Rabu, 10 Agustus 2011

Jangan Biarkan Pengemis Kontemporer



RadarSurabaya, 10-08-2011

Abd. Sidiq Notonegoro



Berita RadarSurabaya (5 Agustus 2011) tentang maraknya penipuan berkedok sumbangan untuk panti asuhan patut diapresiasi. Terlebih didalam bulan ramadhan seperti ini, para “pemburu sumbangan” kian massif bergentayangan dimana-mana dan bahkan terkadang tak mengenal waktu. Tidak jarang pula kehadiran mereka itu justru menciptakan keresahan di masyarakat. Bisa dimaklumi, dalam menjalankan aksinya mereka tidak melihat tempat dan waktu.

Banyak modus yang dilakukan para ‘Pak Ogah’ profesional ini. Selain membagi-bagikan amplop kosong di depan restoran, SPBU maupun ATM dengan harapan amplop tersebut diisi uang dan dikembalikan lagi, sampai dengan membawa proposal sambil berkeliling dari rumah ke rumah. Namun pada hakekatnya, mereka hanyalah orang-orang yang bermental pemalas, pengemis atau peminta-minta. Hanya saja, mereka tampak tidak mau susah dalam menjalankan aksinya, dan sekaligus mendapatkan penghasilan yang lebih berlimpah dibanding pengemis konvensional.

Bila pengemis-pengemis biasa memilih penampilan yang memancing rasa iba --- misalnya dengan baju yang lusuh dan ekspresi diri yang dekil penuh penderitaan ---, maka pengemis kontemporer ini justru berpenampilan perlente. Dalam menjalankan aksinya mereka bersepatu, berbaju bagus (bahkan ada yang memakai dasi) dan membawa tas kerja yang keren. Bila pengemis konvensional hanya mengandalkan tengadah tangan atau menggunakan kaleng, maka pengemis kontemporer memakai amplop dan atau proposal.

Karena yang di’jual’ adalah lembaga atau yayasan sosial, para donatur yang tertipu dengan ikhlas memberi uang dengan jumlah yang cukup besar. Bahkan dapat dibilang berkali lipat dibandingkan dengan pengemis yang berpenampilan dekil dan lusuh. Bila untuk pengemis biasa cukup dengan lima ratus perak, maka akan terasa tidak sampai hati atau bahkan malu sendiri bila mengisi amplop dengan uang recehan. Tampaknya para pencatut nama lembaga/yayasan sosial itu faham tentang jiwa kemanusiaan sebagian masyarakat kita.

Menyumbang dengan akal sehat

Menyikapi fenomena pengemis kontemporer itu, semua perlu dikembalikan kepada masyarakat. Masyarakat harus lebih mengedepankan akal sehatnya sebelum memberikan sumbangan atau bantuan, dan menomor-duakan perasaan. Tidak jarang donatur yang tertipu adalah orang-orang yang sangat mudah tersentuh hatinya, tetapi tidak teliti kepada siapa dia memberikan bantuan. Setiap peminta-peminta kemudian secara otomatis diberinya.

Sudah saatnya masyarakat yang biasa memberikan donasi kepada masyarakat miskin atau lembaga sosial untuk berfikir cerdas dan bersikap tegas. Katakan “tidak” untuk para penebar amplop yang biasa nongkrong di ATM, restoran, SPBU atau tempat-tempat tertentu lainnya. Katakan pula “tidak” untuk para pengembara dengan seperangkat proposal bantuan kemanusiaan yang bergerilya dari rumah ke rumah, dari kantor ke kantor.

Alangkah bermanfaatnya bila berbagai dana yang kita orientasikan untuk kemanusiaan disalurkan ke lembaga kemanusiaan yang jelas, mendapatkan ijin dari pemerintah dan dapat dipertanggungjawabkan, misalnya Badan Amil Zakat, Infak dan Shadaqoh (BAZIS) atau Lembaga Amil Zakat, Infak dan Shadaqoh (LAZIS). Selain lembaga atau badan diatas, bisa pula donasi kemanusiaan disalurkan ke lembaga sosial terdekat dengan tempat tinggal sehingga bisa sekaligus mengawasi pemanfaatannya.

Peran tegas pemerintah

Benar bahwa para pengemis kontemporer tersebut tidak memaksa dalam meminta sumbangan. Namun keresahan dan merasa tertipunya masyarakat patut direspon oleh pemerintah melalui aparat yang berwenang. Bila benar apa yang dilakukan para pengemis modern itu ada unsur penipuan, tidak semestinya aparat kepolisian baru bertindak setelah ada laporan dari masyarakat dan bahkan mungkin setelah ada korban. Aparat kepolisian harus lebih pro aktif mencegah agar praktek penipuan dengan kedok sosial ini tidak terus berlanjtu.

Mengapa aparat kepolisian harus pro-aktif? Karena dengan maraknya praktek penipuan semacam ini, maka bukan tidak mungkin lambat-laun syaraf kemanusiaan masyarakat bisa menjadi tumpul dengan menganggap setiap pencari sumbangan adalah penipu. Dan pada akhirnya, bila benar-benar dana kemanusiaan masyarakat dibutuhkan untuk kepentingan sosial, justru tidak mengucur sedikit pun.

Aparat pemerintah harus mempidanakan para pengemis yang berkedok lembaga sosial. Apalagi ada aturan bahwa meminta sumbangan ke masyarakat umum, lembaga atau yayasan sosial harus terlebih dahulu mendapatkan ijin dari dinas sosial.

Mudah-mudahan dengan kepedulian pemerintah untuk lebih bersikap tegas, semangat masyarakat untuk beramal dan berbagi dengan sesamanya dapat terjaga konsistensinya.

Abd. Sidiq Notonegoro

Pengajar di Univ. Muhammadiyah Gresik

Senin, 20 Juni 2011

Radikalisasi Pemberantasan Korupsi



Copyright © 2003 Lampung Post. All rights reserved.
Senin, 20 Juni 2011

Abd. Sidiq Notonegoro, Aktivis Muhammadiyah dan Dosen di Univ. Muhammadiyah Gresik

Tidak dapat dipungkiri lagi, bahaya korupsi telah benar-benar merajalela. Dapat dikatakan negara tidak memiliki daya dan cenderung gagal dalam menghadapi massifnya tindak korupsi yang selalu hadir dalam keseharian bangsa ini. Maka tidaklah berlebihan bila disebutkan bahwa korupsi telah mengalami metamorfosis dari sebuah tindak kejahatan ke sebuah perilaku yang dianggap lazim. Dan akhirnya, tidak ada yang mendebat tatkala dikatakan bahwa korupsi sudah menjadi bagian dari kebudayaan sebagian (pejabat) kita.

Tidak berlebihan bila Ikrar Nusa Bhakti dari LIPI menyatakan bahwa "kultur di Indonesia sudah kultur koruptor. Pelaku korupsi sudah bermuka badak. Mereka tidak malu atau takut melakukan korupsi." Hal ini terjadi karena korupsi pada umumnya merupakan hasil dari persekongkolan antara politikus, pengusaha, dan birokrat. Karena persekongkolan (konspirasi) tersebut, tidak berlebihan bila penanganan tindak kejahatan korupsi selalu menemui jalan buntu. Pemerintah dan lembaga penegakan hukum, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, kejaksaan dan pengadilan tampak disandera oleh mereka sehingga tidak memiliki kekuatan untuk menegakkan keadilan secara tegas.

Memang masih ada orang-orang yang berhati bersih, jujur, dan bermoral, yang memimpikan korupsi di negeri ini sirna. Namun, mengamati fakta dan realita yang ada, entah sampai kapan semua itu masih tetap sebagai mimpi. Hal itu semata-mata karena hingga detik ini belum ada tindakan yang nyata dari pemerintah dengan seluruh institusi penegakan hukumnya untuk menjadikan korupsi sebagai musuh yang benar-benar nyata.

Model Sanksi

Di tengah massif dan sistemiknya perilaku korupsi di negeri ini, diperlukan langkah-langkah ekstrem (radikal) untuk memenggal pelaku dan tindakan korupsi. Apalagi pasti semua sepakat bahwa di mata hukum, tindak korupsi perlu diposisikan sebagai perilaku yang sangat berbahaya karena dapat menghancurkan sumber daya kemanusiaan, sosial dan alam. Juga berpotensi merusak sendi-sendi berbangsa dan bernegara, melemahkan supremasi hukum, dan menggerogoti fondasi pembangunan yang berkelanjutan.

Perlu disadari bersama, bila perilaku korupsi dibiarkan berlarut-larut, akan semakin berpotensi menghancurkan sistem perekonomian bangsa. Dampak yang sangat pasti ditimbulkan sebagai akibat dari pembiaran itu ialah terjadinya penderitaan dan kesengsaraan yang superakut yang bakal dirasakan oleh sebagian besar rakyat dan anak bangsa ini.

Pertama, karena tindak korupsi secara nyata berdampak pada penderitaan dan kesengsaraan rakyat, perlu segera dirumuskan sanksi hukum yang berupa "pemiskinan" terhadap pelaku korupsi. Seluruh harta dan aset—baik yang diperoleh dari tindak korupsi ataupun tidak—di sita oleh negara. Pemiskinan terhadap pelaku korupsi merupakan tindakan yang memenuhi asas keadilan, dan dapat berfungsi sebagai shock therapy bagi individu lain agar tidak melakukan tindak kejahatan korupsi. Melalui mekanisme pemiskinan, pelaku korupsi yang sedang menjalani proses hukum tidak memiliki kemampuan untuk membeli hukum.

Selama ini yang tampak—manakala tidak dilakukan proses pemiskinan terhadap pelaku korupsi—justru sebaliknya. Mereka keluar dari penjara ibarat keluar dari sebuah restoran. Tidak terpersit sedikit pun rasa malu di raut muka mereka, sebaliknya justru menampakkan ekspresi rasa bangganya.

Kedua, korupsi merupakan kejahatan yang dapat diidentikkan dengan kejahatan terorisme dan makar, bahkan lebih berbahaya. Patutlah para penegak hukum—yang masih memiliki moral dan berkomitmen dalam upaya pemberantasan korupsi—di negeri ini berguru ke negeri China yang berani menjatuhkan hukuman maksimal bagi pelaku korupsi, yaitu hukuman mati. Salah satu faktor penyebab tidak adanya efek jera untuk tidak melakukan korupsi di negeri ini, di antaranya karena belum ada satu pun pelaku korupsi yang dijatuhi hukuman mati.

Ketiga, sanksi moral yang berupa kerja sosial sesuai dengan bidang yang dikorupsinya. Misalnya, bila yang menjadi objek korupsi adalah proyek pembangunan jalan, sanksi moralnya bagi sang koruptor ialah kerja sosial dalam pembangunan proyek jalan itu. Bukan sebagai mandor atau pengawas, tetapi tenaga kasar.

Keempat, pemberantasan korupsi secara nyata tidak dapat hanya diatasi dengan pendekatan hukum semata. Pendekatan hukum belum secara nyata mampu memutus akar dan landasan dasar tindakan yang bersifat korup. Maka penghadiran nilai kultural dan agama (religi) patut menjadi pertimbangan tersendiri untuk menekan tindak kejahatan korupsi. Upaya ijtihad hukum yang dilakukan Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) dengan telaah fikihnya memutuskan seorang "koruptor itu kafir" pantas dielaborasi. Organisasi agama yang lain patut mengikuti langkah yang telah ditempuh oleh Muhammadiyah dan NU ini.

Selain memperlakukan koruptor sebagai orang yang tidak beragama, juga perlu dipandang sebagai sampah masyarakat yang layak untuk dijauhi seumur hidupnya. Keluarga koruptor—bila terduga turut andil dalam memotivasi pelaku melakukan korupsi—pun perlu mendapatkan penyikapan yang berbeda dengan masyarakat kebanyakan yang tidak melakukan korupsi.

Perlu Tindakan Ekstrem

Dampak korupsi secara nyata sangat berbahaya bagi masa depan bangsa dan negara. Karena ulah para koruptor, masyarakat yang harus terdera kemiskinan tak berujung akhir. Jurang kesenjangan pun kian melebar, yang kaya makin kaya dan semena-mena sedang yang miskin kian tertindas dan menderita.

Karena itu, tidak ada cara lain untuk mencegah dan memberantas tindak korupsi, kecuali dengan berkomitmen untuk menegakkan hukum setegas-tegasnya dan menghukum para koruptor dengan hukuman yang seberat-beratnya. Perlu adanya sikap yang radikal untuk memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya.

Pendek kata, pemberantasan korupsi di negeri ini tampaknya hanya bisa dijalankan dengan kebijakan pemerintah yang tegas, berani dan tidak pandang bulu. Bukan pemberantasan yang tebang pilih, yang hanya garang mengadili koruptor yang jauh dari lingkar kekuasaan.

Jumat, 28 Januari 2011

Bahaya Laten Terorisme

http://www.blogger.com/img/blank.gif

Oleh: Abd. Sidiq Notonegoro

Jawa Pos, 28/01/2011

SAAT sebagian besar pandangan kita fokus pada masalah Gayus Tambunan, sembilan kebohongan SBY, keluhan SBY yang gajinya tidak naik, hingga crop circle yang misterius, tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menyuguhkan penangkapan tujuh orang yang diduga sebagai anggota jaringan teroris di Sukoharjo dan Klaten, Jawa Tengah. Yang lebih mengejutkan, tujuh tangkapan tersebut masih berusia sangat belia. Rata-rata masih remaja dengan umur 17–21 tahun. Jaringan itu diduga berada di balik teror selama Desember 2010. Di antaranya, memasang bom low explosive di Pasar Kliwon, Solo, dan sebuah gereja.
Lepas dari anggapan apakah itu merupakan upaya aparat kepolisian dalam mengalihkan isu sensitif yang beberapa pekan ini menghajar kredibilitas pemerintah di mata publik terkait dengan tidak kunjung tuntasnya penyelesaian masalah korupsi, yang jelas, penangkapan anggota teroris yang masih berusia belia tersebut patut kita cermati.
Munculnya anggota teroris baru yang masih berusia remaja patut menjadi keprihatinan bersama dan memberikan kesimpulan bahwa pendekatan represif semata tidaklah efektif. Perlu ada cara-cara sistematis untuk memutus mata rantai jaringan terorisme agar tidak terus berkembang dan mengancam sekaligus meresahkan masyarakat.
Alih-alih menyatakan jaringan teroris di negeri ini kian tidak punya harapan untuk berkembang, tertangkapnya anggota teroris yang masih berusia belasan tahun tersebut justru mengindikasikan perkembangan mereka yang semakin signifikan. Lebih dari itu, tujuh orang tersebut diduga juga memiliki kemampuan meracik serta merakit bom. Karena itu, tidak berlebihan bila Mabes Polri pun menduga tujuh tersangka tersebut memiliki benang merah dengan jaringan Dr Azhari, gembong teroris asal Malaysia yang binasa setelah disergap tim Densus 88 pada November 2005 di Malang.
Terbongkarnya kelompok teroris berusia remaja tersebut mengindikasikan telah terjadi pengembangan pola perekrutan anggota baru. Yaitu telah merambah kalangan pelajar dan remaja, kelompok usia yang notabene sedang menjadi jatidiri. Karena itu, perlu peningkatan kewaspadaan dari semua pihak agar ideologi-ideologi teror tidak terus berkembang dan mengkristal ditengah-tengah masyarakat. Terorisme patut dipandang sebagai “bahaya laten” yang terus bergentayangan sehingga perlu selalu diwaspadai. Mengapa demikian? Seperti halnya bahaya laten komunis, terorisme merupakan ancaman yang lebih berbahaya daripada ancaman dari luar yang relatif lebih mudah diidentifikasi.

Menghadang Terorism
Sebagai bahaya laten, terorisme bisa masuk lewat mana saja dan pergerakannya sulit untuk terdeteksi dengan cara biasa. Paling tidak ada 2 (dua) pintu yang relatif paling efektif sebagai pintu masuknya ajaran teror tersebut, yaitu agama dan pendidikan. Namun ada satu ciri yang cukup menonjol dalam doktrin kaum teroris, yaitu mengusung teologi kebencian dan penghancuran.
Mereka memanfaatkan agama sebagai kedok untuk menebar ancaman terhadap kehidupan yang damai. Karena itu, yang lebih fundamental ialah membentengi generasi muda bangsa agar tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi ekstrim radikal yang membahayakan keutuhan bangsa ini. Kristalisasi nilai-nilai kebangsaan perlu lebih ditekankan pada generasi muda dan menegaskan nasionalisme adalah bagian dari perwujudan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perlu ada pola yang sistematis dan komprehensif, utamanya dalam dunia pendidikan untuk menekankan bahwa tindakan teror merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang apapun, utamanya dari perspektif agama. Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan --- atau sekedar melegalitas --- tindakan teror dan kekerasan. Karena hanya orang-orang yang ‘sakit jiwa’ saja yang menganggap tindakan terornya memperoleh restu dari Tuhan.
Pengajaran dan interpretasi agama yang kurang tepat, selain dapat berdampak pada tercerabutnya akar-akar religiusitas dalam diri seseorang, juga dapat membentuk diri seseorang menjadi sangat ekstrim. Ironisnya, tidak sedikit pendidikan agama di sekolah hanya dijalankan dengan ala kadarnya dengan pengetahuan guru agama yang pas-pasan pula. Di sisi lain, tidak sedikit sekolah yang mengabaikan masuknya mentor keagamaan dari luar yang tidak jelas asal usulnya untuk melakukan ’pembinaan’ kepada siswa. Apalagi para mentor itu rela tidak dibayar, sehingga sekolah pun merasa untung. Guru agama pun merasa kian ringan tugasnya dalam mendidik. Inilah yang kemudian menjadi pintu masuk paham terorisme dikalangan pelajar.
Menyusupnya kelompok teroris ke lingkungan pelajar perlu makin diwaspadai. Menurut pandangan pengamat terorisme Al-Chaidar, remaja lebih mudah dibentuk dan mudah dipacu semangatnya untuk menjadi teroris. Teroris bahkan sengaja melakukan perekrutan kepada remaja atau pelajar di kalangan sekolah dan universitas negeri yang pendidikan agamanya rendah. Karena dengan pengetahuan agama yang tidak mendalam itu, membuat mereka menjadi mau menerima doktrin terorisme yang diberikan para perekrutnya (INILAH.COM, 27/01/2011).
Karena itu, untuk meneguhkan kembali tentang potensi ancaman terorisme yang bersumber dari gerakan-gerakan ekstrimisme yang mengagung-agungkan teologi kebencian dan dekonstruksi, kegiatan keagamaan yang mengusung nilai-nilai perdamaian dan humanisme perlu kian digiatkan. Tidak ada jalan terbaik untuk menghadang laju terorisme kecuali dengan pendidikan agama yang baik. Pendidikan agama yang baik ialah pendidikan agama yang mengedepankan pendekatan kritis, dialogis dan tidak merasa paling benar sendiri. Karenanya, harus ada format baru terkait pendidikan agama di sekolah agar lebih efektif dan fungsional.
Pendek kata, semua pihak harus semakin ekstra waspada setelah jaringan terorisme tampak mulai berhasil mempengaruhi kalangan remaja dan pelajar untuk menjadi penebar kematian baru ditengah-tengah masyarakat. (*)

*) Abd. Sidiq Notonegoro, pemerhati masalah sosial.

Rabu, 19 Januari 2011

18 Kebohongan Pemerintah

9 kebohongan lama adalah :
Pertama, pemerintah mengklaim bahwa pengurangan kemiskinan mencapai 31,02 juta jiwa. Padahal dari penerimaan beras rakyat miskin tahun 2010 mencapai 70 juta jiwa dan penerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) mencapai 76,4 juta jiwa.

Kedua, Presiden SBY pernah mencanangkan program 100 hari untuk swasembada pangan. Namun pada awal tahun 2011 kesulitan ekonomi justru terjadi secara masif.

Ketiga, SBY mendoronga terobosan ketahanan pangan dan energi berupa pengembangan varietas Supertoy HL-2 dan program Blue Energi. Program ini mengalami gagal total.

Keempat, Presiden SBY melakukan konferensi pers terkait tragedi pengeboman Hotel JW Mariot. Ia mengaku mendapatkan data intelijen bahwa fotonya menjadis asaran tembak teroris. Ternyata foto tersebut merupakan data lama yang pernah diperlihatkan dalam rapat dengan Komisi I DPR pada tahun 2004.

Kelima, Presiden SBY berjanji menuntaskan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir sebagai a test of our history. Kasus ini tidak pernah tuntas hingga kini.

Keenam, UU Sistem Pendidikan Nasional menuliskan anggaran pendidikan harus mencapai 20% dari alokasi APBN. Alokasi ini harus dari luar gaji guru dan dosen. Hingga kini anggaran gaji guru dan dosen masih termasuk dalam alokasi 20% APBN tersebut.

Ketujuh, Presiden SBY menjanjikan penyelesaian kasus lumpur Lapindo dalam Debat Calon Presiden Tahun 2009. Penuntasan kasus lumpur Lapindo tidak mengalami titik temu hingga saat ini.

Kedelapan, Presiden SBY meminta semua negara di dunia untuk melindungu dan menyelamatkan laut. Di sisi lain Presiden SBY melakukan pembiaran pembuangan limbah di Laut Senunu, NTB, sebanyak1.200 ton dari PT Newmont dan pembuangan 200.000 ton limbah PT Freeport ke sungai di Papua.

Kesembilan, tim audit pemerintah terhadap PT Freeport mengusulkan renegosiasi. Upaya renegosiasi ini tidak ditindaklanjuti pemerintah hingga kini.

Sedangkan 9 kebohongan baru adalah :

Pertama, dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 2010 Presiden SBY menyebutkan bahwa Indonesia harus mendukung kerukunan antarperadaban atau harmony among civilization. Faktanya, catatan The Wahid Institute menyebutkan sepanjang 2010 terdapat 33 penyerangan fisik dan properti atas nama agama dan Kapolri Bambang Hendarwso Danuri menyebutkan 49 kasus kekerasan ormas agama pada 2010.

Kedua, dalam pidato yang sama Presiden SBY menginstruksikan polisi untuk menindak kasus kekerasan yang menimpa pers. Instruksi ini bertolak belakang dengan catatan LBH Pers yang menunjukkan terdapat 66 kekerasan fisik dan nonfisik terhadap pers pada tahun 2010.

Ketiga, Presiden SBY menyatakan akan membekali Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan telepon genggam untuk mengantisipasi permasalahan kekerasan. Aksi ini tidak efektif karena di sepanjang 2010, Migrant Care mencatat kekerasan terhadap TKI mencapai 1.075 orang.

Keempat, Presiden SBY mengakui menerima surat dari Zoelick (Bank Dunia) pada pertengahan 2010 untuk meminta agar Sri Mulyani diizinkan bekerja di Bank Dunia. Tetapi faktanya, pengumuman tersebut terbuka di situs Bank Dunia. Presiden SBY diduga memaksa Sri Mulyani mundur sebagai Menteri Keuangan agar menjadi kambing hitam kasus Bank Century.

Kelima, SBY berkali-kali menjanjikan sebagai pemimpin pemberantasan korupsi terdepan. Faktanya, riset ICW menunjukkan bahwa dukungan pemberantasan korupsi oleh Presiden dalam kurun September 2009 hingga September 2010, hanya 24% yang mengalami keberhasilan.

Keenam, Presden SBY meminta penuntasan rekening gendut perwira tinggi kepolisian. Bahkan, ucapan ini terungkap sewaktu dirinya menjenguk aktivis ICW yang menjadi korban kekerasan, Tama S Langkun. Dua Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jenderal Timur Pradopo, menyatakan kasus ini telah ditutup.

Ketujuh, Presiden SBY selalu mencitrakan partai politiknya menjalankan politik bersih, santun, dan beretika. Faktanya Anggota KPU Andi Nurpati mengundurkan diri dari KPU, dan secara tidak beretika bergabung ke Partai Demokrat. Bahkan, Ketua Dewan Kehomatan KPU Jimly Asshiddiqie menilai Andi Nurpati melakukan pelanggaran kode etik dalam Pemilu Kada Toli-Toli.

Kedelapan, Kapolri Timur Pradopo berjanji akan menyelesaikan kasus pelesiran tahanan Gayus Tambunan ke Bali selama 10 hari. Namun hingga kini, kasus ini tidak mengalami kejelasan dalam penanganannya. Malah, Gayus diketahui telah sempat juga melakukan perjalanan ke luar negeri selama dalam tahanan.

Kesembilan, Presiden SBY akan menindaklanjuti kasus tiga anggota KKP yang mendapatkan perlakuan tidak baik oleh kepolisian Diraja Malaysia pada September 2010. Ketiganya memperingatkan nelayan Malaysia yang memasuki perairan Indonesia. Namun ketiganya malah ditangkap oleh polisi Diraja Malaysia. Sampai saat ini tidak terdapat aksi apapun dari pemerintah untuk nmenuntaskan kasus ini dan memperbaiki masalah perbatasan dengan Malaysia.

Minggu, 02 Januari 2011

Masih Ada Peluang Menang

http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=71480






Rabu, 29 Desember 2010

Tim Nasional (Timnas) Indonesia mencapai antiklimaks. Setelah tidak terkalahkan lima kali berturut-turut dikandang sendiri, pada pertandingan babak final leg pertama melawan Malaysia di Stadion Bukit Jalil (Malaysia) justru menyerah dengan skor 3-0. Peluang memang tidak 100 persen tertutup, Timnas Indonesia masih berpeluang untuk merebut Piala AFF 2010 pada pertandingan leg kedua yang bakal digelar di Gelora Bung Karno pada 29 Desember malam nanti.

Piala AFF 2010 akan menjadi milik Timnas Indonesia, dengan catatan Timnas Indonesia pada pertandingan leg kedua mampu menekuk lutut Malaysia dengan selisih gol minimal 4-0. Adakah kemampuan bagi Indonesia untuk membalas kekalahan dari Malaysia tersebut? Pelatih Indonesia Alfred Riedl menyatakan bahwa Timnas Indonesia masih memiliki peluang 10 persen untuk memenangkan pertandingan.

Entah apa maksudnya dengan peluang Timnas yang tinggal 10 persen tersebut. Apakah semata-mata melecut Timnas Indonesia untuk memiliki mental juara sehingga dapat memenangkan sebuah pertandingan meski waktu yang ada sangat kecil, atau merupakan pernyataan jujur bahwa untuk mengalahkan Malaysia pada pertandingan kedua ini merupakan hal yang sangat berat dan peluang Indonesia benar-benar hanya 10 persen.

Faktor Nonteknis Lepas dari itu, sangat penting untuk dicermati dari pernyataan Alfred Riedl bahwa salah satu faktor penyebab kegagalan Timnas Indonesia untuk memetik kemenangan pada laga pertama pada babak final ini karena hal nonteknis menjelang pertandingan. Faktor nonteknis sebagaimana yang disampaikan oleh Riedl merupakan hal yang sangat logis. Kegiatan doa bersama untuk kemenangan Indonesia merupakan hal yang positif.

Akan tetapi apabila momentum dan cara yang digunakan tidak tepat, bukan tidak mungkin bisa menjadi bumerang. Apakah tidak dapat dilakukan doa dengan tanpa harus kehadiran “Pasukan Garuda” ini? Benarkah dihadirkannya Timnas ke tengah-tengah ritual doa secara otomatis bisa menambah kepercayaan pemain? Sangat tidak masuk akal apa yang dinyatakan oleh orang-orang yang mengaku guru spiritualis salah satu skuad Timnas Indonesia ini.

Misalnya, kekalahan Timnas karena faktor angin dan laut, ahli spiritual yang lain menyebutnya karena faktor alam. Pendek kata, semua itu tidak logis untuk dikaitkan dengan kekalahan Timnas Indonesia ini. Satu hal lagi yang sangat mungkin berpotensi merusak performa permainan Timnas ialah euforia bangsa ini yang sangat berlebihan. Dengan masuknya Timnas Indonesia ke fi nal, seakan-akan predikat juara sudah digenggam.

Terlebih lagi hanya melawan Malaysia yang pada babak penyisihan sempat ditaklukkan oleh Timnas dengan skor telak 5-1. Tidak disadari bahwa euforia tersebut secara psikologis dapat menjadi beban bagi punggawa Garuda tersebut. Timnas menjadi terbebani psikologisnya karena merasa akan dipersalahkan bila kemudian justru menderita kekalahan. Pelatih asal Austria tersebut sebenarnya sudah bertindak tegas, yaitu melarang pasukannya untuk bertemu dengan siapapun menjelang laga. Namun apa dikata, Rield juga manusia yang punya hati.

Kekokohan prinsipnya pun terkadang goyah kala mendapat tekanan-tekanan yang berlebihan dari publik, yang tentu saja dari para pendukung Timnas sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, yang lalu biarlah berlalu. Masih ada 90 menit lagi untuk menjungkir-balikkan keadaan. Meski membutuhkan perjuangan yang lebih berat, Timnas Merah-Putih masih memiliki peluang untuk mengubah takdir.

Mudah-mudahan skuad Timnas tidak terpengaruh dengan cerita-cerita klenik yang dianggap sebagai penyebab kekalahan. Pernyataan Riedl, “inilah sepak bola” perlu diambil hikmah. Kalah menang dalam pertandingan merupakan hal biasa, dan yang utama adalah sportifitas dalam pertandingan. Masih ada 90 Menit Seyogianya skuad Timnas cukup hanya mendengarkan ucapan Riedl saja, bukan yang lain.

Termasuk ucapan yang mengaku guru spiritual atau presiden sekalipun. Meski untuk memetik poin 4-0 pada laga final kedua bukanlah perkara mudah dan membutuhkan kerja keras, yang penting bagaimana pemain dapat berkonsentrasi selama 90 menit dalam pertandingan. Bagi masyarakat, cukuplah kekalahan Timnas pada laga pertama di babak final itu sebagai pelajaran berharga. Bahwa euforia bukanlah hal yang positif, dan sebaliknya bisa menjadi bumerang.

Sehingga bisa diharapkan pada laga yang kedua, mentalitas Timnas bisa kembali bangkit untuk kemudian memenangkan pertandingan. Berdoa untuk kemenangan Timnas merupakan hal yang sangat positif. Namun demikian tidak perlu dipolitisasi dan dipublikasi sedemikian rupa yang menyiratkan kesan seakan-akan hanya kelompok tertentu yang peduli dengan nasib Timnas. Bangsa Indonesia bisa berdoa kapan dan di mana saja, termasuk ketika menyendiri di rumah.

Bahkan ketika sedang menyaksikan pertandingan kedua nanti bisa pula menonton sambil berdoa. Akhirnya, mudah-mudahan dengan kesiapan mental, optimisme yang disuntikkan oleh Riedl kepada pemain, doa dari masyarakat Indonesia, dan janji-janji bonus dari beberapa pejabat, dapat menjadi energi tambahan bagi Pasukan Garuda untuk mempecundangi negeri Malaysia tersebut. Hidup Indonesia. Hidup Timnas.

Penulis adalah Dosen di Univ. Muhammadiyah Gresik & Penikmat Sepakbola, Abdul Sidiq Notonegoro

Mungkinkah Proposal Jasmas "Awu-Awu"?


Selasa, 28 Desember 2010 | 08:31 WIBhttp://www.blogger.com/img/blank.gif

Pencairan dana program Jaring Aspirasi Masyarakat DPRD Surabaya selama reses akhir November akhirnya tidak bisa dipenuhi 100 persen oleh Pemkot Surabaya. Minggu (19/12) merupakan batas akhir penyerahan proposal Jasmas, dari 717 proposal yang masuk. Ironisnya, dari sekian proposal tersebut ternyata tak seluruhnya layak untuk direspons Pemkot Surabaya.

Berdasarkan hasil verifikasi 717 proposal tersebut, hanya 348 proposal yang dinyatakan layak ditindaklanjuti atau dicairkan dananya. Adapun 369 proposal lainnya tidak bisa diterima sehingga dana proposal itu pun dapat dipastikan sulit untuk dicairkan. Dengan demikian, alokasi dana yang semula disediakan sebesar Rp 52 miliar hanya mampu terserap Rp 9,7 miliar.

Menurut Asisten II Sekretariat Kota Surabaya Muhlas Udin, sebagian dari 369 proposal itu ada yang tidak jelas asal-usulnya. Salah satunya, tim verifikasi dari satuan kerja perangkat daerah tidak dapat menemukan alamat pengusul seperti tercantum di proposal. Selain itu, juga ada alamat proposal yang menempati lahan berpotensi sengketa serta proposal yang melebihi plafon yang sudah ditetapkan, yaitu sebesar Rp 1,1 miliar (Kompas Jatim, 21/12/2010).

Tujuan dari verifikasi proposal adalah agar jangan sampai ada proposal yang tidak diketahui pengusulnya dan melanggar undang-undang. Selain itu, juga untuk mendeteksi potensi terjadinya pelanggaran sehingga secara dini pengusul (pembuat proposal) dapat diberi tahu dan dapat memperbaiki proposalnya.

Pendek kata agar program Jasmas ini tidak terjerembap dalam kubangan hukum sebagaimana yang pernah terjadi pada Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) yang menyeret beberapa pejabat dan akademisi di Jatim masuk penjara.

Namun, tampaknya anggota DPRD Surabaya tak begitu saja menyerah dengan tidak lolosnya sebagian proposal yang mereka sodorkan kepada Pemkot. Dewan menggalang hak angket terkait masalah Jasmas ini. Intinya kalangan legislatif menekan pihak eksekutif agar dana Jasmas bisa cair semuanya sebelum tutup tahun anggaran.

Kita berharap Pemkot tidak menyerah dengan ”ancaman” hak angket tersebut. Kegigihan Pemkot melalui cara verifikasi proposal sudah berada dalam alur yang benar, yaitu mencegah terjadinya peluang penyalahgunaan uang rakyat untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu saja. Dan sebenarnya tidak cukup dengan itu, Pemkot seharusnya juga perlu memberikan pembekalan terhadap wakil rakyat yang proposalnya lolos agar benar-benar dapat mempertanggungjawabkan anggaran APBD yang diterimanya itu.

Di antaranya pembekalan tentang aspek hukum bila terjadi penyimpangan, aspek pembuatan laporan, dan sebagainya.

Dengan memberikannya langsung kepada masyarakat pengaju proposal— tanpa harus diwakili anggota DPRD— akan diketahui mana proposal awu-awu, proposal asal buat, proposal yang penting dapat proyek, atau proposal yang karena kebutuhan akan pembangunan.

Makelar proyek

Langkah yang ditempuh Pemkot Surabaya selaku eksekutif sangat tepat sehingga hasil dari pengajuan dana Jasmas oleh legislatif tersebut bisa benar-benar sampai ke masyarakat. Jasmas yang disuarakan oleh legislatif memang sangat tepat bila yang berhak mengambilnya adalah perwakilan masyarakat itu sendiri secara langsung sesuai dengan proposal yang telah diserahkan kepada eksekutif. Sebab, fungsi dari anggota DPRD adalah penyalur suara masyarakat.

Dengan memberikannya secara langsung kepada pengusul proposal, diharapkan tidak ada anggota DPRD yang berperan sebagai makelar proposal. Apalagi sesuai aturan dana Jasmas tersebut harus disalurkan langsung melalui rekening masing-masing perwakilan masyarakat yang mengajukan pembangunan.

Selanjutnya, juga diperlukan peringatan yang tegas agar dana Jasmas tidak mengalami pemotongan-pemotongan secara tidak bertanggung jawab. Cukuplah kasus P2SEM yang banyak menjerumuskan pejabat dan akademisi ke dalam kasus kriminal penyalahgunaan anggaran sebagai pelajaran yang berharga.

Berguru dari sebagian proposal pembangunan dengan sumber anggaran dari dana hibah yang ditolak oleh Pemkot Surabaya, seharusnya DPRD Surabaya bisa memetik hikmah. terutama terkait dengan proposal yang alamat pengusulnya tidak jelas.

Pertanyaannya, mungkinkah ada anggota DPRD Surabaya yang merekomendasi proposal fiktif atau awu-awu? Tentu hal yang aneh bila anggota DPRD asal merekomendasi proposal kepada eksekutif, padahal si pembuat proposal tidak jelas keberadaannya.

Urgensi dari reses Jasmas bagi anggota DPR/D sesungguhnya sebagai sarana komunikasi anggota legislatif kepada konstituennya dengan maksud musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Semua kebutuhan riil masyarakat kemudian diakomodasi untuk selanjutnya disuarakan kepada eksekutif. Dalam hal ini para wakil rakyat tersebut berperan sebagai penghubung antara masyarakat dan eksekutif.

Selanjutnya, biarlah eksekutif menjalankan peran dan fungsinya, dalam hal ini menyeleksi usulan proposal yang layak untuk langsung dicairkan dananya, perlu perbaikan sebelum dana bisa dicairkan dan proposal yang tidak layak untuk ditindaklanjui.

Akhirnya, apa yang dilakukan Pemkot Surabaya dibawa kepimpinan Tri Rismaharini patut menjadi contoh bagi kabupaten/kota lain di Jawa Timur. Wali kota dan atau bupati harus berani ”menentang” usulan anggota DPRD, bahkan ”melawan” ancaman, seperti ancaman interpelasi atau hak angket bila dirasakan sudah berada dalam jalur yang benar.

Abd Sidiq Notonegoro Aktivis PemudaMuhammadiyah Jawa Timur.