Jumat, 22 Mei 2009

Realisme Politik PKB



Meskipun tabulasi hasil pemilu legislatif belum secara resmi diumumkan, namun sudah dapat diperkirakan tentang partai politik (parpol) yang mendapatkan keunggulan dominan, standar, minimal atau bahkan yang harus gulung tikar. Dan yang cukup menarik, adanya beberapa parpol yang dalam Pemilu 2004 mendapatkan suara sangat signifikan, dalam Pemilu 2009 ini harus melorot tajam. Diantara yang menarik untuk dicermati ialah anjloknya suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), terutama di Jawa Timur yang selama ini dipandang sebagai lumbung emas PKB.
Jauh hari memang banyak pengamat yang sudah memprediksi bahwa dalam Pemilu 2009 ini PKB sangat sulit untuk menjadi jawara di Jawa Timur. Minimal ada 3 (tiga) faktor yang menjadi penyebab utamanya gembosnya suara PKB di Jatim. Pertama, konflik internal antara KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Dimana kemudian menjelang pemilu legislatif, Gus Dur membelokkan dukungannya ke Partai Gerinda milik Prabowo Subiyanto. Kedua, perpecahan PKB yang akhirnya melahirkan partai baru bernama Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Dan ketiga, ormas Nahdlatul Ulama (NU) secara kelembagaan mengambil jarak dengan seluruh parpol, termasuk PKB yang selama ini memiliki pemilih loyalis dari basis NU.
Dari ketiga faktor diatas, memang yang paling dominan dijadikan alasan keterpurukan PKB ialah hilangnya dukungan Gus Dur terhadap PKB pimpinan Cak Imin. Padahal di Jawa Timur, suara Gus Dur masih cukup berpengaruh dilingkungan warga Nahdliyin. Paling tidak, realitas ini tercermin dengan adanya 2 kelompok calon anggota legislatif (caleg) PKB yang berebut untuk didaftar oleh KPU sebagai peserta pemilu. Yaitu antara kelompok caleg yang menolak Cak Imin sebagai Ketua DPP PKB dan yang pro Cak Imin.
Pada pemilu 2009 ini perolehan suara PKB di Jawa Timur hanya 12,5 % jauh dibawah perolehan Partai Demokrat (21,9 %) dan PDI-P (15,6). Bahkan juga di bawah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang untuk wilayah Jatim sering dipandang sebelah mata. Hal ini tidak lepas karena secara umum masyarakat Jatim terkooptasi pada 2 karakter dominan, yaitu santri (nahdliyin) dan abangan. Masyarakat yang secara religius bercorak puritanis-pragmatis (PKS) dan modernis-rasional-realistik (PAN) hanyalah komunitas yang relatif kecil.
Sehingga ada kesan, menurunnya suara PKB dalam pemilu 2009 ini sebagai bencana besar dikalangan masyarakat nahdliyin sendiri. Sehingga --- bukan saja warga NU, tapi juga para pengamat politik NU --- banyak yang menangisi keterpurukan PKB ini. Ini memang tidak lepas dari adanya citra bahwa PKB adalah saluran politik ideologis warga NU. Sehingga kekalahan PKB seakan-akan merupakan kekalahan riil NU.
Pertanyaannya, benarkah menurunnya perolehan PKB Jatim dalam pemilu 2009 ini sebagai bentuk kegagalan NU dalam berpolitik --- atau minimal kegagalan politik kaum nahdliyin ? Benarkah kesuraman PKB merupakan kesuraman NU ? Menurut penulis, terlalu prematur dan tidak logis bila mengkaitkan keterpurukan PKB di Jatim sama artinya dengan keterpurukan NU.
Tetapi sebaliknya, menurunnya perolehan PKB merupakan pengalaman politik yang sangat berharga bagi kalangan elit NU. Baik dari kalangan elit politik ataupun elit kiai. Karenanya, tidak perlu menjadi kesedihan mendalam bagi warga NU hanya karena gagalnya PKB untuk menjadi kekuatan politik yang dominan di Jatim. Tapi sebaliknya, elit dan warga NU perlu berfikir rasional bahwa realitas ini justru merupakan keberhasilan pembangunan politik yang rasional dan mandiri bagi NU. Beberapa konflik yang menimpa parpol berbasis massa NU --- seperti PKB, PKNU, PPP dan sebagainya --- memberikan kesadaran politik tersendiri bagi warga NU untuk menentukan pilihan politiknya. Yaitu bahwa pilihan politik haruslah selaras dengan pilihan hati nurani, bukan harus selalu selaras dengan pilihan kiai atau tokoh NU.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pemilu 2009 ini kurang menguntungkan PKB dalam hal bagian kursi kekuasaan legislatif. Bahkan mungkin secara material pun mengganggu kondisi internal NU dalam jangka pendek. Namun ke depan bisa dipastikan kemandirian dan kedewasaan politik warga NU bisa diandalkan. Dengan semakin mandirinya warga NU dalam menempatkan pilihan politiknya, diharapkan di masa depan keberadaan “politik aliran” kian berkurang drastis. Kemudian berkembang politik yang bercorak nasionalisme, namun didukung dan diwarnai oleh suasana religius yang tinggi.
Selain itu, perolehan suara yang diraup PKB pada pemilu 2009 ini bisa dikatakan sebagai dukungan warga NU yang riil dan realistis. Inilah massa PKB sejati, massa yang tidak dijebak oleh kepentingan kelompok sektarianism sempit. Dengan kondisi seperti ini, diharapkan perjalanan PKB ke depan untuk menjadi partai inklusif kian sehat. PKB tidak diombang-ambingkan oleh kepentingan elit tertentu, baik elit politik ataupun elit kiai. PKB benar-benar lebih berpihak pada kepentingan masyarakat banyak.
Akhirnya, mudah-mudahan parpol yang masih bercorak aliran dengan mengandalkan massa ‘tradisional’ mengalami kondisi yang sama seperti yang pernah dialami PKB. Sehingga masyarakat kian disadarkan akan hak politiknya yang tidak bisa di’beli’ partai tertentu dengan mengatas-namakan kepentingan aliran atau kelompok.
Abd. Sidiq Notonegoro
Dosen di Univ. Muhammadiyah Gresik

Tidak ada komentar: