Sabtu, 28 November 2009

MENYEMBELIH SIFAT HEWANIYAH

http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=showpage&kat=7

Jumat, 13 November 2009

Kepahlawanan Era Kontemporer

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=239667

Oleh Abd. Sidiq Notonegoro

Rabu, 11 Nopember 2009

Pertempuran tanggal 10 November 1945 di Surabaya yang menelan korban jiwa lebih dari 10.000 pemuda pejuang merupakan peristiwa heroik yang tidak pantas dilupakan. Pertempuran itu menjadi pertanda bahwa masyarakat Surabaya khususnya dan bangsa Indonesia pada umumnya telah tertekad bulat untuk menentang kembali hadirnya kekuatan imperialisme setelah republik ini diproklamasikan oleh Soekarno dan Hatta pada tanggal 17 Agustus 1945 di Jakarta.

Pada tanggal 10 November 1945 itu, segenap kaum muda yang pada saat itu ada di Surabaya bersatu padu dengan semangat membara mengangkat senjata demi mempertahankan kemerdekaan dan kehormatan bangsa. Itu juga merupakan jawaban kaum muda di Surabaya pada saat itu atas ultimatum Inggris bahwa warga Surabaya tidak bisa diatur-atur oleh bangsa asing. Karena itu, pada saat itu semboyan kaum muda Surabaya adalah "merdeka atau mati".

Untuk mengenang kisah heroik tersebut, maka setiap tanggal 10 November dilakukan peringatan-peringatan seremonial yang bertajuk Hari Pahlawan. Karyawan-karyawan hotel, restoran, pegawai instansi pemerintahan, dan instansi lainnya tidak sedikit yang didandani dengan pakaian-pakaian pejuang 45. Mereka pun (sebagian) wajib mengikuti upacara Hari Pahlawan.

Pertanyaannya sekarang, masih relevankah peringatan seremonial semacam itu? Mungkin, kalau berkaitan dengan upacara, kita tidak terlalu mempersoalkan. Akan tetapi, bagaimana dengan seremoni-seremoni lainnya yang kerap kali justru mengorbankan kepentingan masyarakat banyak? Benarkah "seremonialisme" Hari Pahlawan merupakan bagian "terpenting" dari menghargai jasa para pejuang tempo dulu?

Diakui atau tidak, ada nuansa feodalisme golongan berkaitan dengan Hari Pahlawan. Seakan-akan mereka yang mampu memaksa Inggris "angkat kaki" dari Surabaya pada tahun 1945 tersebut adalah golongan yang paling berjasa terhadap Kota Surabaya. Sedangkan generasi berikutnya kerap kali dipandang sebagai generasi yang sekadar menerima "nikmat"-nya saja.

Perlu disadari bersama bahwa kemerdekaan negeri ini tidak cukup hanya direbut dan dipertahankan secara fisik. Lebih dari itu, untuk menjaga eksistensi kemerdekaan, maka dibutuhkan ahli-ahli waris yang berkualitas agar mampu mengeksplorasi (bukan mengeksploitasi) kemerdekaan ini dengan hal-hal yang lebih bermakna. Kita patut merenungkan pepatah "mencipta/membuat lebih mudah daripada menjaga". Dengan kata lain, merebut kemerdekaan tidak lebih penting dari mempertahankan dan mengisi kemerdekaan.

Sejujurnya, saya sebagai kaum muda kadang-kadang kecewa dan bahkan "sakit hati" ketika ada yang mengatakan bahwa kaum muda sekarang hanya menerima enaknya buah kemerdekaan, dan tidak merasakan pahit-getirnya dalam perjuangan di medan pertempuran. Kerap kali saya terpaksa harus berbicara arogan karena banyak orangtua yang hanya bisa melahirkan, tetapi tidak mampu merawat dengan baik apa yang dilahirkan.

Sebagai golongan muda, saya katakan, adalah hal yang irasional apabila seremoni berkaitan dengan peringatan hal apa pun dari masa lalu (termasuk Hari Pahlawan) dilaksanakan dengan cara-cara yang berlebihan. Sebab, hal-hal seremonial tersebut tidak lebih dari hal yang simbolik, yang belum tentu bersumber pada hati yang bersih.

Ini tidak berarti bahwa kegiatan seremonial berkaitan dengan Hari Pahlawan tidak penting. Tetapi, mestinya kegiatan seremonial tersebut tidak dilakukan secara berlebihan sehingga seakan-akan menimbulkan kultus generasi bahwa generasi tua lebih penting daripada generasi muda. Cukuplah seremoni dilakukan secara sederhana, dan tidak menghambur-hamburkan uang sebagai bentuk ucapan "terima kasih" atas perjuangan mereka tempo dulu dan sekaligus sebagai simbol pengikraran diri untuk bertekad menjadi "pengisi" kemerdekaan yang sudah diraih.

Bagi kaum pejuang kemerdekaan, peringatan Hari Pahlawan semestinya dijadikan momentum penyerahan tanggung jawab secara penuh kepada kaum muda yang menjelma menjadi kaum "pengisi kemerdekaan". Jadi, bukan sekadar penyerahan "setengah hati". Apa pun alasannya, saat ini sudah semestinya menjadi era kaum muda sepenuhnya.

Mempertahankan dan mengisi kemerdekaan tidak cukup hanya bermodalkan semangat heroisme. Masa sekarang ini berbeda dengan masa 62 tahun yang lalu, masa yang cukup dengan semangat berkobar dan rela berkorban; masa yang hanya memberikan pilihan "merdeka atau mati", tidak ada yang lain.

Era pengisian kemerdekaan tidak cukup hanya dengan keberlimpahruahan semangat heroisme dan kerelaan mengorbankan harta dan nyawa. Lebih dari itu, mengisi kemerdekaan dibutuhkan generasi-generasi yang berkualitas, baik secara mental, moral maupun intelektual.

Pada era kontemporer seperti saat ini, kaum muda sudah saatnya merevisi semboyan tersebut menjadi "merdeka dan tetap hidup". Sebab, hanya dengan "tetap hidup" itulah kemerdekaan akan bisa dijaga dan dipertahankan. Kemerdekaan bukanlah wadah hampa yang hanya layak disimpan di dalam ruang museum. Kemerdekaan haruslah benar-benar mengejawantah dalam kehidupan di masyarakat secara riil.

Akhirnya, dengan peringatan 62 tahun Surabaya sebagai Kota Pahlawan, inilah momentum para elite politik dan penguasa untuk melepaskan diri dari belenggu budaya seremonial. Kini saatnya kelompok elite ini membuktikan diri di hadapan para mantan perebut kemerdekaan sebagai generasi yang benar-benar bertanggung jawab dalam mengisi kemerdekaan. Jadi, bukan justru membodohi para "kaum tua" dengan ragam seremoni yang tanpa makna.

Buktikan bahwa terusirnya imperalisme Inggris dari Surabaya merupakan titik terakhir imperialisme di bumi Surabaya. Artinya, bukan sekadar peralihan dari setelah dijajah bangsa asing beralih di jajah oleh bangsa (aristokrat) sendiri.***

Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah (JIMM)


--------------------------------------------------------------------------------
Politik | Hukum | Ekonomi | Metropolitan | Nusantara | Internasional | Hiburan | Humor | Opini | About Us

Rabu, 28 Oktober 2009

Menanti Kembali Kiprah Pemuda

http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009102906211762

Pemuda Indonesia pernah berperan besar dalam memberikan andil dalam pendirian dan pembangunan bangsa ini. Tidak berlebihan kalau 28 Oktober 1928 dijadikan tonggak untuk memberikan penghargaan terhadap kaum muda yang kini kita kenal dengan Sumpah Pemuda. Di dalam Sumpah Pemuda tersebut terukir kalimat-kalimat yang penuh dengan semangat idealisme, ideologisme, dan sekaligus nasionalisme.

Tanpa keberanian kaum muda untuk membongkar konstruksi fanatis-sektarianisme yang telah lama membelenggu mentalitas kaum tua bangsa ini pada saat itu, mungkin umur bangsa Indonesia dalam kangkangan kaum penjajah akan lebih lama lagi. Akan tetapi karena keberanian kaum muda untuk mendobrak "kebebalan tradisi" tersebut, akhirnya, impian, dan cita-cita dapat terumuskan dan akhirnya terwujud dalam bentuk praktisnya, yaitu kemerdekaan.

Memperhatikan kisah sejarah pemuda di tahun 1928 tersebut, tentu kita layak berkesimpulan bahwa sesungguhnya mereka bukanlah pemuda biasa-biasanya. Dengan kata lain, mereka adalah anak-anak muda yang sudah memahami akan arti harkat dan martabat hidup dalam bingkai kemerdekaan. Idealisme menjadi modal utama mereka untuk melakukan sebuah tindakan dan gerakan yang dipandang penting dan mampu menciptakan sejarah.

Jika kita tarik dalam perspektif kekinian, idealisme semacam itu tampak hanya sebagai fosil sejarah semata. Diakui atau tidak memang tidak banyak (bukan "tidak ada") kaum muda ini yang memiliki kepedulian yang tinggi terhadap nasib masyarakat bangsanya. Mereka kerap lebih mengutamakan kepentingan (yang sesungguhnya tidak penting) pribadinya sendiri. Kaum muda relatif tampak apatis terhadap persoalan publik, dan yang seakan-akan bukanlah menjadi persoalan pribadinya.

Sumber Masalah

Melunturnya etos nasionalisme dan humanisme kaum muda terhadap berbagai persoalan sosial-kebangsaan dan kemasyarakatan beberapa dekade terakhir ini tidaklah sportif kalau hanya "kaum muda" yang harus tertimpa tudingan sebagai pihak yang salah. Ada beberapa faktor yang turut memberikan konstribusi dalam menghancuran mental nasionalism-humanis kaum muda. Pertama, hilangnya alat pemersatu yang dapat menghimpun kaum muda dalam satu tujuan. Organisasi-organisasi kepemudaan--yang dulu dikenal sebagai media kaum muda mengasah dan menumbuhkan semangat nasionalisme dan kebangsaan--kini lebih banyak dikangkangi individu-individu yang ingin menjadikannya sebagai kendaraan politik.

Kedua, rendahnya kepercayaan masyarakat (baca: kaum tua) terhadap kaum muda. Hal ini terlihat dari masih dominannya kaum tua di dalam memegang dan mengendalikan berbagai kepentingan publik yang sebenarnya sudah saatnya "tongkat estafet"-nya diserahkan kepada kaum muda. Dan sebaliknya, justru kaum muda hanya dijadikan objek kepentingan kaum tua.

Ketiga, terjadinya pergeseran figur tokoh yang menjadi teladan sebagian besar kaum muda. Pada umumnya kaum muda lebih menjadikan selebritis dan atau kaum borjuis sebagai panutan daripada kepada intelektual ataupun cendekiawan. Akibatnya, mereka (kaum muda) pun lebih sedang bergaya seperti kaum selebritis--yang lebih dekat pada budaya pemujaan terhadap tubuh--atau seperti kaum borjuis--yang menjadikan "uang" sebagai simbol kekuatan (money of power).

Keempat, tidak dapat dimungkiri bahwa budaya kontemporer pun telah memberikan andil yang amat besar bagi rapuhnya kesadaran nasionalism-humanis kaum muda di kota ini (bahkan di negeri ini). Budaya kontemporer relatif lebih mampu mengantarkan kaum muda untuk memuaskan hasrat-hasrat libidonya dengan berbagai tawaran hiburan yang memabukkan. Hal ini karena budaya kontemporer telah mengkonstruksi segala kebutuhan kaum muda untuk menyalurkan hasratnya.

Perlu Keberpihakan

Mengapa "kaum muda" lebih condong pada pemenuhan hasrat hedonisme daripada merekonstruksi idealisme humanisnya kembali? Tidak lain karena pusat-pusat penyaluran "hedonisme" relatif menawarkan harga yang lebih murah daripada tempat-tempat untuk menempaan mental-mental idealisme. Cobalah kita perhatikan, berapa tempat-tempat hiburan malam yang saling bersaing untuk memberikan diskon besar-besaran bagi yang mendatanginya, juga mal dan supermarket yang memberikan diskon sampai di atas 50 persen.

Kemudian, kita tengok ke pusat-pusat yang (konon katanya) sebagai tempat persemaian idealisme dan moral. Di manakah ada lembaga pendidikan yang mau dan mampu menawarkan potongan harga minimal 25% dengan jaminan kualitas yang layak dibanggakan.

Memang untuk mengarah pada hal-hal idealisme dan sekaligus bermoral membutuhkan energi dan biaya yang amat besar. Sebab itu, langkah pertama dan utama yang harus ada adalah "keberpihakan" penguasa (baca: pemerintah) terhadap visi-visi pembangunan mental spiritual dan nasionalisme kaum muda. Dan keberpihakan tersebut dapat diwujudkan dengan lebih memperhatikan kepentingan pendidikan untuk semua, dan sebaliknya pemerintah pun harus memiliki sikap tegas di dalam mengadang laju pusat-pusat pemuas nafsu hedonisme yang berpotensi melunturkan jiwa nasionalis-humanis kaum muda.

Akhirnya, seburuk apa pun kondisi kaum muda, mereka masih harapan bagi bangsa dan negara ini. Sebab itu, apa pun alasannya, berilah ruang bagi kaum muda untuk berkiprah.

Rabu, 23 September 2009

http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009092305484054

(Bukan) Momentum Menyakiti Duafa

Lebaran Bersama Orang Miskin



Rabu, 23 September 2009

Ramadhan telah berakhir. Puasa Ramadhan dalam perspektif fiqh secara otomatis juga diakhiri. Ritual menahan lapar dan haus dalam rentang waktu mulai terbit fajar sampai matahari tenggelam pun ditinggalkan. Boleh jadi di sebagian umat Islam, rasa lapar di siang hari yang terik sebulan penuh ini akan dengan mudah dilupakan.

Pasca-Ramadhan, tentu kita menjelang Idul Fitri. Dalam segi makna Idul Fitri ini berarti kembali kepada substansi asal. Kita asalnya memang diciptakan oleh Allah SWT sebagai manusia, Karena itu dengan Idul Fitri ini kita ingin mengembalikan diri kita kepada hakikat dasar tersebut. Yaitu, menjadi manusia kembali. Manusia yang dipenuhi oleh potensi-potensi kemanusiaannya, dan bukan manusia yang hanya tampak dari wujud fisiknya belaka.

Siapakah manusia yang hanya tampak dari wujud fisiknya saja? Menurut Ali Syariati, yaitu manusia yang tidak bisa menaklukkan dirinya sendiri. Mereka ini tidak lebih dari sekadar menjadi al-basyar, makhluk berkaki dua yang berjalan tegak, yang tidak berbeda sedikit pun dengan makhluk Tuhan lainnya semisal binatang. Bahkan dengan bekal akal serta peralatan canggih yang dimilikinya, potensi destruktifnya cenderung lebih parah daripada perilaku binatang buas (Nashir, 1997).

Sebagian ulama menyatakan bahwa bulan Ramadhan-di dalamnya harus dilalui dengan puasa sebulan penuh-adalah bulan pembebasan (liberalisasi). Meski istilah puasa (as-shawm) sendiri berarti "mengendalikan", namun pengendalian tersebut tidak lain adalah sebuah jalan untuk menuju pembebasan itu sendiri. Ini bila dikaitkan dengan fakta sosial, memang sungguh tidak terhitung jumlah manusia yang tidak mampu melakukan proses pengendalian diri. Dengan demikian, pada akhirnya diri mereka tidak lagi "bebas" karena terlanjur ditindas oleh hawa nafsunya sendiri.

Karena itu, tidaklah berlebihan kalau dikatakan bahwa Idul Fitri dipandang sebagai hari kemenangan. Bila bulan Ramadhan merupakan bulan perjuangan untuk melawan penindasan hawa nafsu, maka Idul Fitri adalah hari kemenangan dalam perang melawan hawa nafsu. Kehadiran Idul Fitri pun memang layak untuk disambut dengan gegap gempita, karena keberhasilan melawan hawa nafsu sesungguhnya merupakan keberhasilan puncak bagi manusia.

Namun ironisnya, tidak sedikit kita saksikan bagaimana seorang yang mengaku muslim setelah bersusah payah menahan hawa nafsunya selama bulan ramadhan, justru pasca-Ramadhan mereka menghancurkan kembali benteng pertahanan yang sudah dibuatnya tersebut. Tidak sedikit di antara mereka yang justru larut dalam budaya hedonis dan materialistik dalam menyambut Idul Fitri.

Tidak semestinya mereka menjadikan Idul Fitri dengan mengeksploitasi sifat ria (sombong), namun dalam realitas sosialnya berbicara lain. Idul Fitri justru benar-benar dimanfaatkan sebagai panggung mode duniawi. Idul Fitri harus disimbolkan dengan baju baru, ruang tamu yang penuh dengan makanan. Para orang kaya dengan angkuh mengharapkan kehadiran orang-orang jelata untuk "menyembah" kakinya, dan sebagainya.

Padahal bila direnungkan lebih mendalam, puasa Ramadhan yang dijalani sebulan penuh harus berfungsi sebagai, pertama, sarana dekonstruksi segala belenggu nurani kemanusiaan. Puasa Ramadhan merupakan media untuk membangun kesadaran diri sebagai makhluk yang lemah dan serba dalam kerelatifan. Kedua, sebagai wahana untuk membangun solidaritas sosial kemanusiaan secara harmonis dan damai.

Bukan sebaliknya, Idul Fitri dijadikan sebagai pembeda mana yang kaya dan mana yang miskin. Idul Fitri bukan menjadi hari "konsumsi" untuk menjadikan manusia kembali memunguti sifat-sifat rakusnya yang telah dibuang berceceran di saat bulan Ramadhan. Namun, sangat disayangkan banyak manusia yang tidak siap untuk kembali ke fitrah-Nya. Sebaliknya, mereka justru takut merasa tersingkir bila tidak menjadi bagian dari the consumer society.

Secara simbolik sebelum kita melaksanakan shalat Idul Fitri, kita-yang tergolong mampu secara ekonomi-diwajibkan membayar zakat fitrah terlebih dahulu. Zakat fitrah tersebut diperuntukkan bagi kaum duafa. Ritus ini menyimpan pesan agar dalam menyambut hari kemenangan Idul Fitri ini, baik orang-orang yang kaya maupun yang miskin, dapat larut dalam kebahagiaan yang sama. Dengan demikian, posisi sosial antara yang miskin dan yang kaya adalah sejajar (equilibrium).

Bila kesadaran bahwa kesejajaran manusia tidak dapat dibatasi oleh jumlah kekayaan yang dimiliki, maka tatanan kehidupan yang rahmatan lil alamin dapat dipastikan akan terwujud. Karena dengan adanya kesejajaran kemanusiaan tersebut, manusia tidak lagi terjebak pada watak rakus, angkuh, egois, ataupun sombong. Lebih dari itu, di antara yang kaya dan miskin tidak ada yang merasa paling penting dan paling tidak penting di pentas kehidupan.

Namun sayangnya, kesadaran kemanusiaan tersebut kerapkali hilang tatkala seseorang larut secara berlebihan di dalam menyambut Idul Fitri. Kita kadang-kadang lupa dengan mereka yang sedang berdiam diri "merenungi nasib" di kolong-kolong jembatan. Banyak di antara mereka yang hanya menyusuri jalan demi sekadar untuk mendapatkan belas kasihan. Penyambutan kita terhadap Idul Fitri yang secara berlebihan-dengan pakaian baru, ragam makanan yang mahal tapi tidak mengenyangkan-turut menambah penderitaan kaum lemah.

Karena itu, tidak mungkinkah kita mengubah tradisi Idul Fitri dari menghambur-hamburkan uang untuk membeli kemewahan, menjadi tradisi untuk hidup sederhana? Tidak bisakah kita mendatangi bilik-bilik orang miskin dan kita makan bersama di tempat itu? Jadi, bukan sebaliknya mengundang mereka untuk makan di rumah kita sambil melihat kekayaan kita? Akhirnya, memang sudah saatnya kita membalik logika bahwa sesungguhnya kitalah yang butuh orang miskin, bukan mereka yang butuh kita untuk bisa bersama-sama merayakan Idul Fitri.***

Penulis adalah dosen FAI Universitas Muhammadiyah Gresik.

Selasa, 15 September 2009

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=235868

Manusia Fitrah, Manusia Cerdas
Oleh Abd. Sidiq Notonegoro

Rabu, 16 September 2009

Satu bulan penuh di bulan Ramadhan ini, kaum muslimin kembali melaksanakan ritus puasa. Mereka mengekang diri terhadap sebagian aktivitas yang di luar Ramadhan mereka lakukan pada siang hari. Misalnya, makan, minum, dan tidak berhubungan seks suami-istri. Lebih dari itu, mereka juga tidak semata-mata menghindar dari semua perbuatan yang berbau maksiat. Tetapi, juga memanfaatkannya sebagai momentum untuk selalu berbuat baik dan beraktivitas yang membawa keberkahan. Ucapan-ucapan yang tidak positif-dan terlebih lagi bisa mencederai hati orang lain-semaksimal mungkin dihindari.

Pada malam hari kaum muslimin berduyun-duyun untuk melaksanakan shalat Isya dan Tarawih secara berjemaah. Karena itu, apabila di luar Ramadhan kondisi masjid tampak tidak berpenghuni kecuali hanya satu-dua orang yang usianya sudah sangat uzur, maka pada bulan Ramadhan ini tampak berlipat ganda jumlahnya. Usai Tarawih, sebagian mereka menyempatkan tinggal sejenak di dalam masjid untuk bertafakkur kepada Allah. Beragam aktivitas mereka lakukan, namun umumnya mereka aktualisasikan dengan bertadarus melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an setelah shalat Tarawih merupakan tradisi yang dilakukan hampir semua masjid yang ada. Terutama bagi mereka yang tempat tinggalnya dekat dengan masjid, maka tidak ikut tadarus seakan merupakan "kerugian" tersendiri. Karena itu, apabila benar-benar tidak ada uzur (halangan) yang memaksa mereka meninggalkan tadarus, maka tadarus berjemaah di masjid menjadi sebuah keharusan.

Tentu tidak berlebihan apabila bulan Ramadhan disebut sebagai bulan baca kaum muslimin. Sebab, dalam waktu sebulan penuh inilah, kaum muslimin benar-benar berada dalam jarak yang sangat dekat dengan kitab suci (Al-Qur'an) dibandingkan dengan di luar bulan Ramadhan. Ini merupakan awal yang sangat positif untuk menumbuhkan kecintaan terhadap kitab, terlebih kitab suci yang sarat dengan pengetahuan dan pengajaran.

Sayangnya, apa yang disebut tradisi tadarus masih dominan berkutat pada kegiatan melantunkan-daripada membaca-ayat Al-Qur'an. Sebagian besar kaum Muslim yang bertadarus menghabiskan sebagian malamnya untuk melafazkan (mengucap) ayat-ayat Al-Qur'an yang terhimpun dalam 30 juz itu. Sambil duduk melingkar di dalam masjid, mereka bergantian untuk melantunkan dan atau menyimak ayat-ayat suci Al-Qur'an.

Tentu bukan hal yang buruk apabila bulan yang penuh rahmat ini dimanfaatkan untuk melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Namun, tidak adakah yang lebih fungsional dari sekadar kegiatan tersebut? Tentunya ada cara memperlakukan Al-Qur'an dengan lebih bermakna dan tidak sekadar menambah kecintaan kaum Muslim terhadap kitab sucinya, tetapi juga berpotensi mencerdaskan kaum muslimin dari keterpurukan peradaban ini.

Jika boleh dikatakan, tradisi tadarus merupakan awal yang sudah sangat bagus. Hanya saja, tradisi ini perlu dikembangkan dengan kegiatan-kegiatan yang mampu menggelitik nalar intelektual umat Islam agar sudi membedah rahasia Ilahi yang telah tersuratkan dalam ayat-ayat Al-Qur'an tersebut. Dengan demikian, Al-Qur'an tidak lagi dilantunkan seperti kaum primitif membacakan mantra-mantra, tetapi benar-benar mengambil pelajaran yang dipesankan ayat-ayat suci itu.

Apalagi secara historis, yang tidak bisa diabaikan begitu saja ialah di bulan Ramadhan ini pula Al-Qur'an diturunkan Ilahi dari lauhil mahfudz ke langit dunia, dan kemudian secara bertahap diwahyukan kepada Rasulullah Muhammad SAW. Peristiwa inilah yang dalam tarikh Islam dikenal dengan istilah nuzul Al-Qur'an, sebuah peristiwa penting yang terjadi di dalam bulan Ramadhan.

Sudah saatnya tradisi tadarus ditingkatkan kualitasnya. Misalnya, tidak sekadar melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an dengan target semata-mata dalam Ramadhan ini bisa mengkhatamkan 30 juz. Lebih dari itu, juga mengkaji pesan-pesan dari setiap ayat yang dibacanya.

Dengan kemauan yang tinggi untuk meningkatkan tradisi melantunkan ke membaca ini, diharapkan moralitas kaum muslimin dalam menjalani kehidupan di alam semesta ini bisa lebih berkualitas. Sebab, sejatinya yang dimaksud dari istilah tholibul 'ilmi ialah mengkaji atau mempelajari ilmu, yaitu dengan jalan membacanya secara cerdas. Dan, tidak ada kecerdasan yang bisa diwujudkan kecuali dengan jalan membaca, bukan melafazkan.

Membaca memang tidak semata-mata terfokus pada teks-teks normatif. Membaca juga memiliki kaitan dengan ayat-ayat kauniyah-yang tidak tertuliskan secara gamblang dalam kitab suci. Akan tetapi, isyarat-isyarat itu terpapar dengan jelas melalui kitab suci. Hanya orang-orang yang punya kemauan tinggi menggunakan nalar intelektualnya untuk membedah kandungan Al-Qur'an yang akan mampu menyibak rahasia ayat-ayat kauniyah.

Jika tujuan akhir dari puasa Ramadhan-selain semata-mata untuk menunjukkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah-yaitu merekonstruksi diri menjadi manusia sempurna, maka tidak ada jalan lain kecuali menggabungkan ayat yang tersampaikan (kauliyah) dengan ayat-ayat yang terhampar di alam (kauniyah). Jika ayat kauliyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah yang mengejawantah dalam bentuk kitab suci Al-Qur'an, maka ayat kauniyah ialah beragam fenomena alam dan sosial yang terhampar dalam dimensi kehidupan riil.

Karena itu, tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa yang disebut manusia fitrah ialah manusia yang memiliki kemauan keras untuk membaca ayat kauniyah dan kauliyah dalam dimensi kesadaran kemanusiaannya.***

Penulis adalah Ketua LPAM PW Pemuda Muhammadiyah Jatim

Minggu, 23 Agustus 2009

Menata Hati Mengisi Ramadhan

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=233944

Senin, 24 Agustus 2009

Secara substansial, ibadah puasa diorientasikan untuk menguji ketakwaan seorang mukmin dalam menghadapi godaan kemaksiatan (Q.S. Al-Baqarah: 185). Dengan kata lain, menguji ketangguhan bagaimana seorang yang mengklaim dirinya sebagai hamba yang bertakwa dalam menghadapi godaan kemaksiatan yang ada di depan matanya. Larutkah dia ke dalam kemaksiatan tersebut atau mampu bertahan sampai kemaksiatan itu hancur dengan sendirinya.

Namun, tampaknya tidak banyak individu yang memiliki kualitas ketakwaan yang memadai, termasuk dalam hal ini sangat mungkin juga penulis sendiri. Tidak banyak pribadi tangguh yang tidak goyah kala ada godaan kemaksiatan. Kenyataannya, banyak individu yang ingin menjalani puasa tanpa ada godaan sedikit pun. Dengan demikian, kita semaksimal mungkin mendesak dan menekan pemerintah untuk menciptakan kondisi agar puasa dijalani dengan tanpa ada "ujian" dan "godaan" sedikit pun. Bagi individu seperti ini, kesuksesan ibadah puasa dapat digapai manakala godaan dan ujian tidak hadir pada saat puasa "lapar" itu dijalankan. Bukan kesuksesan di dalam menjaga puasa jiwa dari terjangan godaan pandangan dan perasaan.

Terkait dengan ibadah Ramadhan, banyak pelajaran berharga yang bisa digali setiap pribadi Muslim. Pertama, puasa bukanlah semata-mata kemampuan menahan rasa lapar sehari penuh. Tetapi, dengan puasa, setiap pribadi dituntut sadar bahwa ada sekian orang di sekitar kita yang meski tidak berniat puasa, namun berada dalam kondisi amat lapar karena faktor kemiskinan. Bagi mereka ini tidak ada sedikit pun makanan yang dapat digunakan untuk mengurangi sejenak rasa lapar tersebut. Kesadaran ini diharapkan menumbuhkan kemauan kita untuk saling berbagi.

Kedua, dianjurkan untuk selalu melakukan kebaikan dan meminimalisasi perilaku buruk. Sedikit saja perilaku buruk dilakukan, dapat dipastikan mengurangi nilai-nilai puasa. Karena itu, Rasulullah menekankan, apabila dalam puasa tidak mampu mengendalikan perilaku buruk, maka lebih baik tidur. Seburuk-buruk individu ialah orang yang selalu membuat sakit hati orang lain.

Ketiga, dengan puasa ditekankan untuk mengendalikan nafsu amarah, termasuk dalam hal ini manakala menyaksikan kemungkaran. Seorang yang sedang berpuasa tidak diperkenankan menuruti nafsu amarah ini. Bahkan, diajarkan apabila sedang berpuasa dan ada orang yang mengajak bertengkar, dianjurkan untuk mengatakan, "Maaf, saya sedang berpuasa." Jadi, bukan sebaliknya, melakukan tindakan-tindakan anarkis. Keempat, selalu mengisi dan memanfaatkan waktu dengan ucapan-ucapan yang baik. Bukan hanya yang berkaitan dengan pemujaan terhadap Allah, melainkan juga ucapan-ucapan bijak yang menyejukkan bagi siapa saja.

Menata hati dalam mengisi puasa Ramadhan merupakan hal yang tidak bisa disepelekan. Sebab, puasa Ramadhan bukanlah ajang atau arena untuk melatih diri, melainkan ajang pembuktian diri. Puasa Ramadhan sebulan penuh merupakan cermin pribadi 11 bulan sebelumnya. Siapa yang biasa bermental juragan-yang selalu minta dilayani-akan tercermin dalam bulan Ramadhan, yang selalu menuntut pemerintah, orang lain atau dirinya sendiri untuk mengusir orang-orang yang tidak mau melayaninya. Siapa yang biasa menyelesaikan persoalan dengan kekerasan dan emosional, dalam Ramadhan pun cenderung marah-marah atau bahkan bertindak anarkis terhadap orang lain yang dianggap (subjektif) mengganggu ketenangan puasanya.

Bahkan, siapa yang biasa tidak mampu mengendalikan nafsu perutnya, pasti dia akan cenderung marah, memaki atau bahkan merusak warung-warung yang kebetulan buka untuk melayani orang yang tidak sedang berpuasa-entah karena non-Islam atau karena ada uzur (halangan). Pendek kata, semua yang tidak diinginkannya dipandangnya sebagai pengganggu yang harus diperangi. Lebih-lebih yang biasa gagal mengendalikan nafsu syahwatnya, boleh jadi dia akan memencak-mencak ketika ada hal yang dipandangnya pasti akan meruntuhkan nilai puasanya.

Akhirnya, perlu menjadi perhatian bersama, utamanya umat Islam, bahwa kemiskinan masih menjadi persoalan yang patut dipecahkan. Masih beroperasinya warung-warung makan di siang bolong dalam bulan Ramadhan, tampaknya itu terpaksa dilakukan karena memang mereka harus memenuhi tuntutan anak-anak mereka menyongsong Lebaran. Demikian pula dengan restoran, dituntut buka oleh karyawannya yang ingin melewati Lebaran dengan uang saku lebih. Bahkan, lebih tragis lagi adalah para pelaku prostitusi yang juga sedang memimpikan turut larut dalam kebahagiaan Idul Fitri.

Bagaimanakah cara menyelamatkan mereka apabila puasa masih hanya berada dalam kisaran fiqiyah? Selamat datang Ramadhan, semoga membawa berkah bagi semua umat manusia, apa pun keadaannya.***

Penulis adalah Aktivis Jaringan Intelektual Muda Muhammadiyah,
dosen FAI Universitas Muhammadiyah Gresik


--------------------------------------------------------------------------------
Politik | Hukum | Ekonomi | Metropolitan | Nusantara | Internasional | Hiburan | Humor | Opini | About Us

--------------------------------------------------------------------------------
Copy Right ©2000 Suara Karya Online
Powered by Hanoman-i

Jumat, 14 Agustus 2009

Meluruskan Niat Naik Haji

http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009081401225777

Dosen Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Gresik

Kabarnya Pemerintah Arab Saudi berencana mengeluarkan regulasi terhadap jemaah calon haji (calhaj). Yang cukup santer terdengar, yaitu masalah pembatasan usia. Calhaj yang belum berusia 12 tahun dan atau lebih dari 65 tahun dilarang untuk turut melaksanakan ibadah haji.

Bila benar rencana regulasi tersebut akan diterapkan, yang paling merasakan dampaknya adalah calhaj Indonesia. Sebab, pada calhaj Indonesia masih banyak yang berusia di atas 65 tahun, dan yang saat ini telah masuk daftar tunggu (waiting list) diperkirakan pada saat akan diberangkatkan, usianya telah melewati angka 65.

Memang terkesan unik bila kita menyaksikan para calhaj Indonesia. Pertama, haji bagi sebagian orang Islam di Indonesia tidak semata-mata sebagai kewajiban agama, tetapi juga untuk menaikkan status sosialnya di masyarakat. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa sebagian orang Indonesia yang telah berpulang dari ibadah haji, bukanlah berkategori seorang muslim yang baik. Baik secara aqidah, ibadah maupun muamalah.

Kedua, rata-rata usia calhaj Indonesia telah berusia lanjut. Selain alasan ekonomi yang memaksa mereka baru bisa melaksanakan ibadah haji di usia senja, kurang besarnya hasrat untuk bisa meninggal dunia di Mekkah. Bagi mereka, mati di Tanah Suci Mekkah memiliki makna religius yang lebih sakral.

Terkait dengan persoalan di atas, seyogianya Pemerintah Indonesia (dalam hal ini Departemen Agama) berupaya keras untuk meminta kompensasi kepada Pemerintah Arab Saudi. Paling tidak, pemerintah harus menghabiskan dahulu calhaj Indonesia yang kini telah masuk dalam daftar tunggu. Selain itu juga mengutamakan untuk memberikan kesempatan pada calhaj yang masuk dalam usia kritis (hampir mendekati 65 tahun). Bila hal tersebut telah berhasil dilakukan pemerintah, ke depan pemerintah perlu juga membuat regulasi baru untuk calhaj. Utamanya menyangkut pembatasan usia.

Namun demikian, yang perlu menjadi perhatian pemerintah ialah membenahi kembali tata pelaksanaan pemberangkatan ibadah haji. Bila mengacu pada pandangan ulama fiqh, syarat seseorang yang wajib melaksanakan ibadah haji ialah yang memiliki kemampuan finansial. Yaitu finansial untuk membayar ONH dan biaya hidup selama di Arab Saudi serta biaya yang harus ditinggalkan untuk keluarga yang menjadi tanggungannya.

Tetapi persyaratan tersebut tampaknya sangat layak untuk ditambah. Yaitu kewajiban untuk menjamin kebutuhan hidup primer tetangganya yang didera kemiskinan. Dengan demikian, tampak nyata ibadah muamalah seseorang yang berstatus haji. Bila perlu, salah satu persyaratan bagi seorang calhaj ialah berkewajiban untuk mengangkat anak asuh dengan menyekolahkannya minimal sampai lulus SMP.

Semestinya, pemerintah dan masyarakat Indonesia tidak perlu berbangga hati hanya karena setiap tahun mampu mengirimkan jumlah calhaj terbanyak dibandingkan negara-negara lainnya, utamanya negara Islam. Lebih penting dari itu, pemerintah perlu menggerakkan para calhaj Indonesia untuk menunjukkan bahwa keberangkatan mereka ke Tanah Suci benar-benar dilaksanakan setelah kewajiban-kewajiban sosial-keagamaannya telah tercukupi.

Sesungguhnya tampak sangat aneh di negeri ini. Setiap tahun jemaah calon haji Indonesia berangkat dalam jumlah sangat besar. Bahkan yang masuk dalam daftar tunggu pun mencapai ribuan orang. Fakta ini seharusnya menyiratkan bahwa kondisi ekonomi umat Islam di Indonesia berada dalam taraf yang cukup baik. Dengan asumsi tersebut, sudah semestinya zakat, infak, dan sedekoh para calhaj ataupun yang sudah berstatus haji tidak terkirakan jumlahnya.

Tapi ironisnya, kemiskinan--termasuk mayoritas umat Islam--masih tampak bertebaran di mana-mana. Bahkan bukan pemandangan aneh lagi, adanya orang-orang yang didera kemiskinan yang akut, justru tempat tinggalnya di balik dinding tebal orang kaya yang berstatus haji.

Tanggung Jawab Sosial

Tampaknya pemerintah punya persyaratan yang mengikat bagi calhaj. Di antaranya seseorang baru bisa dicatat sebagai calhaj ketika telah melakukan memberikan jaminan pendidikan bagi anak orang miskin atau anak yatim yang miskin dalam bentuk deposito. Atau dengan membuat perjanjian di hadapan notaris. Dan bila perjanjian tersebut dilanggar, bisa dibawa ke ranah hukum pidana ataupun perdata.

Termasuk pula dengan orang-orang yang ingin melaksanakan ibadah haji lebih dari sekali. Sekali melaksanakan ibadah haji, perlu diikat dengan pertanggungjawaban sosial kepada masyarakat secara nyata. Dengan demikian, diharapkan ibadah haji tidak menjadi hobi yang hanya memuaskan aspek religiositas personal. Tetapi ibadah haji juga harus memberikan porsi pada pertanggungjawaban religiositas sosial.

Semakin sering seseorang melaksanakan ibadah haji, sudah semestinya semakin besar pula pertanggungjawaban sosialnya di hadapan umat. Jangan sampai berangkat haji dilandasi oleh kekuatan "nafsu". Bila perlu, salah satu syarat seseorang untuk berangkat haji ialah mendapatkan rekomendasi dari tetangga rumahnya.

Akhirnya, sebagai negara berpenduduk mayoritas Islam dan sekaligus komunitas Islam terbesar di dunia, seyogianya tanggung jawab sosial antarumat Islam perlu dipertegas.

Tidak diharapkan adanya kesalehan personal yang tidak berdampak pada kesalehan sosial. Apalah arti dari ritus-ritus peribadatan menjadi warna dalam kehidupan, tetapi tidak memiliki dampak pada pemberdayaan dan perbaikan kondisi sosial umat. Bukankah itu ciri orang-orang yang suka mendustakan agama?
erita.php?id=2009081401225777

Kamis, 23 Juli 2009

Stigma Pesantren Pascaaksi Terorisme
Oleh Ahmad Rofik

Jumat, 24 Juli 2009

Aksi terorisme kembali terjadi di Jakarta. Kali ini mengguncang kawasan Mega Kuningan, Jakarta Selatan. Kecurigaan aparat keamanan dan media, pelaku yang diduga melakukan peledakan bom bunuh diri adalah anggota jaringan teroris Noordin M Top. Satu di antaranya bernama Nur Said alias Nur Hasbi yang merupakan alumnus Pondok Pesantren (Ponpes) Al Mukmin, Ngruki, Sukoharjo.

Lagi-lagi ponpes yang berada di wilayah Sukoharjo, Jawa Tengah, yang dipimpin Abu Bakar Ba'asyir, dituduh menjadi latar belakang pencetakan teroris. Fakta dari rentetan aksi-aksi terorisme di Indonesia sejak 2000 hingga 2009 memang pelakunya mayoritas alumni Ponpes Ngruki. Imam Samudera, Ali Gufron, Amrozi, Salik Firdaus, Asmar Latin, Heri Golun, hingga Nur Said adalah alumni pondok tersebut.

Masyarakat dan pemerhati dunia pendidikan khususnya pesantren jadi bertanya-tanya, ada apakah dengan Ponpes Al Mukmin Ngruki? Apakah ada kurikulum pendidikannya yang salah sehingga banyak alumninya terjebak dalam aksi terorisme?

Penulis, yang pernah belajar di Ponpes Al Mukmin dan sebelumnya juga sempat belajar di ponpes yang lain, memiliki pengalaman yang bisa diceritakan. Selama belajar di Ngruki, materi pendidikan dan kurikulumnya berkategori wajar sebagaimana pesantren-pesantren yang lain. Mazhab pesantren Ngruki yang condong ke Wahabi memang secara kultural mengajarkan anak didik atau santrinya kepada ajaran Islam yang kaffah dengan disiplin yang ketat.

Alumni Ponpes Al Mukmin-selain yang tersesat ke jalan kekerasan sebagaimana Amrozi, Ali Gufron dan kawan-kawan-banyak yang sukses dalam menjalankan amanah pekerjaan dan bersosialisasi di tengah masyarakat. Ikatan Alumni Ponpes Al Mukmin memegang teguh prinsip ajaran Islam dalam mengarungi kehidupan.

Konteks demikian sesungguhnya stigma bahwa Ponpes Al Mukmin dan pesantren "turunan" yang didirikan alumni tidak salah karena memang telah mendidik siswa dan santrinya dengan ajaran Islam sesuai prinsip syariah.

Tentang pertanyaan mengapa mayoritas pelaku terorisme adalah alumni Ponpes Al Mukmin, penulis memiliki penalaran subjektif. Mayoritas pelaku aksi terorisme adalah benar alumni Ponpes Al Mukmin, Ngruki, namun mereka adalah "aktivis Islam" yang telah terindoktrinasi ajaran perjuangan Islam yang keras dan radikal.

Mereka terbina oleh komunitas pengajian, oleh da'i dan instruktur gerakan Islam yang berorientasi melakukan perlawanan radikal terhadap hegemoni Barat. Boleh dikatakan, mereka adalah kader Abdullah Sungkar, pendiri Ponpes Al Mukmin, yang "lari" ke Malaysia untuk menghindari kejaran rezim Orde Baru.

Sementara itu, aktivis Islam lapisan kedua, yang mayoritas juga alumni Ponpes Al Mukmin, secara sosiologis dan ideologis memiliki watak yang menyimpang dibanding mainstream watak-perilaku alumni Al Mukmin yang jumlahnya ribuan atau puluhan ribu orang. Secara sosiologis, berasal dari keluarga menengah ke bawah yang berasal dari pedesaan terpencil yang memiliki akar sejarah sebagai aktivis gerakan Islam pada era 1950-an.

Secara ideologis, mereka memiliki keyakinan politik yang diwariskan orangtuanya tentang konsep negara Islam atau khilafah Islamiah yang berbeda dengan konsep khilafah Hizbut Tahrir. Ideologi yang dianut oleh para pelaku terorisme semacam Amrozi, Heri Golun, dan Imam Samudera tidak dibentuk selama menempuh pendidikan di pesantren, namun oleh aktivitas gerakan Islam radikal. Namun, filosofi pemahaman Islam yang kaffah dan eksklusif terbentuk selama menempuh pendidikan di Ngruki oleh para pengajar yang dahulunya aktivis gerakan Islam.

Watak teroris yang dimiliki sebagian alumni Al Mukmin Ngruki yang menyimpang dari mainstream itu bukan dibentuk oleh sistem dan kultur pendidikan Al Mukmin, namun oleh indoktrinansi ideologis. Mereka umumnya memiliki watak santun dalam perkataan-tindakan, kehidupannya tertutup dari lingkungan, agamais, berpindah-pindah secara regular. Mereka memutuskan komunikasi atau tali silaturahim dengan keluarga besar, serta memiliki kelompok pengajian yang tidak bisa diikuti oleh umat muslim kebanyakan. Alumni dan pendidikan pesantren yang bercorak radikal umumnya gagal membaur dengan realitas kehidupan masyarakat, sehingga tumbuh stigma buruk terhadap pendidikan pesantren dan para alumninya.

Para pelaku terorisme eksponen pendidikan Pesantren Al Mukmin terdidik oleh kajian keagamaan yang eksklusif dan radikal di luar aktivitas pendidikan formal di Ngruki. Mereka tampaknya dipilih oleh "kader" jaringan terorisme yang menyusup dalam irama kehidupan pesantren, baik yang secara legal menjadi bagian organisasi Islam semacam Anshorut Tauhid, NII, MMI maupun yang merupakan sel kelompok radikal jaringan internasional.

Dalam konteks politik demikian, seharusnya Ustad Abu Bakar Ba'asyir yang dimitoskan sebagai waliyullah oleh para santri/alumni Al Mukmin memiliki sikap responsif untuk memfilter kader-santrinya agar tidak terbujuk oleh indoktrinasi kelompok radikal. Jadi, bukannya hanya (selalu) memberikan statement menyangkal setiap ada upaya menstigmatisasi eksistensi Ponpes Al Mukmin pascaaksi terorisme.

Alangkah miris hati penulis ketika tiga serangkai pelaku bom Bali I, Amrozi, Ali Gufron, dan Abdul Azis, dieksekusi mati dan jenazahnya dikuburkan, justru kader Anshorut Tauhid dan alumni Ponpes Ngruki bertakziah dan menganggap mereka sebagai "mujahid" atau pahlawan. Ini sebuah kekeliruan dalam penafsiran jihad yang fatal dalam pemahaman Islam yang kaffah.

Dari kenyataan di atas, perlulah dunia pesantren, pemerintah, dan Departemen Agama memformulasikan model pendidikan pesantren sesuai standar kurikulum nasional. Standar kurikulum pendidikan nasional sudah waktunya direncanakan dan diimplementasikan di seluruh pendidikan pesantren di Indonesia.

Pesantren yang "eksklusif" dan menolak kerja sama perlu disadarkan dengan aksi responsif dari tokoh-tokoh atau ulama-ulama Islam. Di negara ini, yang dilandasi konstitusi, seharusnya tidak ada komponen masyarakat yang mencoba hidup dalam "paham" dan konstitusi yang menyimpang-sebagaimana Darul Arqam di Malaysia yang dibubarkan karena menolak konstitusi dan diatur oleh negara.

Jika dirasakan perlu, negara bisa memasukkan materi kurikulum yang mendorong pembangunan watak kebangsaan para santri. Dengan demikian, tidak ada lagi pendidikan bersemangat antikebangsaan di dalam dunia pendidikan pesantren. Hal ini niscaya akan menjadikan pendidikan dan pesantren sebagai alat pembentuk generasi pemimpin masa depan bangsa yang agamais dan berjiwa negarawan. Begitu!***

Penulis adalah alumnus Ponpes Al Mukmin Ngruki, Sukoharjo,
pendiri Kajian Islam Kaffah Wonosobo


--------------------------------------------------------------------------------
Politik | Hukum | Ekonomi | Metropolitan | Nusantara | Internasional | Hiburan | Humor | Opini | About Us

--------------------------------------------------------------------------------
Copy Right ©2000 Suara Karya Online
Powered by Hanoman-i


Kamis, 04 Juni 2009

http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=228467

Facebook, Apanya yang Haram?
Oleh Abd Sidiq Notonegoro

Jumat, 5 Juni 2009

Sejujurnya, saya merasa sangat terkejut dan sekaligus geli ketika mendengar kabar tentang munculnya fatwa haram terhadap situs jaringan sosial seperti facebook, friendster, dan sebagainya. Bagaimana tidak, pada era perkembangan teknologi yang demikian pesat ini dan kebutuhan masyarakat terhadap fasilitas tersebut dalam rangka meningkatkan serta mengefisienkan mobilitasnya justru dihadang oleh fatwa yang tidak produktif dan antikemajuan.

Karena itu, saya sempat menyimpulkan bahwa Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) XI yang diselenggarakan di Ponpes Putri Hidayatul Mubtadien Lirboyo, Kediri, pada tanggal 20-21 Mei 2009 lalu sebagai forum para santri yang gagap dalam merespons perkembangan teknologi komunikasi. Bahkan, saya sempat bersuuzon, mereka yang merancang keluarnya fatwa tersebut adalah orang-orang yang tidak mengenal sama sekali apa yang namanya facebook dan friendster, termasuk manfaat yang bisa diambil dari keduanya.

Kegagapan terhadap teknologi semacam itu kemudian mengingatkan kembali penulis pada kisah tentang Napoleon Bonaparte ketika menginvasi Mesir (1798-1801). Pada saat itu Napoleon mengenalkan sarana informasi radio kepada masyarakat Mesir. Melalui radio, Napoleon ingin menunjukkan kepada bangsa Mesir tentang perkembangan teknologi yang sangat maju di Prancis. Itu dilakukan dengan harapan perlawanan masyarakat Mesir terhadap imperialisme Prancis bisa diredam. Melalui radio tersebut, kemudian dikumandangkan pidato-pidato propaganda Napoleon dan juga disuarakannya lagu-lagu berbahasa Prancis.

Namun, bukan sambutan sukacita yang diperoleh Napoleon dari masyarakat Mesir. Justru para ulama tradisional Mesir pada saat itu mengatakan haram untuk memiliki dan mendengarkan radio. Latar belakang munculnya fatwa haram tersebut bukan karena radio tersebut produk Barat imperialis (Prancis) atau lagu-lagu yang dikumandangkan tidak mencitrakan sebagai lagu yang "Islami", tetapi lebih karena kegagapan ulama Mesir terhadap adanya teknologi radio.

Fatwa haram terhadap radio muncul dikarenakan para ulama menganggap radio sebagai "benda syaitan" karena benda mati bisa mengeluarkan bunyi atau suara seperti suara manusia. Apalagi suara-suara yang keluar dari radio tersebut semua bercita rasa Prancis-yang dinilai sebagai negeri kafir. Bagi para ulama tradisional tersebut, tidak ada makhluk di dunia ini yang bisa meniru-niru suara manusia kecuali iblis. Karena itu, apa pun yang mengeluarkan suara seperti manusia, maka dipastikan itu adalah syaitan atau iblis. Apalagi yang membawa adalah bangsa penjajah yang kafir.

Singkat cerita, setelah menyadari kegagalan tersebut, kemudian Napoleon mengubahnya dengan mengumandangkan suara orang yang qiro'ah melantunkan ayat-ayat suci Al-Qur'an. Barulah pada akhirnya masyarakat dan ulama Mesir bisa menerima radio dan menyadari bahwa radio bukanlah benda syaitan, tetapi alat teknologi yang bisa dimanfaatkan untuk kebaikan pula. Dari situlah kemudian masyarakat dan ulama Mesir mulai mengenal apa itu radio. Imperialisme Prancis pun akhirnya mampu membuka kesadaran masyarakat Mesir untuk mengenal teknologi canggih dan besar manfaatnya.

Kembali ke fatwa haram facebook dan friendster, akhirnya saya bisa memahami munculnya fatwa haram tersebut setelah juru bicara FMP3 Jatim, Emha Nabil Haroen, yang menyatakan bahwa latar belakang munculnya fatwa tersebut karena saat ini sedang marak penggunaan layanan situs jaringan sosial yang digunakan secara berlebihan. Dan, maksud "berlebihan" di sini ialah penggunaan yang menjurus pada perbuatan mesum dan yang tidak bermanfaat.

Harus diakui bahwa keberadaan facebook, friendster dan sebagainya memang bisa saja disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tidak bisa memilah mana yang bermanfaat (maslahat) dan mana yang tidak bermanfaat, bahkan menjurus pada hal yang negatif (mudarat). Namun, kalau ditelisik lebih jauh, niat awal diciptakannya facebook bukanlah untuk tujuan-tujuan maksiat. Bahkan sebaliknya, keberadaannya benar-benar memberi manfaat yang sangat besar bagi masyarakat. Mulai sebagai media silaturrahim yang berjalan secara luas, menjalin hubungan dengan kolega bisnis lebih intens, hingga media dakwah yang bersifat masif.

Karena itu, penyematan haram pada facebook-nya dapat dikatakan tidak tepat atau berlebihan. Sebab, tujuan utama diciptakan facebook adalah untuk menciptakan jaringan sosial, sehingga dapat dikatakan tujuan penciptaan facebook adalah mulia. Keharamannya sesungguhnya terletak pada bagaimana individu yang menggunakannya, apakah untuk tujuan baik atau tujuan mesum. Sama halnya dengan kitab suci Al-Qur'an yang pada dasarnya difirmankan Allah SWT untuk menjadi petunjuk hidup umat manusia. Namun, dalam implementasinya, tidak jarang ditemukan orang-orang yang menyalahgunakan ayat-ayat suci tersebut untuk tujuan-tujuan sesat. Misalnya, untuk jimat, rajah atau mantra-mantra. Apakah dalam hal demikian itu yang haram adalah ayatnya atau orang yang menyalahgunakannya? Atau kedua-duanya?

Dengan membidik aspek perilaku sebagai objek hukumnya, maka akan jelas mana yang harus terkena hukum dan yang tidak. Jika aspek perilaku yang menjadi objek hukum, tindakan merekrut anggota teroris pun haram meski dengan mengatasnamakan agama. Sebab, harus diakui, akhir-akhir ini organisasi teror telah mempergunakan jaringan sosial (facebook) untuk merekrut anggota. Akhirnya, apabila maksud hati FMP3 Jatim adalah untuk menunjukkan tanggung jawab sosial dunia pesantren terhadap pembangunan bangsa, tidakkah lebih utama FMP3 mereproduksi fatwa hukum untuk lapangan dan permainan golf, permainan biliar dan sejenisnya, yang diakui atau tidak berpotensi untuk terjadinya perilaku menyimpang dan maksiatnya lebih besar? Dan, janganlah institusi-institusi ataupun forum keagamaan membuat aturan-aturan hukum dengan menjadikan agama sebagai back up yang justru menjebaknya ke dalam kejumudan dan kebodohan.***

Penulis adalah pengajar di Fakultas Agama Islam,
Universitas Muhammadiyah Gresik


--------------------------------------------------------------------------------
Politik | Hukum | Ekonomi | Metropolitan | Nusantara | Internasional | Hiburan | Humor | Opini | About Us

--------------------------------------------------------------------------------
Copy Right ©2000 Suara Karya Online
Powered by Hanoman-i

Jumat, 22 Mei 2009

Realisme Politik PKB



Meskipun tabulasi hasil pemilu legislatif belum secara resmi diumumkan, namun sudah dapat diperkirakan tentang partai politik (parpol) yang mendapatkan keunggulan dominan, standar, minimal atau bahkan yang harus gulung tikar. Dan yang cukup menarik, adanya beberapa parpol yang dalam Pemilu 2004 mendapatkan suara sangat signifikan, dalam Pemilu 2009 ini harus melorot tajam. Diantara yang menarik untuk dicermati ialah anjloknya suara Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), terutama di Jawa Timur yang selama ini dipandang sebagai lumbung emas PKB.
Jauh hari memang banyak pengamat yang sudah memprediksi bahwa dalam Pemilu 2009 ini PKB sangat sulit untuk menjadi jawara di Jawa Timur. Minimal ada 3 (tiga) faktor yang menjadi penyebab utamanya gembosnya suara PKB di Jatim. Pertama, konflik internal antara KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dengan Muhaimin Iskandar (Cak Imin). Dimana kemudian menjelang pemilu legislatif, Gus Dur membelokkan dukungannya ke Partai Gerinda milik Prabowo Subiyanto. Kedua, perpecahan PKB yang akhirnya melahirkan partai baru bernama Partai Kebangkitan Nasional Ulama (PKNU). Dan ketiga, ormas Nahdlatul Ulama (NU) secara kelembagaan mengambil jarak dengan seluruh parpol, termasuk PKB yang selama ini memiliki pemilih loyalis dari basis NU.
Dari ketiga faktor diatas, memang yang paling dominan dijadikan alasan keterpurukan PKB ialah hilangnya dukungan Gus Dur terhadap PKB pimpinan Cak Imin. Padahal di Jawa Timur, suara Gus Dur masih cukup berpengaruh dilingkungan warga Nahdliyin. Paling tidak, realitas ini tercermin dengan adanya 2 kelompok calon anggota legislatif (caleg) PKB yang berebut untuk didaftar oleh KPU sebagai peserta pemilu. Yaitu antara kelompok caleg yang menolak Cak Imin sebagai Ketua DPP PKB dan yang pro Cak Imin.
Pada pemilu 2009 ini perolehan suara PKB di Jawa Timur hanya 12,5 % jauh dibawah perolehan Partai Demokrat (21,9 %) dan PDI-P (15,6). Bahkan juga di bawah Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Partai Amanat Nasional (PAN) yang untuk wilayah Jatim sering dipandang sebelah mata. Hal ini tidak lepas karena secara umum masyarakat Jatim terkooptasi pada 2 karakter dominan, yaitu santri (nahdliyin) dan abangan. Masyarakat yang secara religius bercorak puritanis-pragmatis (PKS) dan modernis-rasional-realistik (PAN) hanyalah komunitas yang relatif kecil.
Sehingga ada kesan, menurunnya suara PKB dalam pemilu 2009 ini sebagai bencana besar dikalangan masyarakat nahdliyin sendiri. Sehingga --- bukan saja warga NU, tapi juga para pengamat politik NU --- banyak yang menangisi keterpurukan PKB ini. Ini memang tidak lepas dari adanya citra bahwa PKB adalah saluran politik ideologis warga NU. Sehingga kekalahan PKB seakan-akan merupakan kekalahan riil NU.
Pertanyaannya, benarkah menurunnya perolehan PKB Jatim dalam pemilu 2009 ini sebagai bentuk kegagalan NU dalam berpolitik --- atau minimal kegagalan politik kaum nahdliyin ? Benarkah kesuraman PKB merupakan kesuraman NU ? Menurut penulis, terlalu prematur dan tidak logis bila mengkaitkan keterpurukan PKB di Jatim sama artinya dengan keterpurukan NU.
Tetapi sebaliknya, menurunnya perolehan PKB merupakan pengalaman politik yang sangat berharga bagi kalangan elit NU. Baik dari kalangan elit politik ataupun elit kiai. Karenanya, tidak perlu menjadi kesedihan mendalam bagi warga NU hanya karena gagalnya PKB untuk menjadi kekuatan politik yang dominan di Jatim. Tapi sebaliknya, elit dan warga NU perlu berfikir rasional bahwa realitas ini justru merupakan keberhasilan pembangunan politik yang rasional dan mandiri bagi NU. Beberapa konflik yang menimpa parpol berbasis massa NU --- seperti PKB, PKNU, PPP dan sebagainya --- memberikan kesadaran politik tersendiri bagi warga NU untuk menentukan pilihan politiknya. Yaitu bahwa pilihan politik haruslah selaras dengan pilihan hati nurani, bukan harus selalu selaras dengan pilihan kiai atau tokoh NU.
Memang tidak bisa dipungkiri bahwa pemilu 2009 ini kurang menguntungkan PKB dalam hal bagian kursi kekuasaan legislatif. Bahkan mungkin secara material pun mengganggu kondisi internal NU dalam jangka pendek. Namun ke depan bisa dipastikan kemandirian dan kedewasaan politik warga NU bisa diandalkan. Dengan semakin mandirinya warga NU dalam menempatkan pilihan politiknya, diharapkan di masa depan keberadaan “politik aliran” kian berkurang drastis. Kemudian berkembang politik yang bercorak nasionalisme, namun didukung dan diwarnai oleh suasana religius yang tinggi.
Selain itu, perolehan suara yang diraup PKB pada pemilu 2009 ini bisa dikatakan sebagai dukungan warga NU yang riil dan realistis. Inilah massa PKB sejati, massa yang tidak dijebak oleh kepentingan kelompok sektarianism sempit. Dengan kondisi seperti ini, diharapkan perjalanan PKB ke depan untuk menjadi partai inklusif kian sehat. PKB tidak diombang-ambingkan oleh kepentingan elit tertentu, baik elit politik ataupun elit kiai. PKB benar-benar lebih berpihak pada kepentingan masyarakat banyak.
Akhirnya, mudah-mudahan parpol yang masih bercorak aliran dengan mengandalkan massa ‘tradisional’ mengalami kondisi yang sama seperti yang pernah dialami PKB. Sehingga masyarakat kian disadarkan akan hak politiknya yang tidak bisa di’beli’ partai tertentu dengan mengatas-namakan kepentingan aliran atau kelompok.
Abd. Sidiq Notonegoro
Dosen di Univ. Muhammadiyah Gresik

Kamis, 12 Maret 2009

Bentuk Kegiatan
Studi Buku “Guru Goblok Ketemu Murid Goblok”

Tema
Inovasi Menuju Pendidik Ideal

Latar Belakang
Sudahkah para pendidik atau guru membuat target keberhasilan bagi murid-muridnya secara matematis ? Bisakah seorang guru memberikan jaminan kepada orang tua/wali murid bahwa siswa yang didiknya akan mengalami peningkatan kualitas yang signifikan --- dengan tanpa disertai perilaku anarkhis sebagaimana yang akhir-akhir ini mewarnai berita-berita surat kabar ?
Dapat dikatakan bahwa kemauan murid untuk menjadi individu yang sukses, tergantung dari bagaimana sang guru tersebut dalam memperlakukan dirinya. Ingat pepatah “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Ironisnya, harapan tersebut tidak dapat dicapai secara optimal. Hal yang paling sederhana, tidak sedikit murid kelas 4 SD yang belum bisa membaca secara lancar. Lebih ironis lagi, tidak sedikit pula pelajar SMA atau bahkan mahasiswa yang belum mampu merancang cita-cita atau keinginannya untuk menyambut masa depan.
Semua tidak semata-mata terkait dengan sistem atau metode pendidikan yang diterapkan. Tetapi ada yang secara kasat mata tidak terlihat, namun membawa pengaruh yang sangat signifikan. Yaitu aspek psikologi guru dan murid itu sendiri dalam memandang relasionalnya antara guru dan murid. Tidak sedikit ditemukan guru yang sok tahu, padahal sesungguhnya tidak tahu. Juga murid yang merasa sudah mengerti diantara ilmunya yang pas-pasan.
Persoalannya, proses pembelajaran untuk menjadi orang yang ahli dalam bidangnya jauh lebih panjang dan rumit daripada pembelajaran untuk hanya sekedar tahu secara teori. Berangkat dari problem itulah, studi buku ini digelar dalam rangka untuk menumbuhkan semangat inovasi guru dan juga murid agar tidak merasa sudah dipuncak --- padahal masih sedang terpekur di dasar.

Tujuan Kegiatan
1. Menemukan proses pendidikan dan pembelajaran tepat bagi siswa.
2. Tumbuhnya motivasi bagi guru untuk terus belajar (teori dan praktek) dan terus merasa kurang sehingga tidak berhenti untuk terus belajar.

Sabtu, 07 Maret 2009

Tanwir Muhammadiyah di Lampung

http://www.lampungpost.com/cetak/berita.php?id=2009030706173468

Rabu, 28 Januari 2009

(Me)Rokok Tidak Haram

Abd. Sidiq Notonegoro
Dosen Fakultas Agama Islam
Univ. Muhammadiyah Gresik

Munculnya fatwa haram terhadap rokok dari ruang Sidang Komisi Fatwa III Majelis Ulama Indonesia (MUI) se-Indonesia yang digelar di Padangpanjang, Sumatera Barat pada tanggal 23-26 Januari 2009 lalu sukses memantik kontroversi. Dengan alasan aspek mudlaratnya lebih besar daripada aspek faedahnya, forum ulama tersebut memutuskan untuk memberi fatwa haram terhadap pengkonsumsian rokok untuk kalangan terbatas ---. yaitu anak-anak/remaja, ibu hamil dan merokok di tempat umum. Sedangkan untuk laki-laki dewasa hukumnya makruh (dianjurkan untuk ditinggalkan).
Bagi yang pro dengan fatwa “rokok itu haram”, memandang rokok sama sekali tidak ada manfaat dan kebaikannya bagi penggunanya. Bahkan rokok justru dituding sebagai salah satu faktor penyebab kerusakan anak/remaja sebagai generasi bangsa. Sehingga hadirnya fatwa tersebut merupakan satu upaya untuk perlindungan dan menyelamatkan terhadap anak generasi bangsa ini.
Sebaliknya, bagi yang menentang keluarnya fatwa tersebut memandang bahwa MUI sangat berlebihan dalam menyikapi dampak negatif rokok. Lebih dari itu, fatwa MUI tentang rokok tersebut justru berpotensi menimbulkan mudlarat (dampak negatif) yang lebih besar daripada manfaatnya. Secara umum mudlarat yang kemungkinan muncul ada 2 (dua), yaitu mudlarat bagi MUI sendiri, dan mudlarat bagi masyarakat.
Bukan tidak mungkin, bila kemudian fatwa tersebut kurang direspon oleh masyarakat --- terlebih lagi juga penolakan masyarakat tersebut mendapatkan legitimasi dari organisasi-organisasi keagamaan seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah --- maka bisa mengurangi legitimasi dan kredibilitas MUI dihadapan umat. Dan tampaknya indikasi ketidak-patuhan masyarakat terhadap fatwa MUI tersebut cukup besar. Apalagi merokok merupakan kebiasaan sebagian umat Islam di Indonesia, tak terkecuali kalangan kiai/ulama.
Sedangkan mudlarat yang lain, dengan keluarnya fatwa MUI tersebut berpotensi untuk mengusik sektor ekonomi dan sosial masyarakat. Petani tembakau pun turut resah karena penghasilan utama mereka dari tembakau. Juga berkaitan dengan sektor tenaga kerja, karena pada kenyataannya pabrik rokoklah yang paling sukses untuk mengurangi angka pengangguran di negeri ini. Lebih dari itu, sumbangan industri rokok terhadap pendapatan negara --- yang diorientasikan untuk pembangunan --- relatif sangat besar, bahkan bukan tidak mungkin termasuk yang dipergunakan untuk membiayai sidang fatwa MUI di Padangpanjang ini.
* * *
Pertanyaannya, bila (me)rokok diharamkan --- meski hanya untuk kalangan terbatas ---, bagaimana dengan hasil jual beli rokok atau tembakaunya ? Apakah juga bisa hukumi haram, karena telah memberikan kesempatan orang lain untuk mengkonsumsi zat yang telah dihukumi haram pula ? Apakah keharaman hanya ditimpakan kepada pengguna (konsumen)nya saja, sedang yang mengambil keuntungan materialnya justru terbebas dari hukum ?
Pertanyaan lain, adakah hukum yang pemberlakuannya hanya untuk kalangan terbatas, sedangkan efek negatifnya sejatinya tidak terbatas ? Apakah hanya anak-anak/remaja saja yang berpotensi terserang penyakit paru-paru atau jantung bila mereka mengkonsumsi rokok, sedangkan kalau mereka sudah dewasa tidak ? Mungkinkah sebuah hukum yang diduga dampak negatifnya bersifat massif, justru penegakannya cenderung diskriminatif ?
Kemudian apa batasan seseorang masih digolongkan sebagai anak-anak/remaja ? Apakah mereka dibatasi oleh akil-baligh, usia atau kemandiriannya ? Bila ukurannya akil baligh, maka mereka yang sudah masuk akil-baligh sudah dikategorikan dewasa, dan halal untuk merokok. Bila ukurannya usia, usia berapakah yang tepat seseorang bisa disebut telah dewasa ? Atau kalau kemandirian, bagaimana bila seseorang yang masih tergolong usia anak-anak tapi secara pikiran dan ekonomi telah mampu memutuskan sendiri ?
Karena itu, kalau ditilik lebih dalam bahwa sesungguhnya fatwa MUI tentang rokok nyata-nyata jauh dari sikap kearifannya. Alangkah arif bila MUI lebih dulu melakukan sosialisasi ke masyarakat akan dampak buruk rokok secara intensif. Sehingga bila masyarakat benar-benar mampu menyadari akan dampak buruk rokok, kemudian MUI menindak-lanjutinya dengan mengeluarkan fatwa haram. Para ulama yang terhimpun dalam MUI seyogyanya berusaha meneladani perilaku Rasulullah SAW sebelum akhirnya Allah menurunkan hukum haram pada khamr.
Bila ada pakar kesehatan yang mengatakan bahwa “satu batang rokok dapat memotong kehidupan kita selama 5 menit”, maka satu fatwa MUI tentang rokok ini memungkinkan untuk memotong kehidupan masyarakat bawah untuk sedikit lebih baik selama bertahun-tahun, bahkan turun-temurun. Terlebih lagi bila kemudian ada tindakan-tindakan yang bernuansa teror yang menebar ancaman --- bagi anak-anak/remaja, ibu hamil atau individu yang kedapatan merokok di tempat umum --- dengan alasan menegakkan fatwa MUI.
* * *
Masalah manfaat rokok sejatinya masih debatable. Bagi ahli kesehatan mungkin bisa saja mengatakan bahwa merokok tidak ada manfaatnya sama sekali bagi kesehatan, tapi harus dipahami pula bahwa ada sebagian orang yang menjadikan rokok sebagai terapy psikologi. Misalnya menghilangkan kejenuhan dan bahkan untuk memudahkan menggali inspirasi. Banyak tokoh di negeri ini yang ide-ide cerdasnya mengalir deras tatkala asap rokok juga mengepul bebas dari dalam mulutnya.
Akhirnya, ada sebagian ulama yang berpendapat bahwa fatwa MUI sebenarnya tidak terlalu mengikat. Maka tidak ada larangan atau keharaman untuk tidak mengikutinya. Keharaman merokok --- sebagaimana versinya MUI --- tidaklah sekuat hukumnya daging babi atau khamr, karena itu masih bisa dikatakan tidak mengikat bagi yang tidak menerimanya. Wallahu a’lam.