Selasa, 12 Agustus 2008

Kotak Masjid sebagai Dana Sosial


Oleh Abd Sidiq Notonegoro
Musibah besar kembali mengguncang negeri. Gempa tektonik dahsyat yang berkekuatan 5,9 skala Richter menghantam Yogyakarta dan Jawa Tengah. Tidak saja melumpuhkan kehidupan masyarakat, tetapi juga menghancurkannya.
Tidaklah berlebihan kalau bencana ini menyebabkan Indonesia kembali menangis. Karena derita ini bukan hanya derita masyarakat Yogyakarta dan Jawa Tengah (Jateng), tetapi juga merupakan derita seluruh masyarakat negeri ini. Patutlah bencana ini kita sebut sebagai bencana nasional. Sehingga, siapa pun memiliki kewajiban untuk memberikan bantuan yang dapat meringankan beban derita masyarakat yang terkena musibah.
Tiada yang patut disalahkan, pun juga tidak perlu harus dihubung- hubungkan dengan hal-hal yang berbau klenikisme dan mistis. Itu karena, secara ilmiah telah dijelaskan bahwa gempa tersebut disebabkan oleh tumbukan lempengan (lempeng Indo-Australia), dan dapat terjadi di mana saja dan kapan saja.
Namun, sebagai masyarakat yang religius, bencana ini memang tidak dapat sekadar dipahami sebagai hal yang rasional belaka. Ada hal-hal yang bersifat meta-rasional, jauh dari jangkauan akal dan nalar empiris manusia, yang patut diambil hikmahnya. Karena itu, bencana ini harus mampu menyentuh dan mengasah batin kita yang jauh dari area musibah.
Minimal, dari bencana tersebut dapat melahirkan dua kesadaran. Pertama, mereka yang tertimpa musibah merupakan saudara kita yang seagama, sesama umat beragama dan satu bangsa. Atau paling tidak satu spesies dengan kita, yaitu sama-sama manusia yang punya sifat manusiawi. Kedua, bencana semacam ini juga dapat menimpa diri kita dan di mana saja. Bantuan yang diberikan sejatinya adalah investasi atau saham kita jikalau suatu saat kita juga mengalami hal yang serupa, meskipun hal tersebut tidak perlu dan tidak pernah kita harapkan. Mengasah nurani
Dan tampaknya, kesadaran kemanusiaan masyarakat bangsa ini (bahkan masyarakat dunia) kembali tersentuh dengan musibah tektonik ini. Di mana-mana masyarakat bahu-membahu menggalang amal kemanusiaan untuk "sekadar" meringankan beban derita korban bencana. Bala bantuan pun mengalir dengan cepatnya sehingga dalam waktu yang relatif sangat cepat telah terkumpul dana miliaran rupiah. Belum lagi yang berupa bahan pangan, obat-obatan, dan maupun pakaian.
Marilah kita lihat, bagaimana perhatian masyarakat bangsa ini dalam mengekspresikan kepedulian terhadap sesama. Mulai dari mereka yang tampak sangat agamis sampai dengan mereka yang selama ini dianggap jauh dari simbol-simbol ritus keagamaan. Tampak dari seluruh mereka menunjukkan watak atau sifat aslinya, watak atau sifat manusia sejati yang sejak asal dibekali oleh Tuhan yang bernama fitrah, yaitu hasrat-hasrat dasariah untuk selalu melakukan kebaikan untuk sesamanya.
Mungkin dari sebagian mereka mengatakan, semua apa yang dilakukan bukan karena kepentingan agama (apalagi kalau sekadar kepentingan politik), tetapi semata-mata adalah faktor nurani, kepentingan kemanusiaan. Namun, cukuplah kita mengatakan bahwa itu semua sesungguhnya lahir dari fitrah keberagamaan yang paling substansial.
Mungkin hanya satu keinginan kita, semoga kemanusiaan ini tidak cepat berlalu. Kerelaan untuk membantu sesama, kerelaan anggota legislatif untuk dipotong gaji bulanannya, kerelaan seluruh anak negeri ini untuk peduli dengan sesamanya. Baik ketika ada terpaan bencana alam maupun tidak.
Sekali lagi, sebagai masyarakat religius perlu memandang bencana alam merupakan peringatan Tuhan-karena tidak harus setiap bencana dimaknai azab atau siksa. Sapaan Tuhan ini boleh jadi berkaitan dengan mudah "buta"-nya hati nurani masyarakat akibat terbelenggu individualisme, materialisme, hedonisme, dan kapitalisme. Bencana ini ibarat alat pengasah hati agar tajam kembali untuk dapat menggores noda hati. Alangkah indahnya
ada Jumat lalu, penulis shalat Jumat di masjid kecil tapi tampak megah di daerah pinggiran Surabaya. Seperti menjadi tradisi, sebelum khotbah Jumat dimulai, takmir masjid mengumumkan perolehan infak Jumat sebelumnya. Disebutkan bahwa infak Jumat sebelumnya sebesar Rp 450.000 sehingga total infak yang berada di kas masjid sebesar Rp 65 juta.
Dapat dibayangkan, andaikata seluruh masjid di seluruh negeri ini dengan "penghasilan" tiap Jumat rata-rata Rp 100.000, berapa dana umat yang dapat dikumpulkan? Bukan saja miliaran, tetapi sangat mungkin puluhan triliun rupiah.
Sayangnya, dana umat tersebut sering kali difungsikan untuk hal- hal yang sangat tidak produktif atau tidak bermanfaat, yaitu sekadar untuk merehab masjid yang masih tampak megah, hanya sekadar untuk memenuhi selera modernitas sehingga masjid kelihatan lebih indah dan modern. Bahkan lebih tragis lagi, terkadang penggunaannya tidak jelas dan tidak transparan.
Oleh karena itu, alangkah indahnya jikalau seluruh masjid ini mengorientasikan dana infak yang dihimpunnya untuk korban bencana sehingga masjid betul-betul menampakkan "Rumah Tuhan" yang di masa Nabi Muhammad SAW dijadikan sebagai "tempat penyelamatan". Dalam haditsnya, Nabi menjamin bahwa masjid merupakan tempat yang paling aman untuk mencari keselamatan diri.
Saatnya para pengelola masjid menyadari bahwa dana infak tersebut merupakan dana umat yang harus dikembalikan kepada umat yang membutuhkan. Sesungguhnya Tuhan tidak pernah membutuhkan masjid yang megah dan kokoh secara fisik. Tuhan hanya menegaskan perlunya masjid yang ramai oleh manusia yang mencari keselamatan (akhirat).
Akhirnya, mudah-mudahan dengan tulisan ini para "penguasa" masjid tersentuh hatinya untuk memberikan dana umat yang dikumpulkan setiap Jumat untuk masyarakat Yogyakarta dan Jateng yang menderita. Dan, mudah-mudahan para pengelola masjid tidak menutupi "wajah" ramah Tuhan-yang belas kasih di hadapan hamba-Nya-dan menggantinya dengan "raut wajah" yang lain.
Abd Sidiq Notonegoro
Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM), tinggal di Gresik

Tidak ada komentar: