembangkangan. Pembangkangan tersebut bisa dikaitkan karena perbedaan partai politik antara SBY dengan anggota legislatif yang absen.
Rakyat Harus "Menghukum"
Lepas dari beberapa indikasi itu, mangkirnya anggota DPRD Jatim pada saat Presiden SBY menyampaikan pidato kenegaraan menjelang peringatan kemerdekaan RI harus diusut lebih lanjut. Masyarakat semestinya mendesak dan mendukung Badan Kehormatan (BK) DPRD Jatim menjalankan tugasnya. Termasuk, memberikan sanksi terkait dengan sikap indisipliner anggota DPRD Jatim tersebut.
Paling tidak, BK DPRD Jatim bisa mengumumkan ke hadapan publik nama-nama anggota DPRD Jatim yang "menghilang" tanpa alasan jelas dari ruang sidang paripurna istimewa itu. Selanjutnya, biarkan masyarakat menghukum dengan caranya sendiri. Yang penting, sanksi dari masyarakat tidak berseberangan dengan hukum positif/formal.
Dalam hal ini, penulis sangat tidak setuju dengan Ketua DPRD Jatim Fathorrasjid yang menyatakan bahwa ketidakhadiran mereka itu "hanya" pelanggaran etika dan tata tertib dewan. Sebab, bila masalah etika dan kedisiplinan dipandang sebagai hal remeh ("hanya"), hal-hal lain akan bisa diperlakukan lebih buruk lagi. Mengapa? Sebab, etika dan kedisiplinan merupakan bagian penting "mental dan moral" individu. Bila persoalan sepele saja mereka tidak bisa menghargai, bagaimana kalau berkaitan dengan kepentingan rakyat yang lebih luas?
Karena itu pula, menyongsong Pemilihan Umum 2009, masyarakat harus lebih cerdas. Masyarakat jangan sampai terbuai oleh berbagai janji dan suap. Pikir-pikirlah sebelum memberikan kesempatan kedua kepada orang-orang yang tidak memperhatikan etika untuk kembali menguasai panggung legislatif.
Masyarakat Jatim harus mencatat, pada 15 Agustus 2008, 63 anggota DPRD Jatim mengabaikan pidato presiden dalam sidang paripurna istimewa terkait kebijakan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Mereka tidak lagi sekadar tidur di ruang sidang, tapi secara berjamaah tidak menghadiri sidang. (*)

Kamis, 14 Agustus 2008

Goblok (?!), Enjoy Aja !




Judul buku : Guru Goblok Ketemu Murid Goblok

Penulis : Iman Supriyono
Penerbit : SNF Consulting, Surabaya
Tahun : Mei 2008
Tebal : 264 halaman


Sangat banyak di negeri ini orang yang sesungguhnya pantas disebut sebagai orang goblok, tetapi tidak pernah mau untuk mengakui kegoblokannya. Apalagi sampai dengan menyadari bahwa dirinya benar-benar goblok. Mengapa demikian ? Memang sungguh sangat memerahkan telinga --- dan pasti ingin melakukan tindakan-tindakan yang benar-benar “goblok” --- bila ada yang menyematkan identitas pada diri dengan panggilan “orang goblok”.
Meskipun demikian, dibalik sangat banyaknya orang goblok yang emoh disebut sebagai orang goblok, masih ada sebagian kecil orang yang sudi untuk mengakui dan menyadari bahwa dirinya adalah orang goblok. Bahkan mereka tampak enjoy untuk menyebut dan disebut sebagai orang goblok. Mengapa pula demikian ? Karena dengan memproklamirkan diri sebagai “orang goblok”, mereka mampu melapangkan jalan kesempatan yang luas dan panjang untuk selalu belajar dan belajar.
Salah satu manusia langkah yang tidak malu untuk mendeklarasikan diri sebagai “orang goblok” ialah Iman Supriyono (dan gurunya, Abdul Rachim). Dengan kesadarannya yang sangat dalam sebagai orang goblok tersebut, akhirnya buku “Guru Goblok Ketemu Murid Goblok” ini lahir. Hebatnya lagi, buku Iman Supriyono yang (merasa) goblok ini merupakan karya buku ke-7 (tujuh)nya. Hebat, orang goblok bisa nulis buku. Padahal yang selama ini mengaku “pinter” saja banyak yang tidak mampu menggoreskan satu pun kalimat bermakna, dan selalu marah kalau dipanggil “goblok”.
Tingkatan Goblok
Tapi Iman Supriyono dan gurunya ini bukanlah orang ‘goblok’ yang sembarang goblok. Mereka adalah jenis manusia ‘goblok’ khusus. Menurutnya, kegoblokan manusia itu dapat dipilah menjadi 3 tingkatan. Tingkat Pertama, orang goblok yang masih menyadari bahwa dirinya goblok. Goblok tingkat pertama ini bahkan menurut Iman Supriyono merupakan goblok yang disarankan. Seseorang boleh saja (dan bahkan harus) merasa goblok. Syaratnya, masih menyadari bahwa dirinya goblok dan kemudian mau belajar terus menerus.
Bahkan setiap saat kita harus merasa goblok. Maksudnya ? Setiap saat merasa ada sesuatu yang kita ingin bisa tetapi belum bisa. Tindak lanjuti dengan belajar hingga bisa. Begitu bisa, segera temukan apa lagi yang belum bisa. Temukan satu kegoblokan lagi. Pelari lagi sampai bisa. Begitu bisa…. Temukan satu kegoblokan lagi, pelajari sampai bisa, temukan kegoblokan lagi….. demikian seterusnya. Selalu goblok (hal. 83). Inilah yang disebut sebagai “goblok dinamis” atau goblok yang beruntung.
Sedangkan tingkatan kedua, orang goblok yang tidak menyadari bahwa dirinya goblok. Orang goblok jenis ini tidak akan pernah berkembang (stagnan). Inilah yang juga bisa disebut dengan “goblok statis”, karena membiarkan diri untuk tetap goblok dalam satu hal selamanya.
Dan tingkatan ketiga, orang goblok yang tidak merasa dirinya goblok dan bahkan suka menggoblok-goblokkan orang lain. Inilah jenis manusia yang terjangkiti penyakit goblok total, goblok sempurna, goblok absolut. Orang goblok absolut ini bila dinasehati tentang kegoblokannya, serta merta ia menolak. Bahkan karena merasa dirinya pintar dari orang yang menasehatinya. Inilah jenis manusia yang merasa pintar padahal goblok. Karena itu, Iman Supriyono mewanti-wanti agar kita tidak termasuk golongan orang yang goblok jenis ini. Bahaya !!! (hal. 84).
Butuh Guru Goblok
Tetapi untuk menjadi “goblok dinamis” pun membutuhkan kecerdasan yang berlipat. Untuk belajar menumbuhkan kesadaran sebagai orang goblok, dibutuhkan seorang guru yang bisa mendidik untuk bisa merasa goblok. Nach, guru jenis ini pun ternyata juga sangat langka. Sebab yang banyak ialah guru yang menuntut muridnya pintar dan cenderung menyisihkan murid yang bergaya goblok. Tapi sang guru pun kerapkali tidak mau dikalahkan oleh para muridnya, sehingga dia (guru) sendiri pun kemudian menjadi sok pintar dan keminter.
Karena itulah, Iman Supriyono pun pantas merasa bersyukur karena bisa bertemu dan mendapatkan guru yang sudi mendidiknya untuk bisa merasa goblok. Lebih dari itu, Pak Rohim --- yang diklaimnya sebagai guru (dalam buku ini) --- rela untuk menggoblokkan dirinya yang tidak pernah bosan untuk mendidik dan bahkan memberi kepercayaan terhadap murid-muridnya yang goblok --- yang salah satunya ialah penulis buku ini.
Dengan tempaan guru gobloknya, akhirnya Iman Supriyono yang saat ini merupakan konsultan senior di SNF Consulting, Surabaya tidak pernah berhenti untuk terus merasa goblok. Salah satu bukti kesadaran akan kegoblokan dirinya ialah tentang mimpinya untuk bisa membuat kantor konsultan yang bisa dipercaya perusahaan-perusahaan kelas dunia. Akan tetapi hingga saat ini belum tercapai. Belum bisa. Goblok. Dan karena itu, ia tidak akan pernah berhenti untuk mengentaskan diri dari ambisi goblok tersebut hingga tercapai.
Memperhatikan semangat Iman Supriyono yang meledak-ledak untuk membakar jiwa entrepreneur dan investor ini, maka kehadiran buku perlu menjadi pegangan wajib bagi mereka yang ingin melepaskan diri dari kegoblokan statis dan bahkan kegoblokan absolut. Bahkan tidak hanya bagi mereka yang sedang ingin mengembangkan usaha bisnis jasa saja, tetapi juga para pendidik (baca : guru dan atau dosen) yang selalu merasa sok lebih pandai dari murid atau mahasiswanya. Tauladan Pak Rohim --- yang selalu merasa sebagai guru goblok --- perlu diwarisi oleh para pemegang kunci gerbang dunia akademis.
Ada banyak kelebihan dari buku ini. Bahasa yang digunakan sangat mengalir dan enak untuk dibaca --- boleh dikata, ketika saya membaca buku ini seolah sedang membaca sebuah novel. Bahasa yang ringan tetapi sarat dengan makna-makna. Selain itu, sentilan-sentilan pedas tidak justru membuat kita marah dan menutup buku. Tapi sebaliknya, justru kian bernafsu untuk melumatnya sampai habis. Tidak ada kata lain untuk memuaskan rasa penasaran dibalik judul buku yang terkesan ‘melecehkan’ itu, kecuali membaca isinya. Karena hanya orang-orang goblok absolut saja yang pasti enggan untuk menikmati buku ini. “Goblok (?!), Enjoy Aja !”

Selasa, 12 Agustus 2008

Kotak Masjid sebagai Dana Sosial


Oleh Abd Sidiq Notonegoro
Musibah besar kembali mengguncang negeri. Gempa tektonik dahsyat yang berkekuatan 5,9 skala Richter menghantam Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tidak saja melumpuhkan kehidupan masyarakat, tetapi juga menghancurkannya.
Tidaklah berlebihan kalau bencana ini menyebabkan Indonesia kembali menangis. Karena derita ini bukan hanya derita masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah (Jateng), tetapi juga merupakan derita seluruh masyarakat negeri ini. Patutlah bencana ini kita sebut sebagai bencana nasional. Sehingga, siapa pun memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan yang dapat meringankan beban derita masyarakat yang terkena musibah.
Tiada yang patut disalahkan, pun juga tidak perlu harus dihubung- hubungkan dengan hal-hal yang berbau klenikisme dan mistis. Itu karena, secara ilmiah telah dijelaskan bahwa gempa tersebut disebabkan oleh tumbukan lempengan (lempeng Indo-Australia), dan dapat terjadi di mana saja dan kapan saja.
Namun, sebagai masyarakat yang religius, bencana ini memang tidak dapat sekadar dipahami sebagai hal yang rasional belaka. Ada hal-hal yang bersifat meta-rasional, jauh dari jangkauan akal dan nalar empiris manusia, yang patut diambil hikmahnya. Karena itu, bencana ini harus mampu menyentuh dan mengasah batin kita yang jauh dari area musibah.
Minimal, dari bencana tersebut dapat melahirkan dua kesadaran. Pertama, mereka yang tertimpa musibah merupakan saudara kita yang seagama, sesama umat beragama dan satu bangsa. Atau paling tidak satu spesies dengan kita, yaitu sama-sama manusia yang punya sifat manusiawi. Kedua, bencana semacam ini juga dapat menimpa diri kita dan di mana saja. Bantuan yang diberikan sejatinya adalah investasi atau saham kita jikalau suatu saat kita juga mengalami hal yang serupa, meskipun hal tersebut tidak perlu dan tidak pernah kita harapkan. Mengasah nurani
Dan tampaknya, kesadaran kemanusiaan masyarakat bangsa ini (bahkan masyarakat dunia) kembali tersentuh dengan musibah tektonik ini. Di mana-mana masyarakat bahu-membahu menggalang amal kemanusiaan untuk "sekadar" meringankan beban derita korban bencana. Bala bantuan pun mengalir dengan cepatnya sehingga dalam waktu yang relatif sangat cepat telah terkumpul dana miliaran rupiah. Belum lagi yang berupa bahan pangan, obat-obatan, dan maupun pakaian.
Marilah kita lihat, bagaimana perhatian masyarakat bangsa ini dalam mengekspresikan kepedulian terhadap sesama. Mulai dari mereka yang tampak sangat agamis sampai dengan mereka yang selama ini dianggap jauh dari simbol-simbol ritus keagamaan. Tampak dari seluruh mereka menunjukkan watak atau sifat aslinya, watak atau sifat manusia sejati yang sejak asal dibekali oleh Tuhan yang bernama fitrah, yaitu hasrat-hasrat dasariah untuk selalu melakukan kebaikan untuk sesamanya.
Mungkin dari sebagian mereka mengatakan, semua apa yang dilakukan bukan karena kepentingan agama (apalagi kalau sekadar kepentingan politik), tetapi semata-mata adalah faktor nurani, kepentingan kemanusiaan. Namun, cukuplah kita mengatakan bahwa itu semua sesungguhnya lahir dari fitrah keberagamaan yang paling substansial.
Mungkin hanya satu keinginan kita, semoga kemanusiaan ini tidak cepat berlalu. Kerelaan untuk membantu sesama, kerelaan anggota legislatif untuk dipotong gaji bulanannya, kerelaan seluruh anak negeri ini untuk peduli dengan sesamanya. Baik ketika ada terpaan bencana alam maupun tidak.
Sekali lagi, sebagai masyarakat religius perlu memandang bencana alam merupakan peringatan Tuhan-karena tidak harus setiap bencana dimaknai azab atau siksa. Sapaan Tuhan ini boleh jadi berkaitan dengan mudah "buta"-nya hati nurani masyarakat akibat terbelenggu individualisme, materialisme, hedonisme, dan kapitalisme. Bencana ini ibarat alat pengasah hati agar tajam kembali untuk dapat menggores noda hati. Alangkah indahnya
ada Jumat lalu, penulis shalat Jumat di masjid kecil tapi tampak megah di daerah pinggiran Surabaya. Seperti menjadi tradisi, sebelum khotbah Jumat dimulai, takmir masjid mengumumkan perolehan infak Jumat sebelumnya. Disebutkan bahwa infak Jumat sebelumnya sebesar Rp 450.000 sehingga total infak yang berada di kas masjid sebesar Rp 65 juta.
Dapat dibayangkan, andaikata seluruh masjid di seluruh negeri ini dengan "penghasilan" tiap Jumat rata-rata Rp 100.000, berapa dana umat yang dapat dikumpulkan? Bukan saja miliaran, tetapi sangat mungkin puluhan triliun rupiah.
Sayangnya, dana umat tersebut sering kali difungsikan untuk hal- hal yang sangat tidak produktif atau tidak bermanfaat, yaitu sekadar untuk merehab masjid yang masih tampak megah, hanya sekadar untuk memenuhi selera modernitas sehingga masjid kelihatan lebih indah dan modern. Bahkan lebih tragis lagi, terkadang penggunaannya tidak jelas dan tidak transparan.
Oleh karena itu, alangkah indahnya jikalau seluruh masjid ini mengorientasikan dana infak yang dihimpunnya untuk korban bencana sehingga masjid betul-betul menampakkan "Rumah Tuhan" yang di masa Nabi Muhammad SAW dijadikan sebagai "tempat penyelamatan". Dalam haditsnya, Nabi menjamin bahwa masjid merupakan tempat yang paling aman untuk mencari keselamatan diri.
Saatnya para pengelola masjid menyadari bahwa dana infak tersebut merupakan dana umat yang harus dikembalikan kepada umat yang membutuhkan. Sesungguhnya Tuhan tidak pernah membutuhkan masjid yang megah dan kokoh secara fisik. Tuhan hanya menegaskan perlunya masjid yang ramai oleh manusia yang mencari keselamatan (akhirat).
Akhirnya, mudah-mudahan dengan tulisan ini para "penguasa" masjid tersentuh hatinya untuk memberikan dana umat yang dikumpulkan setiap Jumat untuk masyarakat Yogyakarta dan Jateng yang menderita. Dan, mudah-mudahan para pengelola masjid tidak menutupi "wajah" ramah Tuhan-yang belas kasih di hadapan hamba-Nya-dan menggantinya dengan "raut wajah" yang lain.
Abd Sidiq Notonegoro
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), tinggal di Gresik