Selasa, 19 Agustus 2008

Keroposnya Kemauan "Mendengarkan"

Oleh:Sidiq Notonegoro
aktivis Pemuda Muhammadiyah Jatim
Kabar kurang sedap kembali berembus dari gedung wakil rakyat di DPRD Provinsi Jawa Timur. Untuk kali kesekian, hal tak patut ditorehkan lagi oleh anggota legislatif. Banyak anggota dewan mangkir dari sidang paripurna istimewa pada 15 Agustus 2008.
Padahal, menghadiri sidang paripurna istimewa merupakan salah satu kewajiban anggota dewan yang tidak boleh ditinggalkan. Kecuali, alasan mereka bisa dibenarkan. Yang ironis, sebagian besar di antara mereka tidak hadir tanpa memberikan alasan jelas.
Tujuan formal kehadiran dalam sidang paripurna istimewa tersebut ialah mendengarkan pidato kenegaraan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dalam peringatan kemerdekaan Republik Indonesia. Lebih dari itu, dengan mengikuti sidang paripurna istimewa seperti itu, ke depan sesungguhnya diharapkan terwujud sinkronisasi pembangunan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah.
Inti sidang paripurna istimewa ialah pidato kenegaraan berkaitan dengan langkah, kebijakan, dan solusi pemerintah (baca: presiden) soal pembangunan bangsa. Dengan mengikuti sidang paripurna istimewa, diharapkan anggota legislatif di daerah dapat mencermati isi pidato presiden. Sebab, langkah, kebijakan, dan solusi yang diucapkan oleh presiden dalam sidang tersebut harus ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah.
Dengarkan Suara (untuk) Rakyat
Bukankah tugas utama anggota legislatif adalah "mendengarkan", kemudian "sidang"? Artinya, bukan semata-mata mendengarkan suara rakyat, tapi juga suara yang menyangkut nasib masyarakat. Termasuk, pidato presiden yang berkaitan dengan masalah masyarakat. Misalnya, anggaran pendidikan. Sebab, apa yang disampaikan presiden dalam sidang paripurna istimewa tersebut harus ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah. Bila anggota legislatif "tuli" dari suara yang diperdengarkan di pusat, bagaimana mungkin mampu menjadi alat kontrol bagi kinerja pemerintah di daerah.
Menyaksikan begitu atraktifnya anggota dewan yang tidak mengikuti dan mendengarkan pidato kenegaraan, ada beberapa hal yang patut cermati. Pertama, terkait dengan persoalan kebangsaan dan nasionalisme. Mentalitas nasionalisme anggota legislatif tersebut layak diragukan. Sebab, mendengarkan pidato kenegaraan, apalagi mengenai peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, secara simbolis merupakan cermin etos nasionalisme. Apalagi, mereka berkedudukan sebagai elemen negara yang dibayar dari uang negara.
Kedua, sangat patut diragukan keberpihakan dan komitmen mereka (anggota legislatif) untuk menjadi wakil rakyat. Sungguh ironis bila paparan pidato kepala negara yang sarat kebijakan pemerintah pusat berkaitan dengan program untuk masyarakat justru diabaikan atau dipandang sebelah mata oleh anggota legislatif di tingkat daerah, yakni DPRD. Itu dapat dijadikan indikasi, pada dasarnya banyak anggota legislatif di daerah kurang perhatian berhadap berbagai hal menyangkut nasib rakyat daerah yang berada dalam wilayah kerja dan tanggung jawabnya.
Ketiga, secara etika anggota DPRD itu telah menunjukkan perilaku tidak patut dicontoh oleh masyarakat pada umumnya bila pidato seorang presiden sebagai kepala negara sekaligus pemerintahan dalam sistem presidensial, yang notabene berkedudukan lebih tinggi daripada anggota DPRD, saja bisa diabaikan. Bukan tidak mungkin mereka akan lebih tidak peduli lagi pada suara masyarakat bawah. Di sisi lain, keengganan anggota legislatif (daerah) dalam menghargai pidato presiden dapat pula dimaknai sebagai bentuk pembangkangan. Pembangkangan tersebut bisa dikaitkan karena perbedaan partai politik antara SBY dengan anggota legislatif yang absen.
Rakyat Harus "Menghukum"
Lepas dari beberapa indikasi itu, mangkirnya anggota DPRD Jatim pada saat Presiden SBY menyampaikan pidato kenegaraan menjelang peringatan kemerdekaan RI harus diusut lebih lanjut. Masyarakat semestinya mendesak dan mendukung Badan Kehormatan (BK) DPRD Jatim menjalankan tugasnya. Termasuk, memberikan sanksi terkait dengan sikap indisipliner anggota DPRD Jatim tersebut.
Paling tidak, BK DPRD Jatim bisa mengumumkan ke hadapan publik nama-nama anggota DPRD Jatim yang "menghilang" tanpa alasan jelas dari ruang sidang paripurna istimewa itu. Selanjutnya, biarkan masyarakat menghukum dengan caranya sendiri. Yang penting, sanksi dari masyarakat tidak berseberangan dengan hukum positif/formal.
Dalam hal ini, penulis sangat tidak setuju dengan Ketua DPRD Jatim Fathorrasjid yang menyatakan bahwa ketidakhadiran mereka itu "hanya" pelanggaran etika dan tata tertib dewan. Sebab, bila masalah etika dan kedisiplinan dipandang sebagai hal remeh ("hanya"), hal-hal lain akan bisa diperlakukan lebih buruk lagi. Mengapa? Sebab, etika dan kedisiplinan merupakan bagian penting "mental dan moral" individu. Bila persoalan sepele saja mereka tidak bisa menghargai, bagaimana kalau berkaitan dengan kepentingan rakyat yang lebih luas?
Karena itu pula, menyongsong Pemilihan Umum 2009, masyarakat harus lebih cerdas. Masyarakat jangan sampai terbuai oleh berbagai janji dan suap. Pikir-pikirlah sebelum memberikan kesempatan kedua kepada orang-orang yang tidak memperhatikan etika untuk kembali menguasai panggung legislatif.
Masyarakat Jatim harus mencatat, pada 15 Agustus 2008, 63 anggota DPRD Jatim mengabaikan pidato presiden dalam sidang paripurna istimewa terkait kebijakan yang bersentuhan langsung dengan masyarakat. Mereka tidak lagi sekadar tidur di ruang sidang, tapi secara berjamaah tidak menghadiri sidang. (*)

Tidak ada komentar: