http://cetak.kompas.com/read/2010/10/08/1641113/rintisan.sekolah.bertaraf.internasional
Oleh Abd Sidiq Notonegoro
Rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) kembali menuai sorotan. Yudha Cahyawati melalui artikelnya yang berjudul "RSBI dan Kapitalisme Pendidikan" (Kompas edisi Jawa Timur, 4/10) menyorot secara kritis atas berbagai dampak negatif dari diselenggarakannya kelas khusus ini.
Menurut Yudha, konsekuensi dari dibukanya kelas RSBI ialah terjadinya kastanisasi dan diskriminasi terhadap peserta didik. Hanya anak-anak yang lahir dari keluarga berkantong tebal (baca: kaya uang) yang bisa masuk RSBI. Sedangkan yang dari keluarga dengan kondisi ekonomi pas-pasan, masuk kelas RSBI tidak lebih dari sebuah harapan hampa yang sangat tidak mungkin untuk digapai.
Realitas tersebut terjadi tidak dapat dipisahkan dari pola rekrutmen RSBI selama ini yang memang cenderung berpihak pada anak dari keluarga yang berharta. Harapan kelas RSBI dapat ditopang oleh orang-orang kaya memang tidak berlebihan. Karena hanya orang-orang yang berani membayar berapa pun mahalnya yang bisa dimanfaatkan memenuhi kebutuhan atau fasilitas kelas yang dibuat terkesan mewah tersebut, di antaranya air condi-tioning (AC), laboratorium bahasa Inggris, LCD, dan tidak ketinggalan pula setiap siswa bila perlu harus memiliki notebook (laptop).
Lepas dari konsepsi filosofis bahwa didirikannya RSBI sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas dunia pendidikan agar memiliki daya saing di pentas global, namun dalam tataran praktisnya RSBI cenderung difungsikan secara pragmatis.
Beberapa sekolah saat ini berlomba-lomba untuk mengajukan izin kepada pemerintah untuk diberi kepercayaan mengelola kelas RSBI ini. Padahal tidak sedikit infrastruktur yang dimiliki tidak memungkinkan untuk didirikan RSBI. Namun, mengapa mereka harus memaksakan diri?
Pertama, kelas RSBI memang memiliki tarif yang berbeda dengan kelas reguler. Sebagaimana telah dipaparkan dalam tulisan Yudha, kelas RSBI tidak memungkinkan untuk menampung siswa dari keluarga yang tidak mampu karena tidak mungkin sanggup memenuhi tuntutan finansial yang kian hari kian melangit. RSBI tidak lain sebagai kelas yang "bertarif" (biayanya) internasional, bukan "bertaraf" (capaian kualitas pendidikannya) internasional.
Beberapa waktu lalu, seorang rekan bercerita bahwa anaknya secara akademik dinyatakan layak untuk masuk ke kelas RSBI tersebut. Namun apa daya, untuk bisa menikmati kelas RSBI ternyata tidak sekadar mengandalkan kecerdasan kognitif. Dia dipanggil ke sekolah dan diberi tahu oleh pihak sekolah bahwa untuk bisa masuk di kelas RSBI harus bisa membayar sekian juta rupiah. Semua itu didasarkan pada alasan bahwa ruang RSBI harus ber-AC, ada LCD, menanggung biaya listrik sendiri dan sebagainya.
Kedua, tidak sedikit sekolah yang memaksakan diri untuk membuka jalur RSBI tersebut. Apakah sekolah tersebut memang sudah waktunya dan pantas untuk memiliki kelas RSBI? Ternyata tidak. Namun orientasinya semata-mata menciptakan citra agar banyak calon siswa yang mendaftar ke sekolah tersebut. Inilah yang dalam beberapa forum dan kesempatan penulis menyebutnya RSBI awu-awu. Kata RSBI hanya sebagai penghias spanduk pendaftaran siswa baru. Dalam realitasnya, tidak sedikit sekolah-sekolah yang menawarkan kelas RSBI itu kondisinya sangat tidak layak, meski untuk kelas reguler sekali pun.
Ketiga, seperti yang dinyatakan oleh Yudha bahwa RSBI melahirkan diskriminasi terhadap siswa dalam satu sekolah, tidaklah dapat dibantah. Kelas RSBI pada umumnya mendapatkan pelayanan dan perhatian yang sangat berlebihan, di sisi yang lain kelas reguler mendapatkan perlakuan yang asal-asalan. Anekdot tukang becak "bayar murah kok minta selamat", sepertinya tepat untuk menggambarkan kondisi diskriminasi ini.
Menyikapi fenomena seperti itu, patutlah keberadaan RSBI perlu ditata ulang. Diperlukan regulasi baru untuk menjadikan agar RSBI tidak mengesankan sebagai bentuk kastanisasi dan diskriminasi dalam dunia pendidikan.
Pemerintah perlu membangun sekolah RSBI yang bersifat khusus. Artinya, satu institusi sekolah tidak seharusnya memiliki dua jalur (RSBI dan reguler) yang berpotensi tumbuhnya mentalitas diskriminatif tersebut. RSBI harus berdiri secara utuh, tidak lagi disebut "kelas" tetapi tipe "sekolah". Jadi sekolah RSBI, sekolah yang kapasitas intelegensi siswanya di atas rata-rata. Sedangkan berkaitan dengan pembiayaan, sudah seharusnya orang-orang kaya di negeri ini turut bertanggung jawab. Dengan pengertian, perlu ada subsidi silang dari orang-orang kaya kepada anak-anak cerdas tapi miskin.
Maka, gagasan yang perlu saya lontarkan di sini ialah bagaimana setiap kecamatan atau minimal kabupaten memiliki satu sekolah berkualitas RSBI yang dikelola secara khusus dan terpisah. Jadi tidak perlu lagi setiap sekolah berambisi untuk membuka kelas RSBI. Sekolah RSBI akan tampak nyata sebagai sekolahnya anak-anak yang ber-IQ super, bukan berkekayaan super. Marilah kita ingat kembali jaminan dari UUD 1945 bahwa setiap warga negara mendapatkan hak yang sama atas pendidikan.
Karenanya, RSBI harus menjadi hunian bagi pelajar yang mampu menunjukkan kualitasnya, bukan kaplingan pelajar yang mengandalkan orangtuanya yang berlimpah harta. Abd Sidiq Notonegoro Dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik
Tidak ada komentar:
Posting Komentar