Stigma Pesantren Pascaaksi Terorisme
Oleh Ahmad Rofik
Jumat, 24 Juli 2009
Aksi terorisme kembali terjadi di Jakarta. Kali ini mengguncang kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Kecurigaan aparat keamanan dan media, pelaku yang diduga melakukan peledakan bom bunuh diri adalah anggota jaringan teroris Noordin M Top. Satu di antaranya bernama Nur Said alias Nur Hasbi yang merupakan alumnus Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo.
Lagi-lagi ponpes yang berada di wilayah Sukoharjo, Jawa Tengah, yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir, dituduh menjadi latar belakang pencetakan teroris. Fakta dari rentetan aksi-aksi terorisme di Indonesia sejak 2000 hingga 2009 memang pelakunya mayoritas alumni Ponpes Ngruki. Imam Samudera, Ali Gufron, Amrozi, Salik Firdaus, Asmar Latin, Heri Golun, hingga Nur Said adalah alumni pondok tersebut.
Masyarakat dan pemerhati dunia pendidikan khususnya pesantren jadi bertanya-tanya, ada apakah dengan Ponpes Al Mukmin Ngruki? Apakah ada kurikulum pendidikannya yang salah sehingga banyak alumninya terjebak dalam aksi terorisme?
Penulis, yang pernah belajar di Ponpes Al Mukmin dan sebelumnya juga sempat belajar di ponpes yang lain, memiliki pengalaman yang bisa diceritakan. Selama belajar di Ngruki, materi pendidikan dan kurikulumnya berkategori wajar sebagaimana pesantren-pesantren yang lain. Mazhab pesantren Ngruki yang condong ke Wahabi memang secara kultural mengajarkan anak didik atau santrinya kepada ajaran Islam yang kaffah dengan disiplin yang ketat.
Alumni Ponpes Al Mukmin-selain yang tersesat ke jalan kekerasan sebagaimana Amrozi, Ali Gufron dan kawan-kawan-banyak yang sukses dalam menjalankan amanah pekerjaan dan bersosialisasi di tengah masyarakat. Ikatan Alumni Ponpes Al Mukmin memegang teguh prinsip ajaran Islam dalam mengarungi kehidupan.
Konteks demikian sesungguhnya stigma bahwa Ponpes Al Mukmin dan pesantren "turunan" yang didirikan alumni tidak salah karena memang telah mendidik siswa dan santrinya dengan ajaran Islam sesuai prinsip syariah.
Tentang pertanyaan mengapa mayoritas pelaku terorisme adalah alumni Ponpes Al Mukmin, penulis memiliki penalaran subjektif. Mayoritas pelaku aksi terorisme adalah benar alumni Ponpes Al Mukmin, Ngruki, namun mereka adalah "aktivis Islam" yang telah terindoktrinasi ajaran perjuangan Islam yang keras dan radikal.
Mereka terbina oleh komunitas pengajian, oleh da'i dan instruktur gerakan Islam yang berorientasi melakukan perlawanan radikal terhadap hegemoni Barat. Boleh dikatakan, mereka adalah kader Abdullah Sungkar, pendiri Ponpes Al Mukmin, yang "lari" ke Malaysia untuk menghindari kejaran rezim Orde Baru.
Sementara itu, aktivis Islam lapisan kedua, yang mayoritas juga alumni Ponpes Al Mukmin, secara sosiologis dan ideologis memiliki watak yang menyimpang dibanding mainstream watak-perilaku alumni Al Mukmin yang jumlahnya ribuan atau puluhan ribu orang. Secara sosiologis, berasal dari keluarga menengah ke bawah yang berasal dari pedesaan terpencil yang memiliki akar sejarah sebagai aktivis gerakan Islam pada era 1950-an.
Secara ideologis, mereka memiliki keyakinan politik yang diwariskan orangtuanya tentang konsep negara Islam atau khilafah Islamiah yang berbeda dengan konsep khilafah Hizbut Tahrir. Ideologi yang dianut oleh para pelaku terorisme semacam Amrozi, Heri Golun, dan Imam Samudera tidak dibentuk selama menempuh pendidikan di pesantren, namun oleh aktivitas gerakan Islam radikal. Namun, filosofi pemahaman Islam yang kaffah dan eksklusif terbentuk selama menempuh pendidikan di Ngruki oleh para pengajar yang dahulunya aktivis gerakan Islam.
Watak teroris yang dimiliki sebagian alumni Al Mukmin Ngruki yang menyimpang dari mainstream itu bukan dibentuk oleh sistem dan kultur pendidikan Al Mukmin, namun oleh indoktrinansi ideologis. Mereka umumnya memiliki watak santun dalam perkataan-tindakan, kehidupannya tertutup dari lingkungan, agamais, berpindah-pindah secara regular. Mereka memutuskan komunikasi atau tali silaturahim dengan keluarga besar, serta memiliki kelompok pengajian yang tidak bisa diikuti oleh umat muslim kebanyakan. Alumni dan pendidikan pesantren yang bercorak radikal umumnya gagal membaur dengan realitas kehidupan masyarakat, sehingga tumbuh stigma buruk terhadap pendidikan pesantren dan para alumninya.
Para pelaku terorisme eksponen pendidikan Pesantren Al Mukmin terdidik oleh kajian keagamaan yang eksklusif dan radikal di luar aktivitas pendidikan formal di Ngruki. Mereka tampaknya dipilih oleh "kader" jaringan terorisme yang menyusup dalam irama kehidupan pesantren, baik yang secara legal menjadi bagian organisasi Islam semacam Anshorut Tauhid, NII, MMI maupun yang merupakan sel kelompok radikal jaringan internasional.
Dalam konteks politik demikian, seharusnya Ustad Abu Bakar Ba'asyir yang dimitoskan sebagai waliyullah oleh para santri/alumni Al Mukmin memiliki sikap responsif untuk memfilter kader-santrinya agar tidak terbujuk oleh indoktrinasi kelompok radikal. Jadi, bukannya hanya (selalu) memberikan statement menyangkal setiap ada upaya menstigmatisasi eksistensi Ponpes Al Mukmin pascaaksi terorisme.
Alangkah miris hati penulis ketika tiga serangkai pelaku bom Bali I, Amrozi, Ali Gufron, dan Abdul Azis, dieksekusi mati dan jenazahnya dikuburkan, justru kader Anshorut Tauhid dan alumni Ponpes Ngruki bertakziah dan menganggap mereka sebagai "mujahid" atau pahlawan. Ini sebuah kekeliruan dalam penafsiran jihad yang fatal dalam pemahaman Islam yang kaffah.
Dari kenyataan di atas, perlulah dunia pesantren, pemerintah, dan Departemen Agama memformulasikan model pendidikan pesantren sesuai standar kurikulum nasional. Standar kurikulum pendidikan nasional sudah waktunya direncanakan dan diimplementasikan di seluruh pendidikan pesantren di Indonesia.
Pesantren yang "eksklusif" dan menolak kerja sama perlu disadarkan dengan aksi responsif dari tokoh-tokoh atau ulama-ulama Islam. Di negara ini, yang dilandasi konstitusi, seharusnya tidak ada komponen masyarakat yang mencoba hidup dalam "paham" dan konstitusi yang menyimpang-sebagaimana Darul Arqam di Malaysia yang dibubarkan karena menolak konstitusi dan diatur oleh negara.
Jika dirasakan perlu, negara bisa memasukkan materi kurikulum yang mendorong pembangunan watak kebangsaan para santri. Dengan demikian, tidak ada lagi pendidikan bersemangat antikebangsaan di dalam dunia pendidikan pesantren. Hal ini niscaya akan menjadikan pendidikan dan pesantren sebagai alat pembentuk generasi pemimpin masa depan bangsa yang agamais dan berjiwa negarawan. Begitu!***
Penulis adalah alumnus Ponpes Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo,
pendiri Kajian Islam Kaffah Wonosobo
--------------------------------------------------------------------------------
Politik | Hukum | Ekonomi | Metropolitan | Nusantara | Internasional | Hiburan | Humor | Opini | About Us
--------------------------------------------------------------------------------
Copy Right ©2000 Suara Karya Online
Powered by Hanoman-i
Tidak ada komentar:
Posting Komentar