Selasa, 16 November 2010

RSBI, Jangan Cari Muka



Abd Sidiq Notonegoro
Pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik

Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional (RSBI) di Surabaya kembali dievaluasi. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini mengeluarkan keputusan, tidak akan mengucurkan alokasi anggaran untuk RSBI karena beberapa pertimbangan.

Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya menghapus item biaya operasional pendidikan (BOP) untuk RSBI. Penghentian tersebut diakui oleh Rismaharini, sebagai kesengajaan pemerintah kota (pemkot) Surabaya setelah melihat kualitas seluruh RSBI di Surabaya ada di bawah standar.

Salah satu poin yang disorot Risma terkait dengan RSBI adalah rendahnya kualitas guru dalam berbahasa Inggris yang di bawah rata-rata. Padahal standar RSBI, nilai TOEFL guru minimal di atas 300. Kenyataannya masih banyak guru yang belum lancar berbahasa Inggris. Karena itu, Risma mengingatkan, jangan silau dengan nama besar RSBI, yang penting kualitasnya bagus.

Keputusan cukup tegas Risma tersebut memang bisa diterima. Anggaran operasional RSBI di Surabaya yang selama ini digelontorkan cukup besar. Untuk membiayai 10 sekolah berstatus RSBI pemkot mengucurkan Rp 78 miliar. Sungguh mubazir bila anggaran sebesar itu tak sebanding dengan hasil yang didapatkan. Karena itu, siapapun yang memiliki kepedulian terhadap pendidikan yang berkualitas patut memberi dukungan pada Wali Kota Surabaya ini. Penghentian anggaran RSBI bukan sebagai cermin ketidak-berpihakan pemkot terhadap kualitas pendidikan yang unggul. Sebaliknya, sebagai upaya menyadarkan pengelola RSBI, bahwa anggaran besar itu merupakan investasi pendidikan yang harus dijawab dengan kualitas sepadan. Lebih baik bila biaya itu untuk memperbaiki kelas reguler yang selama ini kurang diperhatikan.

Taraf Internasional

Mencermati kebijakan pemkot Surabaya menghentikan anggaran RSBI tersebut patut menjadi contoh bagi kepala daerah kabupaten/kota yang lain untuk melakukan kebijakan serupa. Yaitu mengevaluasi keberadaan RSBI yang rata-rata belum mampu memenuhi target yang semestinya. RSBI selama ini tak lebih dari proyek aji mumpung pelaksana pendidikan untuk mendapat gelontoran dana dari pemerintah, sekaligus membuat standar biaya mahal yang harus ditanggung orangtua siswa yang selama ini terbuai dengan bertaraf internasional.

Semua itu tak lepas dari keawaman orangtua siswa, utamanya yang ada di daerah. Padahal saat ini kelas RSBI sudah merambah ke sekolah-sekolah di pelosok kecamatan. Hanya karena rasa bangga serta rengekan sang anak agar bisa diterima di kelas RSBI, mereka rela membayar di atas rata-rata sekolah reguler. Semua itu tak lepas dari hipnotis sarana kelas RSBI yang terkesan mewah dibanding kelas reguler.

Orangtua mungkin sekadar membayangkan anak-anak mereka akan menerima layanan pendidikan bertaraf internasional dan dalam waktu singkat anak-anak minimal bakal mahir berbahasa Inggris. Nyatanya? Realitas menunjukkan, tak ada bedanya antara kelas RSBI dengan kelas reguler biasa. Sang guru pun kembali pada habitatnya masing-masing, sesuai bidang studi yang menjadi keahliannya. Bahasa pengantar mereka dalam proses belajar-mengajar (kecuali pelajaran bahasa Inggris) tetap menggunakan bahasa Indonesia, yang kadang masih bercampur dengan bahasa Jawa.

Satu hal yang sangat mencolok pembedaannya ialah beban orangtua siswa yang anaknya ada di kelas RSBI terasa lebih berat. Anak-anak mereka tak mungkin mendapat subsidi atau bantuan pendidikan. Seakan telah menjadi dogma, bahwa siap masuk kelas RSBI, harus siap mengeluarkan biaya sendiri sepenuhnya. Kecerdasan anak belum menjadi jaminan mereka harus berada di kelas yang digembar-gemborkan berlevel internasional, bila tak diimbangi dengan kecerdasan finansial orangtua.

Inilah kenyataan yang tak dimungkiri berkaitan dengan RSBI. Terjadi diskriminasi hak untuk pendidikan yang layak benar-benar terpapar nyata. Di tengah harapan masyarakat agar anaknya mendapat pendidikan bertaraf internasional, justru beban biaya disejajarkan dengan standar internasional. Lagi-lagi bukan pendidikan berharga lokal, kualitas internasional. Sebaliknya, harga internasional, kualitas lokal.

Karena itu, kebijakan cerdas Wali Kota Surabaya ini diharapkan dapat menjadi inspirasi bagi kabupaten/kota lainnya untuk melakukan evaluasi serupa. Daerah tak semestinya hanya mengejar penghargaan dari pemerintah pusat untuk disebut sebagai daerah yang sukses dalam meningkatkan kualitas pendidikannya. Pujian semestinya selaras dengan kenyataan yang ada secara riil. Bila dicermati, beberapa daerah yang pernah mendapat penghargaan presiden terkait dengan masalah pendidikan, dalam kenyataannya abu-abu belaka.

Sekolah harus berani menolak menjadi RSBI bila kemampuan yang dimiliki ternyata jauh dari prasyarat ideal RSBI. Jangan silau dengan kucuran anggaran pusat yang Rp 400 juta per tahun, kemudian memaksa diri dan wali siswa untuk menyetor jutaan rupiah agar anaknya bisa duduk di kelas RSBI.

Dibaca: 477

Minggu, 14 November 2010

Bijak dalam Menyikapi Perbedaan Waktu Idul Adha

(Jawa Pos, 15 Nopember 2010)


Abd. Sidiq Notonegoro

Pengajar di Fakultas Agama Islam

Univ. Muhammadiyah Gresik



Kemungkinan tidak serempaknya pelaksanaan perayaan Idul Adha di Indonesia cukup besar. Dan tentu ini bukan hal yang pertamakalinya --- namun ini sudah yang kesekian kalinya ---, termasuk tahun 2010 ini. Sebagaimana diberitakan Jawa Pos (12/11/2010) bahwa pemerintah melalui Kementerian Agama (Kemenag) telah menetapkan Idul Adha jatuh pada tanggal 17 Nopember 2010, sedangkan Muhammadiyah dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) memutuskan merayakan Idul Adha sehari sebelumnya (16/11). Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) pun tidak berbeda dengan pemerintah.

Apa yang menyebabkan terjadinya perbedaan tersebut? Tidak lain karena adanya perbedaan kaidah atau prinsip dalam penentuan tanggal. Dan selama ini minimal ada 2 (dua) metode yang dominan digunakan oleh ormas keagamaan (utamanya Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama) untuk menentukan tanggal di Indonesia, yaitu metode hisab dan metode rukyat.

Hisab adalah melakukan perhitungan untuk mengetahui posisi bulan secara matematis dan astronomis dalam menentukan dimulainya awal bulan pada sistem penanggalan islam (kalender hijriyah). Selain itu, hisab sesungguhnya alat bantu yang validitasnya tidak diragukan lagi untuk mengetahui ”kapan” dan ”dimana” hilal (bulan sabit pertama setelah bulan baru) dapat dilihat. Sedangkan rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni pemunculan bulan sabit yang terlihat pertamakali setelah terjadinya ijtima’ atau bulan baru. Rukyat ini dilakukan setelah matahari terbenam di ufuk barat, dan hilal hanya bisa dilihat setelah matahari tenggelam atau waktu maghrib. Itu pun dengan catatan, yaitu ketika langit berada dalam kondisi cerah (tidak mendung).

Muhammadiyah lebih mengunggulkan metode hisab menggunakan kaidah hisab wujudul hilal diatas ufuk 0 derajat. Dalam kaidah ini, ketinggilan hilal sangat menentukan karena hilal merupakan bulan sabit pertama setelah bulan baru. Berdasarkan kaidah hisab yang digunakan Muhammadiyah, saat bulan terbenam setelah terbenamnya matahari maka malam itu ditetapkan sebagai awal bulan hijriyah tanpa melihat berapapun sudut ketinggian bulan saat matahari terbenam. Berdasar posisi hilal saat matahari terbenam di beberapa bagian wilayah Indonesia maka syarat wujudul hilal sudah terpenuhi untuk seluruh Indonesia.

Berkaitan dengan penetapan Idul Adha, hasil hisab Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menyebutkan bahwa ijtima’ menjelang Zulhijjah 1431 H terjadi pada hari sabtu (6/11) pukul 11.53.04. Dengan demikian 1 Zulhijjah 1431 H jatuh pada hari minggu (7/11) dan hari raya Arafah tanggal 9 Zulhijjah sama dengan hari senin (15/11). Maka Idul Adha 10 Zulhijjah 1431 H jatuh pada selasa (16/11).

Sebaliknya Nahdlatul Ulama (NU) yang menggunakan metode rukyat berpedoman pada kaidah adanya imkanur rukyat dua derajat. Dalam kaidah ini, hilal ’dianggap’ terlihat dan keesokan harinya ditetapkan sebagai awal bulan hijriyah. Yaitu bila matahari terbenam, ketinggilan bulan diatas horison minimal 2 derajat dan jarak lengkung bulan-matahari (sudut elongasi) tidak kurang dari 3 derajat. Atau ketika bulan terbenam, umur bulan tidak kurang dari 8 (delapan) jam selepas konjungsi/ijtima’ berlaku.

Tim Lajnah Falakiyah PBNU yang menghelat rukyat pada tanggal 6-7 Nopember lalu juga menyatakan tidak berhasil melihat bulan dengan mata telanjang (rukyatul hilal fi’li) di beberapa lokasi yang sudah ditetapkan. Dengan demikian bulan Dzulqoidah 1431 H pun digenapkan menjadi 30 hari. Karenanya, tanggal 1 Zulhijjah 1431 H pun menjadi bertepatan dengan tanggal 8 Nopember 2010. Sehingga Idul Adha 10 Zulhijjah jatuh pada hari Rabu (17/11).

Tak Penting Diperdebatkan

Penetapan awal Zulhijjah memang sangatlah penting, karena hal ini terkait dengan ditetapkannya tanggal 9 Zulhijjah sebagai Hari Arafah dan 10 Zulhijjah sebagai hari Raya Idul Adha. Tetapi perlukah dipertanyakan bilamana terjadi pelaksanaan Idul Adha yang tidak bersamaan? Tentunya perbedaan ini tidak perlu dibesar-besarkan dan tidak perlu ada klaim ini yang ”benar” dan itu yang ”salah”. Semuanya harus dikembalikan kepada keyakinan masing-masing kelompok. Terlebih lagi ketetapan tanggal tersebut merupakan hasil ijtihadiyah orang-orang yang memiliki ’kompetensi’ dalam masalah ilmu dan agama.

Marilah kita kembalikan pada Sabda Rasulullah bahwa ”perbedaan adalah rahmat” dan masalah ijtihadiyah sebagaimana yang disabdakan oleh Rasulullah SAW, apabila hasil ijtihad benar, maka baginya 2 (dua) pahala, yaitu pahala karena telah berijtihad dan pahala karena kebenarannya. Dan apabila hasil ijtihad tersebut kurang tepat maka baginya masih ada satu pahala, yaitu pahala dari kesungguhan (ijtihad) dari yang telah dilakukannya.

Sangat diharapkan perbedaan tersebut tidak menjadi persoalan yang terus-menerus diperdebatkan agar pelaksanaan Idul Adha tetap berjalan secara khusu’ dan sakral. Perbedaan ini harus menjadi momentum bagi umat Islam di Indonesia untuk membuktikan kerukunannya dan menumbuhkan kecerdasannya.

Jadikan Motivasi Berkurban

Idul Adha juga cukup dikenal dengan istilah Idul Qur’an atau hari raya kurban. Hal ini tidak lain karena pada hari itu dilakukannya ritual penyembelihan hewan kurban yang kemudian dagingnya dibagi-bagikan kepada orang-orang yang tidak mampu (orang miskin).

Ada 2 (dua) hal yang bisa digali dari pelaksanaan kurban ini. Pertama, meneladani keikhlasan Nabi Ibrahim yang hendak menyembelih putra tercintanya, Nabi Ismail. Dan dari keikhlasan tersebut akhirnya diganti oleh Allah dengan seekor domba yang gemuk. Inilah pelajaran keikhlasan yang sejati. Dan kedua, refleksi untuk menumbuhkan kesadaran akan pentingnya menyembelih nafsu hewani dalam diri. Yaitu sifat rakus, biadab, otoriter, arogan dan sebagainya. Karena nafsu hewani dapat menghancurkan harkat dan martabat seseorang, baik dihadapan sesama manusia dan lebih-lebih dihadapan Allah.

Akhirnya, mudah-mudahan dengan tidak bersamanya hari raya kurban ini semakin melipat-gandakan hewan kurban yang hendak disembelih. Semakin banyaknya hewan kurban yang disembelih, kita harapkan semakin banyak yang ikhlas untuk menyembelih sifat dan nafsu hewaniyah yang bersemayam dalam dirinya.

Selasa, 19 Oktober 2010

Tantangan di Era Thohir Luth


KOMPAS - Senin, 18 Oktober 2010 | 11:09 WIB

Tanpa diduga, akhirnya Prof Dr Thohir Luth menjadi nakhoda Muhammadiyah Jawa Timur untuk periode 2010-2015. Ia menggantikan Prof Dr Syafiq Mughni yang saat ini mendapat peran baru sebagai Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah.

Dengan mengantongi 828 suara, Thohir Luth berhasil melampaui perolehan suara Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Dr Muhadjir Effendi dan Drs Nur Cholis Huda-yang pada tahap pengusulan calon mendapat dukungan terbesar-dengan selisih tujuh suara.

Tampilnya Thohir sebagai Ketua Umum PW Muhammadiyah Jatim juga merupakan bagian dari tradisi yang sudah lama berkembang di Muhammadiyah, yaitu calon yang mendapat suara terbanyak dalam pemilihan akan ditetapkan sebagai ketua umum. Meskipun sejatinya peraih suara terbanyak tidak harus menjadi ketua umum, hal itu sepenuhnya tergantung pada hasil musyawarah 13 anggota pimpinan terpilih. Ini mengisyaratkan bahwa nilai-nilai demokrasi telah berkembang cukup baik di Muhammadiyah.

Sebagaimana disampaikan oleh Syafiq Mughni (mewakili Ketua Umum PP Muhammadiyah Prof Dr Dien Syamsuddin) pada pidato penutupan musyawarah wilayah bahwa ditampilkannya Thohir sebagai Ketua Umum PW Muhammadiyah Jatim merupakan pilihan yang sangat tepat. Selain karena kemampuan dan pengalamannya di Muhammadiyah yang tidak diragukan lagi, kelebihan Thohir yang lain ialah sikapnya yang tegas. ”Thohir Luth dikenal sebagai buldozer dalam setiap kebijakan Muhammadiyah,” tutur mantan Ketua PW Muhammadiyah Jatim periode 2005-2010.

Mencermati pernyataan Syafiq Mughni, mengisyaratkan bahwa tantangan Muhammadiyah ke depan semakin berat. Karena itu, sangat dibutuhkan sosok pemimpin Muhammadiyah yang tidak saja cerdas dan berpengalaman di Muhammadiyah, namun juga tegas dalam menyikapi berbagai persoalan, utamanya yang mengancam eksistensi Muhammadiyah.

Tantangan Muhammadiyah

Dari sisi internal, secara umum saat ini problem Muhammadiyah ialah berkembangnya pola pikir yang pragmatis di sebagian pimpinan Muhammadiyah, utamanya di tingkat daerah (kabupaten/kota), cabang (kecamatan), dan ranting (desa). Slogan ”terbukanya pintu ijtihad” yang dahulu menjadi ikon gerakan Muhammadiyah kini tampaknya sedang mengalami proses mitologisasi yang akhirnya harapan munculnya gagasan-gagasan besar dari kader Muhammadiyah pun kurang terwujud. Lebih ironis lagi, kemunculan mujtahid-mutjahid muda Muhammadiyah yang dengan segala upayanya untuk menjawab kegersangan ini justru kurang bisa diterima oleh sebagian elite Muhammadiyah dan bahkan cenderung ’dimusuhi’.

Selain itu, harus diakui bahwa tidak sedikit lembaga pendidikan Muhammadiyah -- baik di tingkat dasar, menengah atau tinggi -- yang kurang serius dalam mengajarkan etos pembaharuan Islam warisan Kiai Haji Ahmad Dahlan. Pengenalan tentang apa dan siapa Muhammadiyah tidak lebih dari syarat formalitas ketika menempuh pendidikan di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Akibatnya, tidak banyak kader Muhammadiyah yang bisa disemai dari amal usaha ini.

Sedang sisi eksternal tantangan Muhammadiyah ialah bagaimana dalam mewujudkan dan memasarkan wacana Islam damai dan moderat. Untuk mewujudkan hal ini, Muhammadiyah tentu tidak bisa berjalan sendiri. Muhammadiyah harus mampu bersinergi dengan institusi Islam lain yang memiliki visi sama, yaitu mewujudkan gerakan kultural untuk Islam damai.

Muhammadiyah juga perlu menciptakan filter yang akurat dan efektif agar tidak terkontaminasi oleh faham-faham ’asing’ yang justru berpotensi menghapus citra Muhammadiyah sebagai organisasi serta gerakan Islam yang moderat, modern, dan pembaharu. Muhammadiyah perlu bersikap tegas dan keras terhadap pihak-pihak yang sengaja memanfaatkan aset atau Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) untuk kepentingan terselubung dan bertentangan dengan visi-misi Muhammadiyah.

Pendek kata, ada dua hal yang lazim diperankan oleh Thohir selaku Ketua Umum PW Muhammadiyah Jatim. Pertama, menyelesaikan ’warisan’ Syafiq Mughni yang belum sempat terselesaikan. Di antaranya ialah menyelamatkan aset-aset Muhammadiyah yang kini sedang dikuasai oleh sejumlah orang. Selain itu, juga mengikat kembali kader-kader Muhammadiyah yang berserak di beberapa tempat.

Kedua, meminimalkan pengaruh faham ’asing’ yang kontraproduktif dengan cita-cita dan khittah perjuangan Muhammadiyah. Untuk itu, Muhammadiyah perlu membina dan memberi ruang seluas-luasnya bagi berkembangnya pemikiran progresif anak-anak muda Muhammadiyah.

Abd Sidiq NotonegoroAktivis dan Kader Muda Muhammadiyah

Jumat, 08 Oktober 2010

RINTISAN SEKOLAH "BERTARIF" INTERNASIONAL

http://cetak.kompas.com/read/2010/10/08/1641113/rintisan.sekolah.bertaraf.internasional

Oleh Abd Sidiq Notonegoro

Rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI) kembali menuai sorotan. Yudha Cahyawati melalui artikelnya yang berjudul "RSBI dan Kapitalisme Pendidikan" (Kompas edisi Jawa Timur, 4/10) menyorot secara kritis atas berbagai dampak negatif dari diselenggarakannya kelas khusus ini.

Menurut Yudha, konsekuensi dari dibukanya kelas RSBI ialah terjadinya kastanisasi dan diskriminasi terhadap peserta didik. Hanya anak-anak yang lahir dari keluarga berkantong tebal (baca: kaya uang) yang bisa masuk RSBI. Sedangkan yang dari keluarga dengan kondisi ekonomi pas-pasan, masuk kelas RSBI tidak lebih dari sebuah harapan hampa yang sangat tidak mungkin untuk digapai.

Realitas tersebut terjadi tidak dapat dipisahkan dari pola rekrutmen RSBI selama ini yang memang cenderung berpihak pada anak dari keluarga yang berharta. Harapan kelas RSBI dapat ditopang oleh orang-orang kaya memang tidak berlebihan. Karena hanya orang-orang yang berani membayar berapa pun mahalnya yang bisa dimanfaatkan memenuhi kebutuhan atau fasilitas kelas yang dibuat terkesan mewah tersebut, di antaranya air condi-tioning (AC), laboratorium bahasa Inggris, LCD, dan tidak ketinggalan pula setiap siswa bila perlu harus memiliki notebook (laptop).

Lepas dari konsepsi filosofis bahwa didirikannya RSBI sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk meningkatkan kualitas dunia pendidikan agar memiliki daya saing di pentas global, namun dalam tataran praktisnya RSBI cenderung difungsikan secara pragmatis.

Beberapa sekolah saat ini berlomba-lomba untuk mengajukan izin kepada pemerintah untuk diberi kepercayaan mengelola kelas RSBI ini. Padahal tidak sedikit infrastruktur yang dimiliki tidak memungkinkan untuk didirikan RSBI. Namun, mengapa mereka harus memaksakan diri?

Pertama, kelas RSBI memang memiliki tarif yang berbeda dengan kelas reguler. Sebagaimana telah dipaparkan dalam tulisan Yudha, kelas RSBI tidak memungkinkan untuk menampung siswa dari keluarga yang tidak mampu karena tidak mungkin sanggup memenuhi tuntutan finansial yang kian hari kian melangit. RSBI tidak lain sebagai kelas yang "bertarif" (biayanya) internasional, bukan "bertaraf" (capaian kualitas pendidikannya) internasional.

Beberapa waktu lalu, seorang rekan bercerita bahwa anaknya secara akademik dinyatakan layak untuk masuk ke kelas RSBI tersebut. Namun apa daya, untuk bisa menikmati kelas RSBI ternyata tidak sekadar mengandalkan kecerdasan kognitif. Dia dipanggil ke sekolah dan diberi tahu oleh pihak sekolah bahwa untuk bisa masuk di kelas RSBI harus bisa membayar sekian juta rupiah. Semua itu didasarkan pada alasan bahwa ruang RSBI harus ber-AC, ada LCD, menanggung biaya listrik sendiri dan sebagainya.

Kedua, tidak sedikit sekolah yang memaksakan diri untuk membuka jalur RSBI tersebut. Apakah sekolah tersebut memang sudah waktunya dan pantas untuk memiliki kelas RSBI? Ternyata tidak. Namun orientasinya semata-mata menciptakan citra agar banyak calon siswa yang mendaftar ke sekolah tersebut. Inilah yang dalam beberapa forum dan kesempatan penulis menyebutnya RSBI awu-awu. Kata RSBI hanya sebagai penghias spanduk pendaftaran siswa baru. Dalam realitasnya, tidak sedikit sekolah-sekolah yang menawarkan kelas RSBI itu kondisinya sangat tidak layak, meski untuk kelas reguler sekali pun.

Ketiga, seperti yang dinyatakan oleh Yudha bahwa RSBI melahirkan diskriminasi terhadap siswa dalam satu sekolah, tidaklah dapat dibantah. Kelas RSBI pada umumnya mendapatkan pelayanan dan perhatian yang sangat berlebihan, di sisi yang lain kelas reguler mendapatkan perlakuan yang asal-asalan. Anekdot tukang becak "bayar murah kok minta selamat", sepertinya tepat untuk menggambarkan kondisi diskriminasi ini.

Menyikapi fenomena seperti itu, patutlah keberadaan RSBI perlu ditata ulang. Diperlukan regulasi baru untuk menjadikan agar RSBI tidak mengesankan sebagai bentuk kastanisasi dan diskriminasi dalam dunia pendidikan.

Pemerintah perlu membangun sekolah RSBI yang bersifat khusus. Artinya, satu institusi sekolah tidak seharusnya memiliki dua jalur (RSBI dan reguler) yang berpotensi tumbuhnya mentalitas diskriminatif tersebut. RSBI harus berdiri secara utuh, tidak lagi disebut "kelas" tetapi tipe "sekolah". Jadi sekolah RSBI, sekolah yang kapasitas intelegensi siswanya di atas rata-rata. Sedangkan berkaitan dengan pembiayaan, sudah seharusnya orang-orang kaya di negeri ini turut bertanggung jawab. Dengan pengertian, perlu ada subsidi silang dari orang-orang kaya kepada anak-anak cerdas tapi miskin.

Maka, gagasan yang perlu saya lontarkan di sini ialah bagaimana setiap kecamatan atau minimal kabupaten memiliki satu sekolah berkualitas RSBI yang dikelola secara khusus dan terpisah. Jadi tidak perlu lagi setiap sekolah berambisi untuk membuka kelas RSBI. Sekolah RSBI akan tampak nyata sebagai sekolahnya anak-anak yang ber-IQ super, bukan berkekayaan super. Marilah kita ingat kembali jaminan dari UUD 1945 bahwa setiap warga negara mendapatkan hak yang sama atas pendidikan.

Karenanya, RSBI harus menjadi hunian bagi pelajar yang mampu menunjukkan kualitasnya, bukan kaplingan pelajar yang mengandalkan orangtuanya yang berlimpah harta. Abd Sidiq Notonegoro Dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik

Jumat, 10 September 2010

Senin, 30 Agustus 2010

Selamatkan Gresik sebagai Kota Sejarah




Selamatkan Gresik sebagai Kota Sejarah
Senin, 30 Agustus 2010 | 14:13 WIB


Oleh Abd Sidiq Notonegoro

Menurut catatan sejarah, Gresik dikenal sejak abad ke-11 Masehi, ketika telah mampu menempatkan diri sebagai kota pelabuhan (bandar) yang besar dan dikunjungi berbagai pedagang dari mancanegara seperti China, Arab, Gujarat, Persia, dan India. Sejak saat itu pula, Gresik merupakan salah satu pintu utama masuknya Islam ke tanah Jawa. Maka, tidak berlebihan apabila di Gresik ditemukan banyak makam dan situs sejarah bernuansa Islam.

Karena menyimpan banyak situs dan jejak sejarah perjalanan Islam di pulau Jawa, tidak aneh kalau Gresik merupakan salah satu kota tujuan wisata religi. Hampir setiap hari masyarakat dari luar Gresik berduyun-duyun berziarah ke makam-makam tokoh Islam tempo dulu. Mereka umumnya berziarah ke makam Maulana Malik Ibrahim dan Sunan Giri, dua dari sembilan wali di Pulau Jawa yang dikenal dengan sebutan Wali Sanga.

Selain makam-makam kuno, sesungguhnya di beberapa sudut kota Gresik juga masih kita jumpai bangunan-bangunan kuno khas Romawi yang dibangun pada masa penjajahan Belanda. Menurut sejarah, Belanda sebagai penjajah berada di Gresik sejak 1910. Sayangnya, beberapa bangunan kuno yang melambangkan kekokohan Gresik ini tidak terawat baik. Bahkan, tidak sedikit bangunan dihancurkan dan diganti bangunan khas modern-kontemporer. Belum ada upaya penyelamatan yang maksimal dari pemerintah daerah (pemda) Gresik.

Hal ini sebenarnya sungguh ironis. Meski Gresik diketahui sebagai kota tua yang menyimpan kekayaan sejarah yang berlimpah, hingga kini pemerintah Gresik belum memikirkan pentingnya peraturan daerah (perda) cagar budaya untuk melindungi situs-situs sejarah itu dari kepunahan.

Bandingkan dengan Lamongan yang telah lama memiliki perda cagar budaya. Bahkan, kita tidak bisa menutup mata soal beberapa situs sejarah di Gresik justru dirusak sendiri oleh pemerintah demi kepentingan-kepentingan sesaat dan sekadar memenuhi impian modernitas. Pendek kata, Gresik sebagai kota sejarah kerap diabaikan dan ditelantarkan pemerintah.

Mengapa MSI lahir?

Memang harus diakui bahwa tidak 100 persen pemda mengabaikan peninggalan-peninggalan sejarah di Gresik. Namun, hal yang menjadi perhatian pemda hanyalah situs-situs sejarah yang memang sejak awal selalu dikunjungi masyarakat dan mendatangkan keuntungan finansial. Hanya saja kunjungan masyarakat itu pun sebatas karena kaitannya dengan ritus "ziarah kubur", tidak lebih dari itu.

Mencermati apatisme pemerintah yang tampak kurang gigih dalam menjaga, merawat, dan mengeksplorasi jejak-jejak sejarah yang sangat berharga itu, anak-anak muda yang memiliki kepedulian terhadap peninggalan-peninggalan sejarah Gresik akhirnya menampakkan empatinya. Mereka bersepakat membentuk Masyarakat Sejarahwan Indonesia (MSI) di Gresik. MSI Gresik merupakan organisasi di dalam naungan MSI Cabang Jatim.

Karena itu, lahirnya MSI Komisariat Gresik minimal dilatarbelakangi dua hal. Pertama, ungkapan keprihatinan masyarakat Gresik atas sikap pemerintah yang kurang memberikan kepedulian pada penyelamatan situs-situs sejarah di Gresik, baik situs yang terkait dengan jejak sejarah masuknya Islam ke Jawa yang kemudian menjadikan Gresik dikenal sebagai Kota Santri maupun situs-situs yang mencitrakan jejak sejarah perjuangan bangsa dalam menghadapi kaum kolonial Belanda atau Jepang.

Kedua, jawaban dari perasaan aneh sekaligus prihatin terhadap realitas Gresik sebagai kota sejarah yang tidak memiliki komunitas pencinta sejarah.

MSI merupakan organisasi nonpemerintah dan nirlaba sehingga dukungan moril (dan materiil) sangat diharapkan. Satu impian kita, kehadiran MSI di Gresik mampu menjadi terapi moral bagi pemerintah untuk lebih peduli pada situs-situs bersejarah kota Gresik meski situs tersebut tidak menjanjikan keuntungan finansial. Selain itu, hal ini juga dapat menjadi stimulan bagi generasi muda Gresik agar lebih peduli pada peninggalan sejarah yang sangat berharga tetapi tidak terawat.

Akhirnya, mudah-mudahan MSI bukan sekadar organisasi papan nama yang kehidupannya bergantung pada individu (tokoh) tertentu. Namun sebaliknya, kita berharap MSI bisa terus eksis karena memiliki visi dan misi kuat. Selamat datang MSI dan semoga menjadi penggugah penguasa dan masyarakat akan pentingnya menyelamatkan situs sejarah di Gresik meski tidak menghasilkan keuntungan finansial.

Abd Sidiq Notonegoro Dosen di Universitas Muhammadiyah Gresik

Kamis, 01 Juli 2010

Muktamar Seabad Muhammadiyah, 3-8 Juli 2010




Menghidupkan Tradisi Intelektual

Oleh Abd. Sidiq Notonegoro

BUKAN faktor kebetulan bila Muktamar Ke-46 Muhammadiyah ini dilangsungkan di Jogjakarta. Ini sangat berkaitan dengan usia Muhammadiyah yang mencapai seabad. Perhitungan seabad itu didasarkan pada penanggalan Hijriah. Muhammadiyah lahir di Kauman (Jogjakarta) pada 8 Zulhijah 1330 Hijriah.

Jika dipertemukan dengan momentum penyelenggaraan muktamar ke-46 ini, usia Muhammadiyah sesungguhnya telah mencapai bilangan 1 abad 6 bulan. Sebab, 8 Zulhijah 1430 Hijriah jatuh pada 25 November 2009.

Dijadikannya Jogjakarta sebagai tempat muktamar ke-46 ini secara tersirat memberikan pesan agar etos perjuangan KH Ahmad Dahlan -sebagai founding father Muhammadiyah- dan jejak perjuangannya tidak gampang dihapus para ahli warisnya sebagai karya pemikiran serta perjuangan yang brilian.

Sebaliknya, semangat tersebut harus menjadi warisan yang mengkristal dalam sanubari setiap anggota dan atau kader Muhammadiyah. Terlebih bila kita sudi menilik kembali semangat muktamar kali ini yang bertema Muktamar Satu Abad Muhammadiyah: Gerak Melintas Zaman, Dakwah dan Tajdid Menuju Peradaban Utama, sudah cukup jelas hendak dibawa ke mana cita-cita Muhammadiyah tersebut.

Tema itu, selain mencerminkan kebanggaan Muhammadiyah yang sejak 1912 hingga kini masih setia mendampingi masyarakat bangsa Indonesia dalam melintasi zaman (mulai zaman perjuangan kemerdekaan, zaman pergerakan nasional, zaman kemerdekaan, zaman pembangunan, hingga zaman reformasi), juga mencerminkan cita-cita atau harapan ideal untuk menjadikan Muhammadiyah sebagai bagian dari peradaban utama manusia. Muhammadiyah tidak sekadar mendampingi, tapi juga membimbing, mendidik, mengarahkan, serta berupaya menjadikannya sebagai masyarakat utama.

Dalam hal ini, peradaban utama yang dicita-citakan Muhammadiyah, sebagaimana dinyatakan Sekretaris Umum Pimpinan Pusat (Sekum PP) Muhammadiyah Haedar Nashir, adalah terdapatnya keseimbangan dalam kebudayaan masyarakat atau bangsa antara kemajuan rohaniah, intelektual, moral, dan material serta aspek-aspek kebudayaan lain sehingga terjadi kehidupan yang harmonis tapi tetap dinamis. Hanya, menurut catatan Nashir, itu semua masih dalam spektrum idealitas yan sangat membutuhkan kerja-kerja intelektual yang lebih unggul.

Selain masalah tema muktamar, hal yang tidak lazim diabaikan adalah ditetapkannya Jogjakarta sebagai tempat muktamar seabad ini dalam konteks historis. Telah menjadi pengetahuan umum bahwa Muhammadiyah lahir di Jogjakarta pada 8 Zulhijah 1330 Hijriah/18 November 1912. Hal lain lagi adalah menghidupkan kembali semangat pembaruan (tajdid) KH Ahmad Dahlan yang kian hari kian luntur.

Lebih ironis, tidak sedikit warga -bahkan sebagian elite pimpinan- Muhammadiyah yang kehilangan rasa bangga sebagai warga Muhammadiyah. Mereka lebih bangga dicap sebagai kelompok lain, meski tidak jarang kelompok lain itu sedikit banyak merugikan Muhammadiyah.

Kembali Menuju Tajdid Pemikiran

Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) yang ada sekarang sangat banyak dan tersebar hampir di seluruh pelosok Nusantara. Jumlah warga dan kader Muhammadiyah juga telah mencapai puluhan juta jiwa. Itu merupakan aset yang sangat potensial untuk menopang pergerakan Muhammadiyah pada masa depan.

Lembaga pendidikan Muhammadiyah sangat berpeluang mereproduksi kader-kader intelek yang mampu menyumbangkan buah pemikirannya bagi dunia Islam. Semangat pembaruan dan modernisasi gerakan Islam di Indonesia hampir bisa dipastikan berada dalam kendali Muhammadiyah.

Persoalannya, memasuki era reformasi -yang digelindingkan kader Muhammadiyah Amien Rais-, Muhammadiyah justru kehilangan kesempatan untuk mengambil peran. Lima tahun pertama pascareformasi, Muhammadiyah dalam kepemimpinan Buya Syafi'i Ma'arif masih menampakkan sinar terangnya untuk menjadi kawah candradimuka intelektual Islam di Indonesia.

Dalam struktur organisasi Muhammadiyah, bila sebelumnya Majelis Tarjih hanya dikerangkeng dalam persoalan fikih dalam pengertian mikro, kini perannya mulai dikembangkan. Majelis Tarjih kemudian berganti nama menjadi Majelis Tarjih dan Pemikiran Islam yang memiliki tugas tambahan. Yaitu, membantu Pimpinan Persyarikatan dalam mempersiapkan dan meningkatkan kualitas ulama dan mengarahkan perbedaan pendapat/paham dalam bidang keagamaan ke arah yang lebih maslahat. Ada harapan, dengan berubah nama tersebut, dinamika pemikiran Islam berkembang pesat di Muhammadiyah.

Harapan tersebut hampir menjadi kenyataan. Munculnya Abdul Munir Mulkhan, Amin Abdullah, Haedar Nashir, Moeslim Abdurrahman, dan Muhadjir Effendi mampu menggerakkan dinamika pemikiran Islam di Muhammadiyah yang hampir padam. Harapan itu semakin mendekati kenyataan dengan munculnya kader-kader muda Muhammadiyah yang juga memiliki gairah dalam dunia pemikiran Islam. Mereka itu tidak muncul begitu saja, tapi merupakan dampak dari kultur yang sudah dibiakkan para intelektual muslim tersebut.

Anak-anak muda yang saat itu pemikiran-pemikirannya cukup menghidupkan panggung intelektual Islam di Indonesia, antara lain, Zakiyuddin Baidhawy, Abdul Rahim Ghazali, Sukidi, Ahmad Nadjib Burhani, serta Piet Khaidir. Pemikiran anak-anak muda itu menjadi buah bibir dalam ranah nasional.

Benih yang baru tumbuh tersebut kemudian tak terawat dengan baik. Sejak Muktamar Ke-45 Muhammadiyah di Malang pada 2005, mereka kurang mendapat perhatian. Untungnya, secara kultural, anak-anak muda tersebut masih menjalin komunikasi intensif melalui wadah yang dibentuk dengan nama Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM).

Karena itu, Muktamar Seabad Muhammadiyah ini merupakan muktamar pertaruhan dalam menyongsong masa depan. Sebagai gerakan pembaru Islam di Indonesia, Muhammadiyah patut menjadi kawah candradimuka lahirnya pemikir-pemikir besar dalam bidang sosial, filsafat, dan ilmu pengetahuan.

Bila para muktamirin berpikir picik dengan hanya meributkan perbedaan paham dalam soal penafsiran agama, sehingga energi intelektual menguap musnah, tema besar tersebut tidak lebih dari sebuah pepesan kosong yang tidak berarti. (*)

Abd. Sidiq Notonegoro, aktivis PW Pemuda Muhammadiyah Jatim

Kamis, 01 April 2010

Mencermati Raperda Penggalangan Dana

http://www.jawapos.co.id/metropolis/index.php?act=detail&nid=125848


[ Kamis, 01 April 2010 ]

Oleh: Abd. Sidiq Notonegoro, Pengajar di Universitas Muhammadiyah Gresik

Menyikapi maraknya aksi penggalangan dana yang dilakukan berbagai kelompok masyarakat, baik yang dikaitkan dengan adanya peristiwa bencana alam ataupun kegiatan sosial, Pemprov Jatim mengajukan draf rancangan peraturan daerah (raperda) ke DPRD Jatim. Pemprov Jatim berinisiatif mengatur kegiatan penggalangan sumbangan yang kian marak di Jatim tersebut agar tidak disalahgunakan pihak-pihak yang sengaja mengambil keuntungan untuk kepentingan pribadi.

Dalam draf itu, masuk sejumlah pasal yang akan mengatur hal-hal mengenai penggalangan sumbangan. Misalnya, dalam pasal 4 disebutkan, pengumpulan sumbangan harus didasarkan atas asas sukarela, manfaat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Sedangkan pasal 5 terkait dengan tujuan penggalangan dana tersebut, yaitu tidak lepas dari misi sosial, pendidikan, kejasmanian, agama atau kerohanian, dan kebudayaan.

Meski dua unsur di atas sudah dipenuhi, pihak penggalang dana tidak bisa langsung action. Sebab, pasal 8 dalam raperda tersebut menjelaskan bahwa pengumpulan sumbangan dilaksanakan setelah mendapat izin dari gubernur apabila mencakup minimal dua wilayah di Jatim dan masa berlaku dari izin gubernur yang diberikan tidak akan lebih dari tiga bulan serta bisa diperpanjang maksimal satu bulan. Bila ketentuan yang sudah digariskan tersebut tidak dapat dipenuhi, sesuai dengan pasal 19, gubernur akan mengajukan pasal tersendiri, yaitu pasal yang memuat ketentuan pidana.

Terkait dengan ketentuan pidana itu, disebutkan, mereka yang tidak memenuhi ketentuan-ketentuan tersebut dapat diancam dengan hukuman penjara maksimal enam bulan atau denda Rp 50 juta. Termasuk dalam hal ini para penarik sumbangan yang tidak berizin.

Merespons dengan Positif

Munculnya raperda yang mengatur masalah penggalangan sumbangan itu patut diapresiasi dengan positif. Utamanya bagi kelompok masyarakat yang memang selama ini benar-benar melakukan kegiatan penggalangan dana semata-mata untuk kepentingan sosial.

Mengapa demikian? Tidak jarang kegiatan penggalangan dana yang dibangun kelompok masyarakat tersebut dipersepsi negatif. Hal itu tidak lepas dari adanya pihak-pihak yang sengaja membelokkannya untuk memperkaya diri atau kelompok. Ibarat pepatah "mengail di air keruh", pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab itu memanfaatkan penderitaan orang-orang yang tertimpa bencana untuk mengais keuntungan pribadi.

Orang-orang yang penulis maksud menyalahgunakan kegiatan penggalangan dana sosial tersebut adalah para "pengemis" profesional (baca: bukan karena keadaan yang memaksanya untuk mengemis) yang cerdas dalam memodifikasi profesinya agar lebih tampak bermartabat dan sekaligus hasilnya berlipat-lipat -jika dibandingkan dengan mengemis secara konvensional. Juga ada rumor bahwa tidak sedikit dana sumbangan sosial itu yang dimanfaatkan untuk kepentingan dan kegiatan parpol tertentu.

Raperda tersebut tentu tidak memiliki orientasi untuk menghambat kegiatan penggalangan dana demi kepentingan sosial. Sebab, dengan adanya aksi penggalangan dana untuk kepentingan sosial itu, tugas pemerintah dalam bidang sosial cukup terbantu. Sebaliknya, raperda tersebut tampak memendam semangat untuk mengantisipasi -atau minimal mengurangi- penyalahgunaan agar asas manfaat aksi penggalangan dana sosial tepat sasaran. Dan, memang harus diakui, hingga saat ini tidak sulit menemukan praktik-praktik penggalangan dana yang patut dicurigai aspek pemanfaatannya.

Patut Dicurigai

Kalau kita sudi mencermati, berbagai aksi penggalangan dana dengan alasan untuk kegiatan sosial sangat marak selama ini. Utamanya yang lebih dikaitkan dengan kegiatan sosial maupun pendidikan, misalnya untuk panti asuhan dan pesantren. Hingga saat ini masih banyak pencari sumbangan yang berkeliaran dari rumah ke rumah sambil menenteng map yang berisi proposal lusuh. Begitu juga mereka yang dari pagi hingga sore, atau bahkan malam, terus-menerus bertengger di depan anjungan tunai mandiri (ATM). Setiap ada orang yang hendak masuk ATM, serta-merta mereka menyodorkan amplop. Harapan mereka, sekeluar orang itu dari ATM, amplop tersebut dikembalikan dan sekaligus diisi uang.

Belum lagi berkeliarannya sekelompok anak yang berjalan menyusuri trotoar sambil membawa kotak sumbangan bertulisan yayasan tertentu atau untuk pembangunan pesantren, musala, maupun masjid. Anak-anak yang seharusnya punya lebih banyak waktu belajar dan bermain itu justru dimobilisasi pihak-pihak tidak bertanggung jawab untuk berburu materi (uang). Dapat dipastikan, sebagian masa depan anak-anak tersebut sudah terenggut oleh keadaan yang diciptakan pihak-pihak tidak bertanggung jawab itu. Begitu juga halnya tentang maraknya pencari sumbangan yang mengatasnamakan organisasi veteran, HUT Bhayangkara, dan sebagainya.

Karena itu, diperlukan dukungan yang bersifat proaktif dari berbagai pihak. Masyarakat tidak cukup hanya senang dengan adanya raperda tersebut, tetapi perlu mendukungnya secara aktif. Lebih dari itu, juga perlu mendesak DPRD Jatim untuk segera membahas raperda tersebut agar secepatnya dapat diaplikasikan. Aparat pemerintah sendiri, setelah raperda itu berubah menjadi perda, diharapkan tidak menjadi macan ompong.

Mudah-mudahan dengan adanya perda yang mengatur masalah penarikan sumbangan tersebut, kenyamanan masyarakat bisa lebih terjamin. Juga, secara tidak langsung, motivasi masyarakat untuk menyisihkan sebagian rezekinya untuk kepentingan sosial lebih bisa ditingkatkan. Sebab, alasan selama ini sebagian masyarakat tampak ogah-ogahan untuk menginfakkan sebagian kecil rezekinya untuk kemaslahatan bersama adalah adanya ketidakpercayaan terhadap para penghimpun sumbangan sosial tersebut. Akhirnya, raperda itu benar-benar akan memberikan efek jera (shock therapy) bagi para penyalah guna sumbangan untuk sosial. (*/c9/mik)



* HOME
* BERITA UTAMA
* INTERNASIONAL
* POLITIKA
* OPINI
* EKONOMI BISNIS
* SPORTIVO
* METROPOLIS
* EVERGREEN

Senin, 08 Maret 2010

Apa Yang Kau Cari, Pak Amien?

[ Selasa, 09 Maret 2010 ]
http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7
Oleh: Abd. Sidiq Notonegoro

KABAR akan mundurnya Amien Rais dari Partai Amanat Nasional (PAN) dan sekaligus berhasrat untuk kembali memegang kendali Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah sungguh sangat mengejutkan. Semula saya hanya mendengar samar-samar kabar itu dari SMS teman. Karena itu, saya tidak begitu yakin terhadap kabar tersebut dan, menurut saya, menjadi hal yang aneh kalau benar. Namun, setelah membaca berita Jawa Pos (06/03/2010), saya serasa sedang bermimpi pada siang bolong. Ternyata kabar itu benar.

Bagi saya, mundurnya Amien dari posisi ketua Majelis Pertimbangan Partai (MPP) PAN dan ingin kembali memimpin Muhammadiyah merupakan hal yang terkesan sangat dipaksakan dan kurang pas. Alasan bahwa dirinya (Amien) kerap mendapatkan desakan dari warga Muhammadiyah agar kembali berkhidmat di Muhammadiyah tidak lebih sebagai sebuah argumentasi yang klise. Sebaliknya, saya sangat yakin adanya faktor lain yang ''memaksa'' Amien untuk kembali menjadi Ketum PP Muhammadiyah. Bukankah dia sendiri pernah bilang bahwa Muhammadiyah sudah seperti baju yang sempit?

Kecurigaan adanya ''faktor lain'' di balik niat mundurnya Amien memang cukup beralasan. Bukankah MPP PAN hasil Kongres III PAN masih menempatkan dia sebagai ketua MPP PAN untuk masa bakti 2010-2015? Mungkinkah ada silang pandangan antara Amien dan Hatta Rajasa terkait dengan bailout Century? Ataukah ini merupakan strategi politik PAN untuk mendapatkan kembali simpati warga Muhammadiyah? Mengapa pula Amien mau dipilih kembali menjadi ketua MPP PAN kalau memang masih berhasrat untuk kembali menjadi Ketum PP Muhammadiyah?

Karena itu, tidak berlebihan bila beberapa kader Muhammadiyah kurang sreg terhadap manuver Amien menjelang muktamar Muhammadiyah di Jogjakarta tersebut. Ketua PP Pemuda Muhammadiyah Ahmad Rofiq mempertanyakan motif Amien untuk berbalik dari habitat politiknya ke habitat ormas (JP 06/03/2010). Terlebih lagi realitas selama ini, Muhammadiyah cenderung berubah menjadi pragmatis dan kewibawaannya merosot ketika seorang (mantan) politikus memegang kendali. Realitas itu banyak terjadi di tingkat daerah maupun cabang.

Kembalinya Amien yang berhasrat untuk menjadi Ketum PP Muhammadiyah juga seakan menegaskan anggapan bahwa saat ini Muhammadiyah sedang mengalami krisis kader. Dan bila selama ini dinyatakan bahwa pengaderan di Muhammadiyah tidak ada persoalan, maka come back-nya Amien ke Muhammadiyah justru membuat image tidak berjalannya transformasi kader di Muhammadiyah. Dinamika pengaderan di organisasi otonom (ortom) Muhammadiyah seakan menguap begitu saja bila hasrat Amien itu benar-benar hendak diwujudkan.

Bila ingin membesarkan Muhammadiyah, Amien tidak harus menjadi Ketum PP. Amien akan lebih elegan bila berposisi di Dewan Penasihat PP Muhammadiyah bersama tokoh-tokoh senior Muhammadiyah yang lain. Biarlah roda persyarikatan tersebut dikendalikan kader-kader yang lebih muda.

Perlu Sikap Dewasa

Bila benar hasrat come back Amien disebabkan desakan warga Muhammadiyah di daerah-daerah, tidak ada kata lain yang bisa disampaikan kecuali mengajak kembali warga Muhammadiyah untuk berpikir dewasa. Menarik kembali Amien dari panggung nasional ke dalam ruang Muhammadiyah yang sudah penuh sesak itu bukanlah keputusan bijaksana. Memaksa Amien memimpin kembali Muhammadiyah sama dengan mengebiri dan mengerdilkan Amien sebagai kader umat dan kader bangsa.

Semestinya warga Muhammadiyah bisa berpikir jernih bahwa masih banyak stok kader Muhammadiyah -baik di tingkat nasional, wilayah, maupun daerah- yang layak menjadi penerus kepemimpinan di PP Muhammadiyah. Misalnya, Syafiq A. Mughni (ketua umum PW Muhammadiyah Jatim), Ahmad Djainuri (rektor Universitas Muhammadiyah Sidoarjo), Muhadjir Effendi (rektor Universitas Muhammadiyah Malang), Dadang Kahmad (ketua PW Muhammadiyah Jawa Barat), Haidar Nashir (sekretaris umum PP Muhammadiyah periode sekarang), dan masih banyak lagi tokoh muda yang lebih perlu diorbitkan.

Sebaliknya, warga Muhammadiyah semestinya terus mendorong Amien untuk terus berkiprah di pentas nasional dan bahkan internasional di luar Muhammadiyah. Kalau Buya Syafii Ma'arif (mantan Ketum PP Muhammadiyah) mampu tampil sebagai guru bangsa, mengapa Amien tidak bisa? Pikiran-pikiran konstruktif Amien dalam bidang agama, sosial, dan politik masih sangat dibutuhkan masyarakat bangsa ini. Karena itu, warga Muhammadiyah harus legawa melepaskan kadernya untuk bergelut di arena yang lebih luas dan lebih menantang. Harus diakui, popularitas Amien saat ini lumayan meredup dalam pentas nasional jika dibandingkan dengan tokoh-tokoh nasional lainnya.

Dalam hal ini, Amien perlu melihat (alm) KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang juga pernah menjadi ketua umum PB NU. Meski pada akhir hayatnya tidak berada dalam struktur kepemimpinan PB NU, pikiran-pikiran Gus Dur masih berpengaruh signifikan bagi perjalanan NU ke depan. Hal seperti itulah yang sepatutnya dilakukan Amien.

Lepas dari indikasi kepentingan jangka pendek PAN, hasrat Amien untuk menjadi kandidat calon Ketum PP Muhammadiyah juga dicurigai sebagai hasil rekayasa pihak-pihak tertentu untuk menghadang laju calon-calon Ketum PP Muhammadiyah potensial di muktamar kelak. Diharapkan, dengan tampilnya Amien dalam pentas muktamar, kader-kader potensial Muhammadiyah yang hendak bertarung di pentas muktamar menjadi ewuh-pakewuh untuk melanjutkan niatnya.

Karena itu, tidak ada jalan lain bagi warga Muhammadiyah kecuali berpikir logis dalam menatap masa depan. Kader Muhammadiyah yang sudah menjadi kader umat dan bangsa janganlah ditarik balik untuk hanya menjadi kader persyarikatan. Kader Muhammadiyah bukanlah yang seumur hidup menjadi pengurus atau pimpinan Muhammadiyah. Tetapi, yang disebut kader Muhammadiyah ialah yang berkiprah di mana saja, namun rohnya masih roh Muhammadiyah. Jadi, Pak Amien tidak perlu takut tidak diakui sebagai kader Muhammadiyah hanya gara-gara tidak jadi Ketum PP. Muhammadiyah. (*)

*). Abd. Sidiq Notonegoro, aktivis PW Pemuda Muhammadiyah Jatim


Informasi : Pembaca yang ingin menyumbangkan opini atau gagasan, dapat dikirimkan melalui

>>> opini@jawapos.co.id
Harap sertakan foto diri, nomor rekening serta NPWP (kalau ada).

* Minimnya Lagu Anak-Anak
* Episode Sulit Telah Berlalu

HALAMAN KEMARIN

* Menunggu Obama di Jakarta
* Pengobatan Tradisional Jepang
* Nasionalisme Kita Terkikis
* Jelang Kedatangan Sahabat
* KPK Pasca-Tumpak
* Cukup Sistemik Politik
* Kembali ke Nama Ujung Pandang
* Pembelotan Lily Wahid
* Mereformasi Tatib Parlemen
* Siaran Berita Bilingual

* HOME
* BERITA UTAMA
* INTERNASIONAL
* POLITIKA
* OPINI
* EKONOMI BISNIS
* SPORTIVO
* METROPOLIS
* EVERGREEN
* DETEKSI
* SHOW SELEBRITY
* MINGGUAN

Copyright @2008 IT Dept. Jawa Pos
Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia
Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555

Rabu, 17 Februari 2010

RPP SEJARAH

"Jajan" versus Nikah Siri



Agenda Kota | Bursa Kerja | Social Community | Surat Pembaca
Rabu, 17 Februari 2010

Opini
[ Rabu, 17 Februari 2010 ]

Oleh: Abd. Sidiq Notonegoro

SEJAK beredar kabar masalah nikah siri, kawin mut'ah, serta poligami yang tidak dilakukan di hadapan pejabat pencatat nikah telah menjadi bagian dari draf Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang masuk dalam draf Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2010, respons masyarakat pun cukup beragam. Terlebih lagi bila RUU tersebut disahkan, para pelanggar -yaitu pelaku nikah siri, mut'ah, dan poligami- akan dapat dijerat dengan hukum pidana dan bisa dihukum penjara.

Bila Ketua MK Mahfud M.D. sangat setuju dan mendukung sanksi pidana bagi pelaku nikah siri dan mut'ah, berbeda dengan Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim (Jawa Pos,15/2/2010). Menurut Mahfud, praktik nikah siri dan mut'ah telah menimbulkan banyak korban di kalangan perempuan dan anak-anak -karena tidak diakui oleh negara sehingga tidak bisa menjadi ahli waris. Karena itu, perlu ada UU yang melarang praktik nikah siri dan mut'ah. Nikah siri dan mut'ah yang terjadi kerapkali keluar dari konteks ibadah, tetapi semata-mata hanya untuk memenuhi dorongan atau pelampiasan nafsu seksual.

Sebaliknya, menurut Ifdhal Kasim, pasal pidana bagi pelaku mut'ah dan nikah siri dinilai sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Perkawinan merupakan hak privasi dan peran negara hanya untuk melegalkannya. Dalam hal ini negara harus bersifat pasif dan tidak ikut menentukan untuk menghormati hak asasi warga negara. Karena itu, pengajuan RUU tersebut, menurut Ifdhal, sebagai bentuk intervensi negara terhadap wilayah privasi warga negara. Akan banyak keterlibatan negara yang mengkriminalisasikan pelaku yang tidak mencatatkan perkawinan mereka.

Komentar lain datang dari Ketua Pimpinan Wilayah Nahdlatul Ulama (PW NU) Jatim KH Mutawakkil Alallah. Menurut dia, bila RUU tersebut disahkan menjadi UU, sangat mungkin akan ada protes luar biasa dari masyarakat serta timbul azab yang besar. Azab itu bisa terjadi karena hukum negara sudah bertolak belakang dan menentang hukum agama.

Tentang nikah siri dan poligami, KH Mutawakkil tidak setuju bila harus diancam pidana, karena hal itu akan bertentangan dengan syariah -yang karena tidak memberikan ketentuan untuk mencatatkan di instansi pemerintah. Selain itu, nikah siri dan poligami tidak lain adalah salah satu cara untuk menghindari perzinaan. Sedangkan masalah nikah mut'ah, keabsahannya masih menjadi perdebatan di kalangan ulama jika batas waktunya (kontrak) tidak disebutkan dalam akad ijab kabul. Tetapi, bila batas waktunya disebutkan, sesuai madzab Syafi'i, hal itu tidak sah. (Surya, 13/2/2010).

Tentu akan lebih banyak pendukung dan penentang RUU ini sesuai dengan latar belakang pemikiran maupun kepentingan masing-masing. Para pendukung mungkin akan lebih banyak memberikan argumentasi berdasarkan sudut pandang hukum agama dan budaya. Sebaliknya, yang menentang akan lebih dominan menyodorkan fakta sosial dampak buruk dilegalitaskannya perkawinan siri, mut'ah, dan poligami di negeri ini.

Jajan Lebih Aman?

Terlepas dari pro-kontra tersebut, memang ada beberapa pasal klausul dalam draf RUU tersebut yang menarik untuk dicermati. Salah satunya sanksi pelaku nikah siri lebih berat daripada pelaku perzinaan. Pada pasal 143 disebutkan bahwa pelaku yang melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat pencatat nikah akan didenda paling banyak Rp 6 juta atau kurungan paling lama enam bulan, sedangkan pasal 147 menyebutkan bahwa barang siapa yang menghamili perempuan yang belum nikah dan menolak mengawininya akan dipidana paling lama 3 (tiga) bulan penjara.

Ini pasal yang sangat aneh dan berpotensi memantik reaksi keras dari masyarakat agama. Bagaimana mungkin perilaku yang jelas-jelas menunjukkan sikap yang tidak bertanggung jawab terhadap seseorang yang telah dihamilinya mendapat ganjaran hukuman lebih ringan daripada pelaku nikah siri dan atau mut'ah? Manakah di antara keduanya yang secara moral dapat dikatakan lebih bermoral?

Dapat dibayangkan bila pencuri "kehormatan" perempuan hanya mendapatkan hukuman setimpal dengan seorang "pencuri ayam". Padahal, sebaliknya pada pasal 146 ditegaskan bahwa pelaku poligami tanpa izin pengadilan dan mereka yang menceraikan istri tidak di depan pengadilan akan didenda paling banyak Rp 6 juta atau hukuman 6 (enam) bulan penjara.

Mencermati pasal-pasal aneh tersebut seorang teman berseloroh, "akan lebih aman jajan di lokalisasi daripada harus nikah siri, poligami ataupun mut'ah". Dengan kata lain, alih-alih untuk melindungi perempuan dari budaya kekerasan patriarkhi, tetapi justru sebaliknya berpotensi lebih banyak merugikan perempuan itu sendiri.

Yang perlu dipertanyakan, misalnya, mengapa tidak ada pasal yang memberikan sanksi kepada laki-laki yang sudah memiliki istri, tetapi masih suka 'jajan' ke lokalisasi? Bukankah sanksi ini penting untuk melindungi keutuhan rumah tangga?

Akhirnya, secara keseluruhan penulis memandang penting regulasi hukum terkait masalah perkawinan ini. Tetapi, lebih penting dari itu ialah mencermati aspek-aspek keadilan agar tidak merugikan masyarakat, tidak bertentangan dengan roh agama dan sekaligus tidak memberi celah untuk melakukan penyimpangan -misalnya jajan ke lokalisasi- yang berkonotasi melecehkan hukum agama. (*)

*). Abd. Sidiq Notonegoro, p engajar di Fakultas Agama Islam Univ. Muhammadiyah Gresik


Informasi : Pembaca yang ingin menyumbangkan opini atau gagasan, dapat dikirimkan melalui

>>> opini@jawapos.co.id
Harap sertakan foto diri, nomor rekening serta NPWP (kalau ada).

* Politik tanpa Publik
* ir-ok 16/2
* Amal Jariah Anggota Dewan

HALAMAN KEMARIN

* Sekolah Jurnalistik Indonesia
* Mengobati Hati Rakyat
* Isyarat Vonis Kasus Prabangsa
* Eksaminasi Putusan Antasari
* Saatnya Seberani Bung Karno
* Ancaman Krisis Masih Nyata
* Kredit untuk Lulusan SMK
* Petaka di Dunia Maya
* Mencemaskan Kualitas Guru Besar
* Kehati-hatian Pakai Facebook

* HOME
* BERITA UTAMA
* INTERNASIONAL
* POLITIKA
* OPINI
* EKONOMI BISNIS
* SPORTIVO
* METROPOLIS
* EVERGREEN
* DETEKSI
* SHOW SELEBRITY
* MINGGUAN

Copyright @2008 IT Dept. Jawa Pos
Jl. Ahmad Yani 88, Surabaya 60234 Jawa Timur - Indonesia
Phone. (031) 8283333 (Hunting), Fax. (031) 8285555