Jumat, 28 Januari 2011

Bahaya Laten Terorisme

http://www.blogger.com/img/blank.gif

Oleh: Abd. Sidiq Notonegoro

Jawa Pos, 28/01/2011

SAAT sebagian besar pandangan kita fokus pada masalah Gayus Tambunan, sembilan kebohongan SBY, keluhan SBY yang gajinya tidak naik, hingga crop circle yang misterius, tim Detasemen Khusus (Densus) 88 Antiteror menyuguhkan penangkapan tujuh orang yang diduga sebagai anggota jaringan teroris di Sukoharjo dan Klaten, Jawa Tengah. Yang lebih mengejutkan, tujuh tangkapan tersebut masih berusia sangat belia. Rata-rata masih remaja dengan umur 17–21 tahun. Jaringan itu diduga berada di balik teror selama Desember 2010. Di antaranya, memasang bom low explosive di Pasar Kliwon, Solo, dan sebuah gereja.
Lepas dari anggapan apakah itu merupakan upaya aparat kepolisian dalam mengalihkan isu sensitif yang beberapa pekan ini menghajar kredibilitas pemerintah di mata publik terkait dengan tidak kunjung tuntasnya penyelesaian masalah korupsi, yang jelas, penangkapan anggota teroris yang masih berusia belia tersebut patut kita cermati.
Munculnya anggota teroris baru yang masih berusia remaja patut menjadi keprihatinan bersama dan memberikan kesimpulan bahwa pendekatan represif semata tidaklah efektif. Perlu ada cara-cara sistematis untuk memutus mata rantai jaringan terorisme agar tidak terus berkembang dan mengancam sekaligus meresahkan masyarakat.
Alih-alih menyatakan jaringan teroris di negeri ini kian tidak punya harapan untuk berkembang, tertangkapnya anggota teroris yang masih berusia belasan tahun tersebut justru mengindikasikan perkembangan mereka yang semakin signifikan. Lebih dari itu, tujuh orang tersebut diduga juga memiliki kemampuan meracik serta merakit bom. Karena itu, tidak berlebihan bila Mabes Polri pun menduga tujuh tersangka tersebut memiliki benang merah dengan jaringan Dr Azhari, gembong teroris asal Malaysia yang binasa setelah disergap tim Densus 88 pada November 2005 di Malang.
Terbongkarnya kelompok teroris berusia remaja tersebut mengindikasikan telah terjadi pengembangan pola perekrutan anggota baru. Yaitu telah merambah kalangan pelajar dan remaja, kelompok usia yang notabene sedang menjadi jatidiri. Karena itu, perlu peningkatan kewaspadaan dari semua pihak agar ideologi-ideologi teror tidak terus berkembang dan mengkristal ditengah-tengah masyarakat. Terorisme patut dipandang sebagai “bahaya laten” yang terus bergentayangan sehingga perlu selalu diwaspadai. Mengapa demikian? Seperti halnya bahaya laten komunis, terorisme merupakan ancaman yang lebih berbahaya daripada ancaman dari luar yang relatif lebih mudah diidentifikasi.

Menghadang Terorism
Sebagai bahaya laten, terorisme bisa masuk lewat mana saja dan pergerakannya sulit untuk terdeteksi dengan cara biasa. Paling tidak ada 2 (dua) pintu yang relatif paling efektif sebagai pintu masuknya ajaran teror tersebut, yaitu agama dan pendidikan. Namun ada satu ciri yang cukup menonjol dalam doktrin kaum teroris, yaitu mengusung teologi kebencian dan penghancuran.
Mereka memanfaatkan agama sebagai kedok untuk menebar ancaman terhadap kehidupan yang damai. Karena itu, yang lebih fundamental ialah membentengi generasi muda bangsa agar tidak terpengaruh oleh ideologi-ideologi ekstrim radikal yang membahayakan keutuhan bangsa ini. Kristalisasi nilai-nilai kebangsaan perlu lebih ditekankan pada generasi muda dan menegaskan nasionalisme adalah bagian dari perwujudan keimanan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Perlu ada pola yang sistematis dan komprehensif, utamanya dalam dunia pendidikan untuk menekankan bahwa tindakan teror merupakan tindakan yang tidak dapat dibenarkan dari sudut pandang apapun, utamanya dari perspektif agama. Tidak ada satu pun agama yang mengajarkan --- atau sekedar melegalitas --- tindakan teror dan kekerasan. Karena hanya orang-orang yang ‘sakit jiwa’ saja yang menganggap tindakan terornya memperoleh restu dari Tuhan.
Pengajaran dan interpretasi agama yang kurang tepat, selain dapat berdampak pada tercerabutnya akar-akar religiusitas dalam diri seseorang, juga dapat membentuk diri seseorang menjadi sangat ekstrim. Ironisnya, tidak sedikit pendidikan agama di sekolah hanya dijalankan dengan ala kadarnya dengan pengetahuan guru agama yang pas-pasan pula. Di sisi lain, tidak sedikit sekolah yang mengabaikan masuknya mentor keagamaan dari luar yang tidak jelas asal usulnya untuk melakukan ’pembinaan’ kepada siswa. Apalagi para mentor itu rela tidak dibayar, sehingga sekolah pun merasa untung. Guru agama pun merasa kian ringan tugasnya dalam mendidik. Inilah yang kemudian menjadi pintu masuk paham terorisme dikalangan pelajar.
Menyusupnya kelompok teroris ke lingkungan pelajar perlu makin diwaspadai. Menurut pandangan pengamat terorisme Al-Chaidar, remaja lebih mudah dibentuk dan mudah dipacu semangatnya untuk menjadi teroris. Teroris bahkan sengaja melakukan perekrutan kepada remaja atau pelajar di kalangan sekolah dan universitas negeri yang pendidikan agamanya rendah. Karena dengan pengetahuan agama yang tidak mendalam itu, membuat mereka menjadi mau menerima doktrin terorisme yang diberikan para perekrutnya (INILAH.COM, 27/01/2011).
Karena itu, untuk meneguhkan kembali tentang potensi ancaman terorisme yang bersumber dari gerakan-gerakan ekstrimisme yang mengagung-agungkan teologi kebencian dan dekonstruksi, kegiatan keagamaan yang mengusung nilai-nilai perdamaian dan humanisme perlu kian digiatkan. Tidak ada jalan terbaik untuk menghadang laju terorisme kecuali dengan pendidikan agama yang baik. Pendidikan agama yang baik ialah pendidikan agama yang mengedepankan pendekatan kritis, dialogis dan tidak merasa paling benar sendiri. Karenanya, harus ada format baru terkait pendidikan agama di sekolah agar lebih efektif dan fungsional.
Pendek kata, semua pihak harus semakin ekstra waspada setelah jaringan terorisme tampak mulai berhasil mempengaruhi kalangan remaja dan pelajar untuk menjadi penebar kematian baru ditengah-tengah masyarakat. (*)

*) Abd. Sidiq Notonegoro, pemerhati masalah sosial.

Rabu, 19 Januari 2011

18 Kebohongan Pemerintah

9 kebohongan lama adalah :
Pertama, pemerintah mengklaim bahwa pengurangan kemiskinan mencapai 31,02 juta jiwa. Padahal dari penerimaan beras rakyat miskin tahun 2010 mencapai 70 juta jiwa dan penerima layanan kesehatan bagi orang miskin (Jamkesmas) mencapai 76,4 juta jiwa.

Kedua, Presiden SBY pernah mencanangkan program 100 hari untuk swasembada pangan. Namun pada awal tahun 2011 kesulitan ekonomi justru terjadi secara masif.

Ketiga, SBY mendoronga terobosan ketahanan pangan dan energi berupa pengembangan varietas Supertoy HL-2 dan program Blue Energi. Program ini mengalami gagal total.

Keempat, Presiden SBY melakukan konferensi pers terkait tragedi pengeboman Hotel JW Mariot. Ia mengaku mendapatkan data intelijen bahwa fotonya menjadis asaran tembak teroris. Ternyata foto tersebut merupakan data lama yang pernah diperlihatkan dalam rapat dengan Komisi I DPR pada tahun 2004.

Kelima, Presiden SBY berjanji menuntaskan kasus pembunuhan aktivis HAM Munir sebagai a test of our history. Kasus ini tidak pernah tuntas hingga kini.

Keenam, UU Sistem Pendidikan Nasional menuliskan anggaran pendidikan harus mencapai 20% dari alokasi APBN. Alokasi ini harus dari luar gaji guru dan dosen. Hingga kini anggaran gaji guru dan dosen masih termasuk dalam alokasi 20% APBN tersebut.

Ketujuh, Presiden SBY menjanjikan penyelesaian kasus lumpur Lapindo dalam Debat Calon Presiden Tahun 2009. Penuntasan kasus lumpur Lapindo tidak mengalami titik temu hingga saat ini.

Kedelapan, Presiden SBY meminta semua negara di dunia untuk melindungu dan menyelamatkan laut. Di sisi lain Presiden SBY melakukan pembiaran pembuangan limbah di Laut Senunu, NTB, sebanyak1.200 ton dari PT Newmont dan pembuangan 200.000 ton limbah PT Freeport ke sungai di Papua.

Kesembilan, tim audit pemerintah terhadap PT Freeport mengusulkan renegosiasi. Upaya renegosiasi ini tidak ditindaklanjuti pemerintah hingga kini.

Sedangkan 9 kebohongan baru adalah :

Pertama, dalam Pidato Kenegaraan 17 Agustus 2010 Presiden SBY menyebutkan bahwa Indonesia harus mendukung kerukunan antarperadaban atau harmony among civilization. Faktanya, catatan The Wahid Institute menyebutkan sepanjang 2010 terdapat 33 penyerangan fisik dan properti atas nama agama dan Kapolri Bambang Hendarwso Danuri menyebutkan 49 kasus kekerasan ormas agama pada 2010.

Kedua, dalam pidato yang sama Presiden SBY menginstruksikan polisi untuk menindak kasus kekerasan yang menimpa pers. Instruksi ini bertolak belakang dengan catatan LBH Pers yang menunjukkan terdapat 66 kekerasan fisik dan nonfisik terhadap pers pada tahun 2010.

Ketiga, Presiden SBY menyatakan akan membekali Tenaga Kerja Indonesia (TKI) dengan telepon genggam untuk mengantisipasi permasalahan kekerasan. Aksi ini tidak efektif karena di sepanjang 2010, Migrant Care mencatat kekerasan terhadap TKI mencapai 1.075 orang.

Keempat, Presiden SBY mengakui menerima surat dari Zoelick (Bank Dunia) pada pertengahan 2010 untuk meminta agar Sri Mulyani diizinkan bekerja di Bank Dunia. Tetapi faktanya, pengumuman tersebut terbuka di situs Bank Dunia. Presiden SBY diduga memaksa Sri Mulyani mundur sebagai Menteri Keuangan agar menjadi kambing hitam kasus Bank Century.

Kelima, SBY berkali-kali menjanjikan sebagai pemimpin pemberantasan korupsi terdepan. Faktanya, riset ICW menunjukkan bahwa dukungan pemberantasan korupsi oleh Presiden dalam kurun September 2009 hingga September 2010, hanya 24% yang mengalami keberhasilan.

Keenam, Presden SBY meminta penuntasan rekening gendut perwira tinggi kepolisian. Bahkan, ucapan ini terungkap sewaktu dirinya menjenguk aktivis ICW yang menjadi korban kekerasan, Tama S Langkun. Dua Kapolri, Jenderal Bambang Hendarso Danuri dan Jenderal Timur Pradopo, menyatakan kasus ini telah ditutup.

Ketujuh, Presiden SBY selalu mencitrakan partai politiknya menjalankan politik bersih, santun, dan beretika. Faktanya Anggota KPU Andi Nurpati mengundurkan diri dari KPU, dan secara tidak beretika bergabung ke Partai Demokrat. Bahkan, Ketua Dewan Kehomatan KPU Jimly Asshiddiqie menilai Andi Nurpati melakukan pelanggaran kode etik dalam Pemilu Kada Toli-Toli.

Kedelapan, Kapolri Timur Pradopo berjanji akan menyelesaikan kasus pelesiran tahanan Gayus Tambunan ke Bali selama 10 hari. Namun hingga kini, kasus ini tidak mengalami kejelasan dalam penanganannya. Malah, Gayus diketahui telah sempat juga melakukan perjalanan ke luar negeri selama dalam tahanan.

Kesembilan, Presiden SBY akan menindaklanjuti kasus tiga anggota KKP yang mendapatkan perlakuan tidak baik oleh kepolisian Diraja Malaysia pada September 2010. Ketiganya memperingatkan nelayan Malaysia yang memasuki perairan Indonesia. Namun ketiganya malah ditangkap oleh polisi Diraja Malaysia. Sampai saat ini tidak terdapat aksi apapun dari pemerintah untuk nmenuntaskan kasus ini dan memperbaiki masalah perbatasan dengan Malaysia.

Minggu, 02 Januari 2011

Masih Ada Peluang Menang

http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=71480






Rabu, 29 Desember 2010

Tim Nasional (Timnas) Indonesia mencapai antiklimaks. Setelah tidak terkalahkan lima kali berturut-turut dikandang sendiri, pada pertandingan babak final leg pertama melawan Malaysia di Stadion Bukit Jalil (Malaysia) justru menyerah dengan skor 3-0. Peluang memang tidak 100 persen tertutup, Timnas Indonesia masih berpeluang untuk merebut Piala AFF 2010 pada pertandingan leg kedua yang bakal digelar di Gelora Bung Karno pada 29 Desember malam nanti.

Piala AFF 2010 akan menjadi milik Timnas Indonesia, dengan catatan Timnas Indonesia pada pertandingan leg kedua mampu menekuk lutut Malaysia dengan selisih gol minimal 4-0. Adakah kemampuan bagi Indonesia untuk membalas kekalahan dari Malaysia tersebut? Pelatih Indonesia Alfred Riedl menyatakan bahwa Timnas Indonesia masih memiliki peluang 10 persen untuk memenangkan pertandingan.

Entah apa maksudnya dengan peluang Timnas yang tinggal 10 persen tersebut. Apakah semata-mata melecut Timnas Indonesia untuk memiliki mental juara sehingga dapat memenangkan sebuah pertandingan meski waktu yang ada sangat kecil, atau merupakan pernyataan jujur bahwa untuk mengalahkan Malaysia pada pertandingan kedua ini merupakan hal yang sangat berat dan peluang Indonesia benar-benar hanya 10 persen.

Faktor Nonteknis Lepas dari itu, sangat penting untuk dicermati dari pernyataan Alfred Riedl bahwa salah satu faktor penyebab kegagalan Timnas Indonesia untuk memetik kemenangan pada laga pertama pada babak final ini karena hal nonteknis menjelang pertandingan. Faktor nonteknis sebagaimana yang disampaikan oleh Riedl merupakan hal yang sangat logis. Kegiatan doa bersama untuk kemenangan Indonesia merupakan hal yang positif.

Akan tetapi apabila momentum dan cara yang digunakan tidak tepat, bukan tidak mungkin bisa menjadi bumerang. Apakah tidak dapat dilakukan doa dengan tanpa harus kehadiran “Pasukan Garuda” ini? Benarkah dihadirkannya Timnas ke tengah-tengah ritual doa secara otomatis bisa menambah kepercayaan pemain? Sangat tidak masuk akal apa yang dinyatakan oleh orang-orang yang mengaku guru spiritualis salah satu skuad Timnas Indonesia ini.

Misalnya, kekalahan Timnas karena faktor angin dan laut, ahli spiritual yang lain menyebutnya karena faktor alam. Pendek kata, semua itu tidak logis untuk dikaitkan dengan kekalahan Timnas Indonesia ini. Satu hal lagi yang sangat mungkin berpotensi merusak performa permainan Timnas ialah euforia bangsa ini yang sangat berlebihan. Dengan masuknya Timnas Indonesia ke fi nal, seakan-akan predikat juara sudah digenggam.

Terlebih lagi hanya melawan Malaysia yang pada babak penyisihan sempat ditaklukkan oleh Timnas dengan skor telak 5-1. Tidak disadari bahwa euforia tersebut secara psikologis dapat menjadi beban bagi punggawa Garuda tersebut. Timnas menjadi terbebani psikologisnya karena merasa akan dipersalahkan bila kemudian justru menderita kekalahan. Pelatih asal Austria tersebut sebenarnya sudah bertindak tegas, yaitu melarang pasukannya untuk bertemu dengan siapapun menjelang laga. Namun apa dikata, Rield juga manusia yang punya hati.

Kekokohan prinsipnya pun terkadang goyah kala mendapat tekanan-tekanan yang berlebihan dari publik, yang tentu saja dari para pendukung Timnas sendiri. Nasi sudah menjadi bubur, yang lalu biarlah berlalu. Masih ada 90 menit lagi untuk menjungkir-balikkan keadaan. Meski membutuhkan perjuangan yang lebih berat, Timnas Merah-Putih masih memiliki peluang untuk mengubah takdir.

Mudah-mudahan skuad Timnas tidak terpengaruh dengan cerita-cerita klenik yang dianggap sebagai penyebab kekalahan. Pernyataan Riedl, “inilah sepak bola” perlu diambil hikmah. Kalah menang dalam pertandingan merupakan hal biasa, dan yang utama adalah sportifitas dalam pertandingan. Masih ada 90 Menit Seyogianya skuad Timnas cukup hanya mendengarkan ucapan Riedl saja, bukan yang lain.

Termasuk ucapan yang mengaku guru spiritual atau presiden sekalipun. Meski untuk memetik poin 4-0 pada laga final kedua bukanlah perkara mudah dan membutuhkan kerja keras, yang penting bagaimana pemain dapat berkonsentrasi selama 90 menit dalam pertandingan. Bagi masyarakat, cukuplah kekalahan Timnas pada laga pertama di babak final itu sebagai pelajaran berharga. Bahwa euforia bukanlah hal yang positif, dan sebaliknya bisa menjadi bumerang.

Sehingga bisa diharapkan pada laga yang kedua, mentalitas Timnas bisa kembali bangkit untuk kemudian memenangkan pertandingan. Berdoa untuk kemenangan Timnas merupakan hal yang sangat positif. Namun demikian tidak perlu dipolitisasi dan dipublikasi sedemikian rupa yang menyiratkan kesan seakan-akan hanya kelompok tertentu yang peduli dengan nasib Timnas. Bangsa Indonesia bisa berdoa kapan dan di mana saja, termasuk ketika menyendiri di rumah.

Bahkan ketika sedang menyaksikan pertandingan kedua nanti bisa pula menonton sambil berdoa. Akhirnya, mudah-mudahan dengan kesiapan mental, optimisme yang disuntikkan oleh Riedl kepada pemain, doa dari masyarakat Indonesia, dan janji-janji bonus dari beberapa pejabat, dapat menjadi energi tambahan bagi Pasukan Garuda untuk mempecundangi negeri Malaysia tersebut. Hidup Indonesia. Hidup Timnas.

Penulis adalah Dosen di Univ. Muhammadiyah Gresik & Penikmat Sepakbola, Abdul Sidiq Notonegoro

Mungkinkah Proposal Jasmas "Awu-Awu"?


Selasa, 28 Desember 2010 | 08:31 WIBhttp://www.blogger.com/img/blank.gif

Pencairan dana program Jaring Aspirasi Masyarakat DPRD Surabaya selama reses akhir November akhirnya tidak bisa dipenuhi 100 persen oleh Pemkot Surabaya. Minggu (19/12) merupakan batas akhir penyerahan proposal Jasmas, dari 717 proposal yang masuk. Ironisnya, dari sekian proposal tersebut ternyata tak seluruhnya layak untuk direspons Pemkot Surabaya.

Berdasarkan hasil verifikasi 717 proposal tersebut, hanya 348 proposal yang dinyatakan layak ditindaklanjuti atau dicairkan dananya. Adapun 369 proposal lainnya tidak bisa diterima sehingga dana proposal itu pun dapat dipastikan sulit untuk dicairkan. Dengan demikian, alokasi dana yang semula disediakan sebesar Rp 52 miliar hanya mampu terserap Rp 9,7 miliar.

Menurut Asisten II Sekretariat Kota Surabaya Muhlas Udin, sebagian dari 369 proposal itu ada yang tidak jelas asal-usulnya. Salah satunya, tim verifikasi dari satuan kerja perangkat daerah tidak dapat menemukan alamat pengusul seperti tercantum di proposal. Selain itu, juga ada alamat proposal yang menempati lahan berpotensi sengketa serta proposal yang melebihi plafon yang sudah ditetapkan, yaitu sebesar Rp 1,1 miliar (Kompas Jatim, 21/12/2010).

Tujuan dari verifikasi proposal adalah agar jangan sampai ada proposal yang tidak diketahui pengusulnya dan melanggar undang-undang. Selain itu, juga untuk mendeteksi potensi terjadinya pelanggaran sehingga secara dini pengusul (pembuat proposal) dapat diberi tahu dan dapat memperbaiki proposalnya.

Pendek kata agar program Jasmas ini tidak terjerembap dalam kubangan hukum sebagaimana yang pernah terjadi pada Program Penanganan Sosial Ekonomi Masyarakat (P2SEM) yang menyeret beberapa pejabat dan akademisi di Jatim masuk penjara.

Namun, tampaknya anggota DPRD Surabaya tak begitu saja menyerah dengan tidak lolosnya sebagian proposal yang mereka sodorkan kepada Pemkot. Dewan menggalang hak angket terkait masalah Jasmas ini. Intinya kalangan legislatif menekan pihak eksekutif agar dana Jasmas bisa cair semuanya sebelum tutup tahun anggaran.

Kita berharap Pemkot tidak menyerah dengan ”ancaman” hak angket tersebut. Kegigihan Pemkot melalui cara verifikasi proposal sudah berada dalam alur yang benar, yaitu mencegah terjadinya peluang penyalahgunaan uang rakyat untuk kepentingan individu atau kelompok tertentu saja. Dan sebenarnya tidak cukup dengan itu, Pemkot seharusnya juga perlu memberikan pembekalan terhadap wakil rakyat yang proposalnya lolos agar benar-benar dapat mempertanggungjawabkan anggaran APBD yang diterimanya itu.

Di antaranya pembekalan tentang aspek hukum bila terjadi penyimpangan, aspek pembuatan laporan, dan sebagainya.

Dengan memberikannya langsung kepada masyarakat pengaju proposal— tanpa harus diwakili anggota DPRD— akan diketahui mana proposal awu-awu, proposal asal buat, proposal yang penting dapat proyek, atau proposal yang karena kebutuhan akan pembangunan.

Makelar proyek

Langkah yang ditempuh Pemkot Surabaya selaku eksekutif sangat tepat sehingga hasil dari pengajuan dana Jasmas oleh legislatif tersebut bisa benar-benar sampai ke masyarakat. Jasmas yang disuarakan oleh legislatif memang sangat tepat bila yang berhak mengambilnya adalah perwakilan masyarakat itu sendiri secara langsung sesuai dengan proposal yang telah diserahkan kepada eksekutif. Sebab, fungsi dari anggota DPRD adalah penyalur suara masyarakat.

Dengan memberikannya secara langsung kepada pengusul proposal, diharapkan tidak ada anggota DPRD yang berperan sebagai makelar proposal. Apalagi sesuai aturan dana Jasmas tersebut harus disalurkan langsung melalui rekening masing-masing perwakilan masyarakat yang mengajukan pembangunan.

Selanjutnya, juga diperlukan peringatan yang tegas agar dana Jasmas tidak mengalami pemotongan-pemotongan secara tidak bertanggung jawab. Cukuplah kasus P2SEM yang banyak menjerumuskan pejabat dan akademisi ke dalam kasus kriminal penyalahgunaan anggaran sebagai pelajaran yang berharga.

Berguru dari sebagian proposal pembangunan dengan sumber anggaran dari dana hibah yang ditolak oleh Pemkot Surabaya, seharusnya DPRD Surabaya bisa memetik hikmah. terutama terkait dengan proposal yang alamat pengusulnya tidak jelas.

Pertanyaannya, mungkinkah ada anggota DPRD Surabaya yang merekomendasi proposal fiktif atau awu-awu? Tentu hal yang aneh bila anggota DPRD asal merekomendasi proposal kepada eksekutif, padahal si pembuat proposal tidak jelas keberadaannya.

Urgensi dari reses Jasmas bagi anggota DPR/D sesungguhnya sebagai sarana komunikasi anggota legislatif kepada konstituennya dengan maksud musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang). Semua kebutuhan riil masyarakat kemudian diakomodasi untuk selanjutnya disuarakan kepada eksekutif. Dalam hal ini para wakil rakyat tersebut berperan sebagai penghubung antara masyarakat dan eksekutif.

Selanjutnya, biarlah eksekutif menjalankan peran dan fungsinya, dalam hal ini menyeleksi usulan proposal yang layak untuk langsung dicairkan dananya, perlu perbaikan sebelum dana bisa dicairkan dan proposal yang tidak layak untuk ditindaklanjui.

Akhirnya, apa yang dilakukan Pemkot Surabaya dibawa kepimpinan Tri Rismaharini patut menjadi contoh bagi kabupaten/kota lain di Jawa Timur. Wali kota dan atau bupati harus berani ”menentang” usulan anggota DPRD, bahkan ”melawan” ancaman, seperti ancaman interpelasi atau hak angket bila dirasakan sudah berada dalam jalur yang benar.

Abd Sidiq Notonegoro Aktivis PemudaMuhammadiyah Jawa Timur.