Selasa, 19 Oktober 2010

Tantangan di Era Thohir Luth


KOMPAS - Senin, 18 Oktober 2010 | 11:09 WIB

Tanpa diduga, akhirnya Prof Dr Thohir Luth menjadi nakhoda Muhammadiyah Jawa Timur untuk periode 2010-2015. Ia menggantikan Prof Dr Syafiq Mughni yang saat ini mendapat peran baru sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Dengan mengantongi 828 suara, Thohir Luth berhasil melampaui perolehan suara Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Muhadjir Effendi dan Drs Nur Cholis Huda-yang pada tahap pengusulan calon mendapat dukungan terbesar-dengan selisih tujuh suara.

Tampilnya Thohir sebagai Ketua Umum PW Muhammadiyah Jatim juga merupakan bagian dari tradisi yang sudah lama berkembang di Muhammadiyah, yaitu calon yang mendapat suara terbanyak dalam pemilihan akan ditetapkan sebagai ketua umum. Meskipun sejatinya peraih suara terbanyak tidak harus menjadi ketua umum, hal itu sepenuhnya tergantung pada hasil musyawarah 13 anggota pimpinan terpilih. Ini mengisyaratkan bahwa nilai-nilai demokrasi telah berkembang cukup baik di Muhammadiyah.

Sebagaimana disampaikan oleh Syafiq Mughni (mewakili Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Dien Syamsuddin) pada pidato penutupan musyawarah wilayah bahwa ditampilkannya Thohir sebagai Ketua Umum PW Muhammadiyah Jatim merupakan pilihan yang sangat tepat. Selain karena kemampuan dan pengalamannya di Muhammadiyah yang tidak diragukan lagi, kelebihan Thohir yang lain ialah sikapnya yang tegas. ”Thohir Luth dikenal sebagai buldozer dalam setiap kebijakan Muhammadiyah,” tutur mantan Ketua PW Muhammadiyah Jatim periode 2005-2010.

Mencermati pernyataan Syafiq Mughni, mengisyaratkan bahwa tantangan Muhammadiyah ke depan semakin berat. Karena itu, sangat dibutuhkan sosok pemimpin Muhammadiyah yang tidak saja cerdas dan berpengalaman di Muhammadiyah, namun juga tegas dalam menyikapi berbagai persoalan, utamanya yang mengancam eksistensi Muhammadiyah.

Tantangan Muhammadiyah

Dari sisi internal, secara umum saat ini problem Muhammadiyah ialah berkembangnya pola pikir yang pragmatis di sebagian pimpinan Muhammadiyah, utamanya di tingkat daerah (kabupaten/kota), cabang (kecamatan), dan ranting (desa). Slogan ”terbukanya pintu ijtihad” yang dahulu menjadi ikon gerakan Muhammadiyah kini tampaknya sedang mengalami proses mitologisasi yang akhirnya harapan munculnya gagasan-gagasan besar dari kader Muhammadiyah pun kurang terwujud. Lebih ironis lagi, kemunculan mujtahid-mutjahid muda Muhammadiyah yang dengan segala upayanya untuk menjawab kegersangan ini justru kurang bisa diterima oleh sebagian elite Muhammadiyah dan bahkan cenderung ’dimusuhi’.

Selain itu, harus diakui bahwa tidak sedikit lembaga pendidikan Muhammadiyah -- baik di tingkat dasar, menengah atau tinggi -- yang kurang serius dalam mengajarkan etos pembaharuan Islam warisan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Pengenalan tentang apa dan siapa Muhammadiyah tidak lebih dari syarat formalitas ketika menempuh pendidikan di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Akibatnya, tidak banyak kader Muhammadiyah yang bisa disemai dari amal usaha ini.

Sedang sisi eksternal tantangan Muhammadiyah ialah bagaimana dalam mewujudkan dan memasarkan wacana Islam damai dan moderat. Untuk mewujudkan hal ini, Muhammadiyah tentu tidak bisa berjalan sendiri. Muhammadiyah harus mampu bersinergi dengan institusi Islam lain yang memiliki visi sama, yaitu mewujudkan gerakan kultural untuk Islam damai.

Muhammadiyah juga perlu menciptakan filter yang akurat dan efektif agar tidak terkontaminasi oleh faham-faham ’asing’ yang justru berpotensi menghapus citra Muhammadiyah sebagai organisasi serta gerakan Islam yang moderat, modern, dan pembaharu. Muhammadiyah perlu bersikap tegas dan keras terhadap pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan aset atau Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) untuk kepentingan terselubung dan bertentangan dengan visi-misi Muhammadiyah.

Pendek kata, ada dua hal yang lazim diperankan oleh Thohir selaku Ketua Umum PW Muhammadiyah Jatim. Pertama, menyelesaikan ’warisan’ Syafiq Mughni yang belum sempat terselesaikan. Di antaranya ialah menyelamatkan aset-aset Muhammadiyah yang kini sedang dikuasai oleh sejumlah orang. Selain itu, juga mengikat kembali kader-kader Muhammadiyah yang berserak di beberapa tempat.

Kedua, meminimalkan pengaruh faham ’asing’ yang kontraproduktif dengan cita-cita dan khittah perjuangan Muhammadiyah. Untuk itu, Muhammadiyah perlu membina dan memberi ruang seluas-luasnya bagi berkembangnya pemikiran progresif anak-anak muda Muhammadiyah.

Abd Sidiq NotonegoroAktivis dan Kader Muda Muhammadiyah

1 komentar:

محبّ الدّ ين mengatakan...

semuanya harus beri support pak Thohir